TERLAMBATNYA pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2017 Kabupaten Nunukan patut diduga disebabkan masih tarik ulurnya kepentingan elit berkuasa dengan sejumlah politisi di DPRD Kabupaten Nunukan.
Entah tarik ulur ini, apakah lantaran di latar belakangi silang pendapat yang tajam perbedaan soal skala prioritas pembangunan untuk kepentingan rakyat? Atau lebih sekadar mencari titik temu agar APBD 2017 tersebut sudah mengakomodasi kepentingan elit semata yang bias dengan kepentingan rakyat?
Jika karena alasan yang kedua di atas, sebagaimana rumor yang berkembang di masyarakat maka patut diduga pula oknum pemerintah bersama oknum politisi di DPRD melakukan indikasi "korupsi politik" atau dugaan penyalah gunaan kewenangan budgeting (penganggaran) yang diberikan peraturan perundang-undangan kepada mereka untuk kepentingan kelompok semata. Meskipun dugaan tersebut masih perlu dibuktikan dan untuk itu publik harus tahu alasan keterlambatan tersebut.
Sementara itu, implikasi yang pasti pengesahan APBD 2017 yang mendekati injury time itu, bukan hanya Kepala Daerah dan Anggota DPRD yang berpotensi terancam finalti berdasarkan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah jika melewati batas waktu pengesahan, melainkan akan berdampak pula pada kualitas dan terlambatnya pembiayaan pembangunan dan pelayanan publik. Dan tentu hal ini akan berdampak pada sektor rill ekonomi sampai ke akar rumput alias hanya merugikan rakyat saja.
Lebih-lebih, mengingat dinamika ekonomi di masyarakat masih sangat tergantung pada sektor pemerintah atau pembiayaan publik melalui APBD. Dalam arti Nunukan masih sangat membutuhkan keterlibatan investor luar dalam mendorong pertumbuhan dan dinamika ekonomi di sana. Dan ini tugas berat pemimpin daerah dan sumpah jabatan mereka adalah jadi jaminannya kecuali mereka tidak beriman dan bermoral lagi.
Kemudian, satu yang pasti juga, jika benar rumor yang berkembang terkait pemicu lambatnya pengesahan APBD 2017 tersebut karena rumor diel-diel elit politik yang berkuasa di eksekutif maupun legislatif yang belum menemukan titik kesepakatan maka jangan berharap kualitas APBD kita bisa mencerminkan keadilan untuk semua dan keadilan untuk rakyat sesuai jargon Bupati terpilih 2015 Hj. Asmin Laura Hafid, sehingga ini ujian berat pertama Bupati dan lagi-lagi sumpah jabatan jadi jaminannya.
Dan kalau begitu realitanya, maka kembali akan kita temukan banyak proyek-proyek pembangunan pemerintah yang dari sisi efektivitas terlebih efisiensi sulit untuk dijelaskan letaknya di mana? alias bukan saja proyek itu terkesan tidak skala prioritas atau tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat melainkan juga tidak masuk akal sama sekali.
Proyek-proyek demikian di atas terlihat banyak pada proyek penunjukan langsung (PL) yang jumlahnya cukup banyak kita temukan khususnya pada tahun-tahun sebelumnya, di mana Kabupaten Nunukan masih memiliki anggaran yang melimpah dan biasa diduga PL ini bagian dari korupsi politik atau lebih tegasnya bentuk politik balas jasa oknum elit-elit berkuasa pada sejumlah tim pemenangan.
Dan jika pemerintah dalam hal ini Bupati sebagai leader utama memiliki keberanian dan keberpihakan nyata sesuai jargonya tadi yakni ADIL maka dalam rangka rasionalisasi anggaran yang tak seluwes dulu lagi, Bupati bisa menekan dan atau memverifikasi pembiayaan proyek dimaksud sehingga kebijakan tak populis seperti mengorbankan honorer dengan memangkas honor mereka dan mungkin termasuk kebijakan pengurangan TPP ASN bisa di minimalisasi atau dapat di tunda sebelum dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja ASN dan Honorer.
Belum lagi Kabupaten Nunukan yang merupakan daerah perbatasan RI-Malaysia memiliki posisi yang sangat strategis dalam kacamata jargon politik Nawa Cita Presiden Jokowi membangun Indonesia dari pinggiran. Maka untuk memastikan itu, seharusnya Presiden tak hanya duduk di belakang meja dan sebatas mengelontorkan anggaran melainkan melalui lembaga terkait dan instrumen politik yang ada melakukan pengawasan, pendampingan dan mengevaluasi secara ketat apakah daerah-daerah perbatasan seperti Nunukan sudah menjalankan cita-cita dari visi Nawa Cita itu. Jika tidak, penggelontoran anggaran yang besar untuk daerah perbatasan, justru berpotensi menjadi ladang korupsi baru atau paling tidak program Nawa Cita itu berjalan ditempat.
Kembali lagi, namun perlu di ingat agar kita tak kecewa karena menaruh harapan yang begitu besar kepada Bupati, yang merupakan sekaligus jabatan politik itu sendiri sehingga menjadi pusaran tarik menarik paling nyata antara kekuatan pemilik modal, kelompok elit politik dan tim pemenangan, khususnya di tahun pertama. Segenap kekuatan akan berusaha mempengaruhi, mengintervensi dan menyandera dengan segala cara. Bahkan siap menjeggal setiap kepentingan yang merugikan mereka. Kecuali lagi-lagi Bupati ingat pada sumpah jabatannya dan menolak menghianatinya. Dan berani tidak populer di mata oknum elit yang bermaksud menistakan sumpahnya sendiri maka jangan takut, rakyat akan berbaris bersamamu wahai Bupati Cantik..! Sementara itu aja.