[caption caption="Kitab Iqtisaduna"][/caption]
Keadilan Sosial-Ekonomi
Kemudian berangkat daripada penjelasan keadilan secara filosofis pada tulisan kami bagian pertama maka dapat ditarik suatu kesimpulan yang dimaksud dari keadilan sosial adalah menjaga hak-hak sesuatu atau mengembalikan hak-hak sesuatu pada tempatnya.
Namun perlu dibedakan makna berbuat baik adalah mengeluarkan sesuatu pada tempatnya.
Sebagai ilustrasi saat kita membayar upah pada seorang Iswandi sebagai pekerja yang bekerja pada perusahaan kita sesuai kapasitas Iswandi tersebut maka upah tersebut adalah hak Iswandi dan kita sebagai orang yang menggunakan jasa pekerjaan Iswandi tersebut wajib membayarnya dan itu adalah keadilan sosial mengembalikan hak pekerja tersebut pada dirinya (tempatnya).
Berbeda dengan semisal saat Zakaria memiliki uang dan kemudian memberikan uang tersebut pada Lala tanpa terdapat hubungan profesional baik jasa pekerjaan diantara Zakaria dan Lala maka hal tersebut bukan perbuatan dalam makna adil melainkan perbuatan baik atau mengeluarkan hak sesuatu (Zakaria) pada tempatnya untuk orang lain.
Meskipun dalam hal ini Zakaria tidak memberikan uang itu pada merata semua orang atau hanya memberi pada satu orang saja diantara banyak orang lainnya maka perbuatan baik Zakaria itu tidak bisa dikatakan tidak adil karena sepenuhnya uang itu adalah milik (hak) Zakaria dan ia bebas memberikannya kepada siapa pun yang ia mau.
Sementara bisa jadi diantara banyak orang yang tidak diberikan uang dimaksud di atas akan mengatakan Zakaria sebagai orang tidak baik tetapi sekali lagi tak boleh mengkatagorikan perbuatan zakaria tersebut sebagai perbuatan tidak adil.
Apakah keadilan adalah sebuah persoalan ilmiah atau filosofis?
Filsuf kelahiran Irak dan penulis kitab Iqtisaduna (Ekonomi Kita) yakni Muhamad Baqir as-Sadhr dalam membahas keadilan sosial dan keadilan ekonomi memulai lebih dulu mementahkan apakah keadilan itu masuk dalam kategori masalah filsafat atau ilmiah?
Saat kita mengkatagorikan keadilan masuk dalam masalah filsafat maka tentu kita tak boleh memahami keadilan dengan pendekatan atau parameter ilmiah dan begitu pula sebaliknya.
Adalah suatu kerancuan saat kita mendekati masalah ilmiah dengan pendekatan memahami masalah filsafat dan sebaliknya pula.
Karena sebagaimana filsafat adalah mempelajari realitas sesuatu dari sisi realitasnya, semisal matematika mempelajari realitas dari sisi ruang dan volumenya, fisika dari sisi struktur ruang dan waktunya, kimia dari sisi komposisi senyawanya dan lain-lain yang mana dapat disimpulkan secara sederhana sisi realitas yang berbeda akan diperoleh konglusi yang berbeda pula.
Kembali, untuk menjawab apakah keadilan masuk dalam kategori ilmiah atau filsafat, sebagai ilustrasi untuk memudahkan pemetaan kedua hal tersebut maka Arianto Achmad mengajukan dua pertanyaan.
Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi saat ini? Dan apa harapan anda atas kondisi sosial dan ekonomi saat ini?Untuk menjawab pertanyaan pertama dibutuhkan pendekatan ilmiah dan hal itu masuk dalam kategori kajian statistik ekonomi atau ilmu ekonomi murni.Â
Tentu dalam hal menjawab pertanyaan pertama merupakan domain para ekonom yang mengerti dasar-dasar ilmu ekonomi secara khusus dan lebih rinci.
Sementara jawaban atas pertanyaan kedua dengan sederhana harapan kita semua saat ditanya pertanyaan kedua, tentu akan menjawab adalah menginginkan suatu kondisi ekonomi sosial yang adil.
Lebih lanjut, keadilan dalam hal ini adalah konsep abstrak bukanlah objek kajian ilmiah dan fenomena empiris yang dapat di ukur dengan pendekatan kuantitatif.
Dalam memahami konsep abstrak keadilan dimaksud, niscaya melibatkan subjektifitas setiap penjawab yang sangat dipengaruhi pandangan dunia dan ideologi tiap penjawab.
Pada saat si penjawab tersebut memiliki pandangan dunia kapitalisme maka keadilan sosial dan ekonomi dapat diraih melalui pemberian kebebasan individu pada tiap masyarakat suatu bangsa.
Hal itu karena kapitalisme meyakini kebebasan individu adalah tonggak keadilan suatu masyarakat dan sebab itu adalah suatu keutamaan yang harus diperjuangkan.
Dan begitu pula saat si penjawab adalah penganut sosialisme atau pun komunisme maka tentu berbeda pandangan dengan kapitalisme di atas dalam melihat kebebasan individu. (Bersambung)
Hasil Kajian di Forum HMI Komisariat Ekonomi Raya, STMIK PPKIA dan beberapa kesempatan warung kopi di Kota Tarakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H