Musim haji tahun ini, terasa agak berbeda dari biasanya.  Bukan karena soft-opening "Al-Masya'ir Metro Makkah", bukan pula karena angin ribut dan hujan es yang menyerang Mina "The Tent City", juga bukan masalah catering. Ternyata setelah 1420 tahun yang lalu, Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah atas petunjuk Allah SWT, masih ada oknum majikan (Kafil) Warga Negara Arab Saudi (Saudis) yang tega melakukan perbuatan keji terhadap saudari muslimahnya sendiri yang bekerja membantunya pagi,siang,malam dan ketemu pagi lagi.  Yang membuat penulis hanya mampu memijit kening adalah kenyataan bahwa hal tersebut dilakukan di Kota Suci Madinah Al-Munawwarah, kota tujuan hijrah Nabi Muhammad SAW yang diakui sendiri oleh Rasulullah sebagai tempat yang aman, tenteram, damai, subur dan tingkat toleransi masyarakatnya yang sangat tinggi atau yang kita kenal di Indonesia dengan istilah "Masyarakat Madaniyah atau Masyarakat Madani".  Hal tersebut dibuktikan oleh sikap Kaum Anshar (warga Madinah Al-Munawwarah), menyambut kedatangan saudaranya kaum Muhajirin  (warga Makkah Al-Mukarramah), pada saat Rasulullah SAW melakukan hijrah pada tahun ke-11 Kenabian, yang kawal oleh sahabat setia beliau Abu Bakar As-Siddiq RA.
Sumiati oh Sumiati...
Penulis sering ditanya pendapatnya tentang musibah yang menimpa saudara kita Sumiati binti Salan Mustapa (23 tahun) asal NTB di berbagai mailing lists, baik di Riyadh maupun Jeddah, yang mana kedua kota tersebut terdapat Perwakilan RI, yakni KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah.  Jawaban penulis sangat simpel bahwa kita tunggu saja hasil investigasi yang dilakukan oleh investigator handal Saudi, yang penulis yakin pasti hebat karena memiliki sebuah perguruan tinggi khusus sains keamanan, yaitu "Prince Naif University for Security Science" yang berkedudukan di Riyadh. Pengajarnya terdiri dari para pakar keamanan dari berbagai negara terkemuka dunia.  Jadi, penulis berusaha meyakinkan teman-teman member milis Ahlan-Riyadh, Im-KSA dan Forkit Jeddah bahwa kita harus bersikap "wait, see & sound".  Kenapa? karena tidak elok rasanya langsung menunjuk hidung pihak-pihak yang belum tentu bersalah dalam kasus ini, seperti misalnya Sang Majikan, KBRI Riyadh, KJRI Jeddah, PPTKIS, Maktab Istiqdam (agen penyalur TKI di Arab Saudi), Kemlu RI, Kemnakertrans RI, BNP2TKI, Sumiati dan bahkan ada yang menyalahkan Presiden SBY.  Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan kepada kaumnya untuk menvonis sesamanya muslim, sebelum semuanya menjadi terang benderang. Tapi kan Sumiati bibirnya digunting? Ya, betul, tetapi Rasulullah SAW kembali mengajarkan bahwa jika engkau disakiti, maka doakanlah kebaikan kepada orang yang menyakitimu. Jadi menurut hemat penulis, biarkan proses hukum berjalan dengan baik dan lancar, apalagi Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud dan Putera Mahkota  Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud telah turun tangan, yang menurut pengalaman penulis selama 3 tahun tinggal di ibukota Riyadh, jangankan Sang Raja yang turun tangan, seorang pangeran dari keluarga kerajaan saja yang turun tangan, maka semuanya akan "halas, maa fii mushkila" (beres, tidak ada masalah).  Penulis justru mengagumi pemimpin negara Saudi tersebut, karena banyak sekali program reformasi internal yang telah berhasil dijalankannya secara baik  bahkan mampu menjadi inisiator pertemuan dialog lintas keyakinan se-dunia (Inter-Faith Dialogue) yang telah menjadi agenda tetap PBB. Bahkan Arab Saudi memiliki sebuah komplek di pinggiran kota Riyadh yang diberi nama "Prince Sultan Humanitarian City".  Jika ditilik dari namanya saja maka kita dengan mudah menilai bahwa pemimpin Saudi tersebut sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, tinggal kita tunggu saja pembuktiannya dalam kasus Sumiati, yang merupakan kepanjangan dari "Sabar Untuk MenantI pulAng ke Tanah air tercInta".
Madinah oh Madinah...
Madinah adalah kota suci kedua yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Arab Saudi setelah merebut kembali dari kekuasaan Ottoman (Utsmaniyah) Turki pada tahun 1923 yang dipimpin oleh Raja pertama Arab Saudi yang juga ayah kandung dari Raja Abdullah yaitu Raja Abdul Aziz Al-Saud, setelah melalui sebuaj perjalanan panjang yang sangat menguras tenaga, waktu, fikiran, darah dan air mata para pejuang Arab Saudi, khususnya di pesisir barat Arab Saudi kini, yang dikenal dengan wilayah Hijaz yang membentang dari Tabuk di utara dan Jizan di selatan, termasuk Madinah, Yanbu, Jeddah dan Makkah diantara keduanya. Di kota inilah Rasulullah SAW melanjutkan kegiatan dakwahnya menyebarkan agama Islam dengan berbagai prestasi cemerlang yang sangat membanggakan sebagaimana yang diceritakan kembali oleh para Tabi' Tabiin dan Perawi Hadist,, khususnya peperangan dengan kaum musyrikin Quraisy dari Makkah dan lain-lain. Â Kota Madinah, hingga saat ini masih menampilkan ciri khasnya, yakni warga yang ramah, tidak sombong, rendah hati dan suka menolong, wa bil khusus bagi OI (meminjam istilah fans Iwan Fals) atau Orang Indonesia. Â Penulis sendiri sering sekali mengalami perlakuan yang sangat khusus dan baik jika bergaul dengan warga Madinah, khususnya di jajaran militer dan kepolisian, pada saat harus berkoordinasi dengan mereka dalam rangka mempersiapkan pengamanan kunjungan Presiden atau Wakil Presiden RI di Madinah.
Lantas kenapa kasus Sumiati digunting bibirnya justru terjadi di Madinah? Wallahu a'lam bissawab, mungkin disinilah kata "oknum" layak digunakan.
Saudis oh Saudis...
Berbicara mengenai Saudis atau orang Arab Saudi, penulis yakin bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki pengalaman bergaul dengan Saudis. Â Paling tidak bagi mereka yang pernah menunaikan ibadah haji, umroh, pernah jadi TKI disana seperti Sumiati, Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), pelaku ekonomi di Puncak Cianjur atau seperti penulis, pernah menetap untuk bekerja disana. Â Tentu kita akan memberikan deskripsi yang berbeda-beda tentang saudara kita tersebut. Ada yang mendapat perlakuan baik, ada yang buruk dan ada juga yang menjadikannya berbagai cerita guyonan segar. Penulis sendiri merasakan dan menghayati betul bagaimana seharusnya bergaul dengan Saudis atau orang Arab pada umumnya, meskipun tiap-tiap negara Arab memiliki kekhasan tersendiri. Arab Emirat, Oman dan Saudi (wilayah kerja penulis), sama-sama menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi mereka, tetapi dialek, cara penyampaian dan bahasa tubuh yang berbeda satu sama lain.
Ada yang mengatakan bahwa berurusan dengan Saudis maka bersiap-siaplah untuk kecewa, karena urusannya akan panjang, bertele-tele, pingpong dan akhirnya tidak beres juga. Penulis menganggap bahwa hal tersebut sah-sah saja dikatakan, karena mungkin jadi, mereka yang mengatakan itu, pernah dikecewakan oleh Saudis. Â Tetapi apa yang penulis amati sekaligus rasakan selama 3 tahun bertugas di Arab Saudi dan bergaul dengan Saudis? Semuanya akan berjalan dengan lancar dan sesuai dengan keinginan kita, jika kita mampu berkomunikasi verbal dengan santun, lugas, cipika-cipiki (tentunya dengan sesama pria), saling memuji, minum sahi plus na'na' (teh dengan mint), gahwah (kopi khas Arab) dan terakhir diajak makan Mandi Laham (nasi khas Arab dengan potongan beberapa kerat daging kambing yang dimasak di dalam tanah). Jangankan Mandi Laham yang keluar, baru Sahi aja yang keluar, Insya Allah semua urusan dengan Saudis yang tadinya "Harapan Jaya" akan berubah menjadi "Lancar Jaya". Â Kenapa? karena Saudis sangat menjunjung tinggi kekerabatan, persahabatan, persaudaraan dan hubungan emosional yang erat, tanpa melihat apa negaramu dan apa warna kulitmu. Dari poin tersebut, benarlah kiranya apa yang disampaikan oleh Bapak Ir. Mustafa Kamal, Atase Ketenagakerjaan di KBRI Riyadh yang juga sahabat karib penulis bahwa persentase TKW yang gagal di Arab Saudi jika angka pembagi diambil dari sekitar 1 juta TKI di Arab Saudi adalah 0,3 hingga 0,5 persen atau sekitar 3000 hingga 5000 orang, berdasarkan data jumlah TKW yang bermasalah dan kabur dari majikan di Transit House (Rumah Penampungan Sementara) KBRI Riyadh setiap tahunnya. Â Artinya, masih ada sekitar 99,5 persen yang berhasil membawa Riyal ke kampung halaman dan dengan wajah yang sumringah menceritakan kepada seluruh kawan dan kerabatnya di kampung tentang pengalamannya umroh dan haji bersama keluarga majikan Saudis-nya serta menyanjung keramahtamahan dan kebaikan majikannya setinggi "Burj Khalifa" di Dubai, sehingga menjadi iklan gratis kepada para wanita muda sebayanya di kampung untuk menambah jumlah data TKW yang bekerja di Arab Saudi. Tidak usah pusing pembaca, karena hal tersebut merupakan suatu keniscayaan, selama Arab Saudi masih menjadi idola remaja putri di kampung, sebagaimana layaknya mereka mengidolakan grup band "Wali" misalnya, serta mereka juga sudah mencoba untuk berhenti berharap memiliki BlackBerry keluaran terbaru, sebagaimana yang dimiliki oleh 7 dari 10 orang Indonesia yang dilihat di layar televisi tetangganya setiap hari.
Andaikata penulis ditanya kembali tentang angka 0,5 persen itu, maka jawaban penulis adalah : Jangankan 5000 orang, 1 orang pun penulis tidak akan pernah rela melihat saudari kita yang hanya sekedar ingin memiliki apa yang dimiliki oleh orang yang lebih beruntung secara finansial dari mereka, pulang ke bumi pertiwi tercinta, menumpang pesawat terbaru Airbus A-380 Whispering-Giant, namun ditaruh di kabin bagasi dan terbujur kaku di dalam peti jenazah berukuran 0,5 x 2 meter, yang dalam ilmu hitung hasilnya adalah "satu", satu keinginan yang tidak terwujud...! Semoga Allah SWT menerima amal kebaikanmu di Surga-Nya bagi saudariku TKW yang telah mendahului kita semua, termasuk kasus terbaru tewasnya Kikim Komalasari, semoga engkau mendapatkan keinginanmu di atas langit sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H