Mohon tunggu...
Yohanes Patrio
Yohanes Patrio Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Biasa

Pria Juga Boleh Bercerita. Pegiat Filsafat, Sastra dan Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stoikisme: Persiapan Menghadapi Realitas Hidup yang Tak Bisa Dihindari

24 November 2024   20:30 Diperbarui: 24 November 2024   21:29 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini saya persembahkan khusus untuk diri saya sendiri. Sebuah kado spesial atas kesempatan hidup yang ke sekian tahun di atas muka bumi ini. Sekaligus sebagai bekal untuk menapaki perjalanan terjal yang akan datang, dalam dunia dan realitas yang terus berubah dan selalu out of our control.

Saya harus mempersiapkan kado ini sendiri, karena kalau bukan saya, lalu siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Tak bisa memberikannya pada masa yang sudah berlalu, maka sekarang adalah kesempatan yang kedua. Menunggu besok, tidak ada jaminan untuk itu. Lagi pula belum pernah saya dengar ada kesempatan ketiga, iya kan? Dan saya rasa ini berlaku untuk apapun dalan hidup kita.

Nah, cerita kali ini masih seputar perjalanan hidup dan pencarian kebahagiaan yang sering kali dianggap sebagai tujuan utama dalam hidup manusia. Dan disini, kita fokus pada satu hal yaitu tentang kematian, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kebahagian kita karena salah dalam menyikapinya.

Pertama - tama, kita mesti bertanya, siapa orang yang tidak ingin hidup bahagia? Tidak ada! Pasti semua orang ingin hidup bahagia. Ini sudah menjadi salah satu kebutuhan seseorang yang memang harus dipenuhi. Terlepas apakah ia menganggapnya sebagai sebuah tujuan ataukah ia menjadikan kebahagiaan sebagai sebuah syarat agar ia bisa dengan mudah mencapai apa yang diinginkan dalam hidupnya. 

Terlepas apakah ia dengan sadar dan memahami bahwa yang dirasakannya atau yang sedang diusahakannya itu merupakan sebuah konsep kebahagiaan atau bukan, yang jelas, sekali lagi bahwa tidak ada orang yang tidak ingin bahagia. Pasti semua orang menginginkannya dan berusaha untuk terus bahagia dan harus mendapatkannya.

Bagi saya secara pribadi, kebahagiaan orang tua adalah kebahagiaan saya juga. Ya, mungkin bukan hanya orang tua, tapi siapapun yang termasuk dalam himpunan orang - orang  tercinta kita, entah itu pasangan ataupun anak - anak kita, maka kebahagian mereka adalah juga kebahagian kita.

Tentu kita akan merasa bahagia ketika menyaksikan orang yang kita cintai merasa bahagia. Dan bahagia disini, adalah kebahagiaan yang mereka rasakan atas apa yang kita lakukan, kita capai dalam  hidup kita. Tidak peduli apakah kita sengaja meniatkan itu di dalam tujuan kita atau tidak, yang jelas kita akan sangat bahagia melihat orang yang kita cintai merasa bahagia. Mereka menyaksikan kesuksesan kita, dan dari wajah mereka terpampang senyum merekah berlandaskan sinar kebahagian dalam lubuk hati yang paling dalam. Hati kita juga kecipratan sinar itu, dan kita juga pastinya merasa bahagia. 

Namun, hidup tak selalu berjalan seperti yang kita harapkan, bukan?. Dunia selalu berubah. Tak jarang, kita gagal mencapai apa yang menjadi impian dan cita - cita kita, yang mana ini juga, jika kita menyematkan keinginan untuk membahagiakan orang yang kita cintai didalamnya, akan menjadi gagal. 

Dan kalau persoalannya cuma sekedar gagal sih, mungkin efeknya tidak seberapa. Kita bisa memperbaiki kegagalan itu. Karena bagaimanapun, kegagalan juga adalah kesuksesan yang tertunda. Setidaknya ketika kita mampu menyikapi  kegagalan dengan keyakinan seperti itu. 

Namun hal yang membuat saya memiliki alasan kuat menulis refleksi ini adalah sebuah permenungan pribadi yang selalu menghantui pikiran saya yaitu tentang kita yang sedang dalam usaha untuk membahagiakan seseorang yang kita cintai, namun pada saat yang sama, orang itu justru pergi selamanya. Orang yang belum sempat kita bahagiakan itu, keburu meninggal dunia.

Misalnya saja, kita sedang dalam bangku kuliah dengan harapan kelak saat yudisium bisa menyaksikan senyum kebahagian dari wajah orang tua kita, lalu tiba - tiba mereka meninggal dunia disaat kita belum lulus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun