Dalam ideal tertentu, terutama pada zaman modern seperti sekarang, hutan sering kali berjarak cukup jauh dari sebuah desa atau perkampungan, terutama di wilayah perkotaan. Bahkan pada saat ini, seringkali kita melihat adanya kecenderungan pengalihan fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau pembangunan pemukiman  yang tentu saja, tanpa disadari, ini dapat membawa dampak negatif yang signifikan, termasuk merusak habitat ekosistem tertentu, meningkatkan suhu udara, dan yang paling parah, merusak sumber mata air yang merupakan aspek vital dari kehidupan manusia.
Saya  sendiri sedikit merasa beruntung dilahirkan di tengah pesona Kampung Mano, sebuah kampung yang terletak di kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, di mana Pong Dode, yaitu hutan yang istimewa, menjulang gagah dengan beberapa pepohonan.
Nama Pong Dode sendiri mengandung makna yang dalam bahasa Manggarai, "Pong" berarti hutan, sementara "Dode" merupakan eufemisme atau padanan lebih halus dari kata "Kode", yang berarti monyet atau kera. Jadi, secara harfiah, Pong Dode dapat diartikan sebagai Hutan Monyet. Pong Dode terletak sekitar 30 menit dari kota Ruteng yang menjadikanya tidak sulit untuk dijangkau oleh siapa saja yang ingin melihat hutan eksotis ini.
Tidak seperti hutan-hutan kebanyakan yang terpencar jauh dari kehidupan sehari-hari, Pong Dode menetap tepat di tengah-tengah kampung, memberi warga kehidupan dan keajaiban alam yang tak ternilai harganya. Luasnya sekitar empat hektar, dimana didalamnya   terdapat  berbagai makhluk hidup, mulai dari ratusan kera yang lincah hingga kelelawar yang mengambang dengan anggun, serta beragam jenis burung yang menambah keindahan alam. Namun, jauh di balik keeksotisan alamnya, Pong Dode memiliki peran yang jauh lebih penting yaitu sebagai sumber mata air bagi warga kampung Mano dan sekitarnya. Air yang mengalir deras dari persembunyian hutan kecil ini tidak hanya menjadi kebutuhan pokok kami---untuk diminum, mandi, dan mencuci---tetapi juga memberikan berkah kepada pertanian lokal, menyuburkan tanah-tanah dan tentu untuk memenuhi kebutuhan akan hasil panen.
Terakhir kali saya mengunjungi Kampung Mano adalah sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu saya disambut kabar baik bahwa pemerintah daerah setempat telah aktif berkontribusi dalam menjaga dan merawat hutan ini dengan mengakui statusnya sebagai hutan lindung. Langkah ini merupakan langkah positif yang diambil untuk memastikan keberlangsungan ekosistem Pong Dode. Saat ini, area hutan telah diberi pagar kawat dan jalan setapak dibangun di sekitarnya. Tujuannya adalah agar masyarakat hanya dapat menikmati keindahan dan ekosistem Pong Dode dari luar, tanpa merusaknya baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan bahwa hutan ini dapat tetap terjaga dan terlindungi dari ancaman kerusakan, sehingga dapat terus memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan ekosistem yang ada di sekitarnya.
Selain itu etnik  manggarai sendiri  secara kolektif ( termasuk warga Mano) juga memiliki satu ritual adat yaitu barong wae. Barong artinya mengundang dan wae berarti air. Dengan demikian barong wae secara harfiah adalah upacara atau ritual memanggil air.  Ritual barong wae ini memiliki nilai religius sebagai upaya untuk menjaga kelestarian alam dan krisis air. Dalam konteks masa kini, ritual ini juga bernilai sebagai kritikan atas eksploitasi alam terutama untuk pembangunan yang hanya menguntungkan pihak - pihak tertentu.
Dengan segala keajaiban alam yang telah diberikan oleh hutan, terutama sebagai sumber mata air yang vital bagi kehidupan manusia dan ekosistem sekitarnya, kita diingatkan akan tanggung jawab kita sebagai manusia untuk menjaga dan merawatnya dengan baik. Hutan bukan hanya merupakan warisan dari generasi sebelumnya, tetapi juga amanah untuk generasi mendatang. Oleh karena itu, mari kita bersatu dalam upaya melestarikan hutan sebagai aset berharga yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan kita semua. Dengan menjaga hutan, kita juga memastikan keberlangsungan hidup kita sendiri dan memberikan warisan yang indah kepada anak cucu kita nanti.
Reff : Indonesian Institute of the Arts, Denpasar dalam Estetika Air : Ritual Barong Wae Etnik Manggarai Di Flores.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H