Mohon tunggu...
Ammyta Pradita Wardaningrum
Ammyta Pradita Wardaningrum Mohon Tunggu... -

hippo's addict || museum addict || the best you can't have

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengejar Matahari sampai ke Srau

30 April 2014   18:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:01 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa bilang mengejar momen menikmati detik-detik tenggelamnya matahari di ujung senja itu mudah? Berkali-kali mencari kesempatan mengabadikan padunya warna jingga keemasan sebelum ditelan gelap, namun selalu gagal. Entah tertutup awan, mendung, atau karena tempat yang dikunjungi tidak menyediakan pemandangan terbenamnya matahari secara sempurna. Karenanya, saya dan seorang teman, merancang perjalanan untuk memenuhi keinginan sederhana kami, berfoto dengan latar belakang matahari yang terbenam.

Hasil dari pencarian yang disponsori oleh “Google” , kami menemukan beberapa alternatif tempat wisata yang bisa dikunjungi untuk melihat proses terbenamnya matahari. Salah satunya adalah pantai di Pacitan, Pantai Srau. Terletak di pesisir selatan Pulau Jawa, Pacitan lebih dikenal sebagai kota persinggahan, bukan kota wisata. Selain gua, ternyata Pacitan menyimpan surga bagi para pecinta air laut, bukan untuk mereka yang hobi berenang, tapi para surfer.

Lalu, mulailah kami merancang sebuah perjalanan dengan tajuk “Tour de Pantai”. Dengan semangat, kami menandai pantai mana saja yang harus dikunjungi dalam waktu 2 hari 1 malam, dengan berbagai pertimbangan, mana yang patut dikunjungi saat senja, mana yang asyik untuk berfoto ria di pagi hari. Agak sulit ternyata, mengingat Pacitan memiliki banyak pantai yang karakteristiknya berbeda-beda. Kami harus memilah dan menentukan, mana yang harus dikunjungi dan mana yang bisa dilewatkan.

Sembari merancang itinerary, kami mengajak beberapa teman pria (yang juga akan menyupir) sekaligus mengumumkan gambaran biaya yang harus dikeluarkan. Setelah berdebat mengenai waktu keberangkatan, ada teman yang mengundurkan diri dari perjalanan, kami akhirnya memutuskan untuk pergi di akhir minggu keempat bulan April. Kami akan berangkat dari Jogja dan menempuh perjalanan melewati jalur Wonosari-Pracimantoro-Giribelah-Punung-Pacitan.

Perjalanan menuju Pacitan terasa ‘hidup’ karena para peserta saling melemparkan obrolan yang menyenangkan. Bahkan, kami lupa kalau kami belum sarapan dan berangkat dengan perut kosong. Tapi, hal itu disyukuri Tikong, “Untung ya aku belum sarapan, jadi ga ada insiden bubur”. Insiden ‘bubur’ yang dimaksud adalah kiasan dari mabuk darat.

Menjelang pukul 12.00 WIB, kami bersyukur karena akhirnya sampai di sebelah barat Kota Pacitan. Kami memutuskan mengunjungi Pantai Teleng Ria terlebih dulu, untuk menikmati pemandangan pantai sekaligus makan siang. Karena menurut informasi, di area Pantai Teleng Ria banyak terdapat warung-warung yang menjajakan makanan khas laut, hampir mirip dengan adanya Pasar Ikan di Pantai Depok, Yogyakarta.

Setelah memasuki gerbang pantai, kami terkejut. Meski datang di hari Jumat, yang mana menjelang weekend, kami tidak menemukan pengunjung lain kecuali rombongan siswa sekolah yang sudah mau meninggalkan area pantai. Kami membelokkan mobil ke sisi barat pantai, tempat warung-warung berjajar. Tapi yang kami temukan hanya warung-warung kecil serupa dengan yang ada di sepanjang Pantai Parang Tritis. Kami tidak melihat adanya pasar yang menjajakan ikan laut yang masih fresh. Sedikit kecewa, akhirnya, kami putar balik dan memutuskan untuk makan di restoran satu-satunya di ujung timur area pantai ini.

Suasana resto Parai Teleng Ria juga sepi. Hanya ada satu pengunjung selain kami. Setelah berdiskusi dan bertanya-tanya pada waiter, kami memutuskan untuk memesan beberapa porsi ikan bakar yang nanti akan dimakan berbarengan. Sembari menunggu masakan datang, kami beristirahat, menikmati semilir angin dan memandang pantai di kejauhan. Mungkin karena terlalu lapar, kami semua langsung menyerbu nasi dan makanan sampai kekenyangan. Setelah selesai menyantap es kelapa muda, kami istirahat sebentar.

“Udah di sini, kalian ga mau turun ke pantai?” , tanya Febri

“Eng, panas, engga deh” , jawab Tikong yang diiringi anggukan dariku.

Memang, cuaca di Pacitan siang itu amat panas, dan jarak antara resto dengan bibir pantai cukup jauh, membuat kami malas bergerak. Akhirnya kami memutuskan untuk membayar makanan dan meninggalkan area pantai.

Kami beranjak menuju pusat Kota Pacitan untuk mencari penginapan. Berdasarkan rekomendasi dari situs penginapan, kami memutuskan untuk beristirahat di Hotel Srikandi yang terletak di tengah kota, dekat dengan alun-alun Kota Pacitan. Setelah mencuci muka dan beristirahat sebentar, kami berangkat menuju Pantai Srau, dengan tujuan mendapatkan momen sunset.

Jalan menuju Pantai Srau cukup terjal, meski sebagian besar jalannya sudah diaspal. Berkelok-kelok dan sempit, melewati hutan dan bukit kecil. Sesampainya di Pantai Srau, kami merasa takjub dengan luasnya pantai, ombak yang bergulung kencang dan beberapa batu karang besar yang mempercantik pemandangan. Perjalanan yang cukup mengocok perut tadi terbayar dengan indahnya pemandangan yang kami dapatkan.

Pantai Srau terbagi menjadi tiga area, area pertama yang dekat dengan pintu masuk, dengan laatar belakang bukit-bukit karang. Area kedua adalah tempat favorit pengunjung, ada beberapa warung kecil dan kursi dri beton untuk menikmati pemandangan. Terakhir, area yang terletak di balik bukit, yang masih asri.

Kami memutuskan untuk berhenti di ujung barat pantai, area yang agak tersembunyi. Lagi-lagi, hanya ada kami, rombongan kecil yang sepertinya sedang touring, dan sepasang kekasih yang ada di pantai itu. Pantai yang masih cukup bersih ini sepertinya belum dikenal banyak orang. Atau, memang pantai-pantai di Pacitan belum terkenal? Dan pemerintah juga belum memaksimalkannya sebagai daerah tujuan wisata?

Kami asyik berfoto dan bermain air (mencelupkan kaki ketika ombak menyapu bibir pantai), karena ternyata pantai ini tidak cocok untuk berenang. Hal ini dikarenakan karakteristik pantai yang berbatu karang, ombak yang besar  dan langsung menuju laut lepas. Sayangnya, lagi-lagi kami tidak bisa mendapatkan momen terbenamnya matahari secara sempurna. Hanya secuil warna jingga keemasan yang bisa kami abadikan melalui lensa kamera.

Akhirnya menjelang maghrib, kami memutuskan kembali ke kota untuk mencari makan malam.

NB:

Biaya masuk Pantai Teleng Ria: Rp 5.000,- per orang, parkir mobil Rp 3.000,-

Biaya penginapan Hotel Srikandi: Kamar Ekonomi (fan, kamar mandi dalam, sarapan untuk 2 orang) Rp 175.000,-

Biaya masuk Pantai Srau: Rp 3.000,- per orang, parkir mobil Rp 3.000,-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun