Mohon tunggu...
Ancilla Rampen
Ancilla Rampen Mohon Tunggu... lainnya -

Happy traveler|miss paradox|love outdoor activities and philosophy|dynamic|nomad -- unable to stay in one single place for long time because it's gonna be sooo boring :D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ferry: Anak Kampung dan Kegigihannya

10 Agustus 2012   15:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:58 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13446119372080044006

Setelah membaca satu artikel di Kompas.com yang berjudul "Kuliah Gratis di UGM, Permata Bingung Biaya Transportasi", saya teringat akan cerita hidup seorang kawan dekat.

[caption id="attachment_199411" align="alignleft" width="300" caption="Ferry: Anak Kampung dan Citanya (sumber: dok. pribadi)"][/caption]

Namanya Ferry. Pemuda Flores ini berasal dari keluarga petani di salah satu kampung Manggarai Barat. Masa kecil ia habiskan dengan sekolah, bermain, mencari kayu api (istilah orang di sini untuk kayu bakar), dan membantu orang tua di sawah. Anak kampung ini tidak suka menggunakan alas kaki. Telapak kakinya sudah akrab dengan tanah. Dia juga tidak mengenal tas sekolah. Peti kayu serupa koper lah yang selalu menemaninya. Setiap hari kemerdekaan Indonesia, dia berjalan kaki berpuluh kilo bersama siswa-siswa lainnya untuk ikut acara tujuh belasan di kantor kecamatan. Masa kecilnya keras.

Di masa SMA, pemuda cerdas ini 3 kali berganti sekolah. Alasannya selalu karena ketidaksukaan akan sistem yang ia pandang salah. Ternyata idealisme telah bertumbuh di benak si remaja kampung. Akibatnya, ia harus mengalami masa keras 1 tahun terakhir SMA di perantauan. Tanpa uang, tanpa saudara, ke Sumbawa, mencari sekolah. Berkat kebaikan hati orang-orang yang ditemui, akhirnya ia bisa bersekolah di satu yayasan swasta. Tentu tidak semudah itu jalannya. Ia harus tinggal di satu ruang sekolah yang kosong dengan lantai tanah, tidur beralas tikar setiap malam, menangis sendirian ketika hujan deras karena tidak bisa menghindar dari atap yang bocor di seluruh penjuru ruangan, dan lapar. Untuk bisa makan, dia harus bekerja membantu bersih-bersih potong rumput di sekolah tersebut. Untung keluwesannya bergaul membuat dia agak terbantu, mendapatkan teman-teman yang kadang mentraktir makan. Namun, tuntutan untuk bertahan hidup, kerap membuatnya urung mengaktualisasikan minat dan bakatnya dalam bernyanyi dan bermain gitar, yang seharusnya menjadi hak setiap anak. Gitar di sekolah selalu dikuasai orang-orang kaya. Ia hanya bisa diam, melihat dengan penuh ingin.

Selepas SMA, dia kembali ke Flores dan mulai bekerja di Labuan Bajo. Bekerja di kapal dalam bidang pariwisata membuat Ferry sangat ingin untuk dapat menguasai Bahasa Inggris secara fasih. Merupakan kebanggaan tersendiri baginya ketika itu, apabila bisa bercakap-cakap lancar dengan orang asing. Akhirnya, setelah sekitar 5 tahun bekerja, ia memutuskan untuk berkuliah. Namun, lagi, orang tuanya tidak mampu membiayai keinginan anak laki-laki satu-satunya itu. Dan Ferry pun nekat.

Ia pergi ke Malang dengan bekal seadanya termasuk tabungan selama bekerja. Ia mendaftar di salah satu Sekolah Tinggi, dan tentunya mengambil Bahasa Inggris. Keinginan kuat ternyata tidaklah cukup. Lagi-lagi Ferry dihadapkan dengan isu klasik, UANG. Kuliah sudah terdaftar, terus biaya hidup bagaimana? Berkat kemampuan interpersonalnya yang baik, akhirnya pemuda itu mendapatkan kepercayaan seorang tuan kos untuk menjadi penjaga kosan. Yes, tempat tinggal gratis berarti! Kos yang memiliki halaman luas itu pun ia tanami sayur-sayuran dan tanaman buah, termasuk memelihara ayam kampung, untuk makan. Dasar, anak petani!

Dari sini ia mulai bergelut dengan lebih keras untuk bisa bertahan hidup sambil terus berkuliah, karena kuliah bukan sekedar bayar uang semester dan makan. Butuh juga modal untuk mengerjakan tugas seperti rental komputer, print, fotokopi, dan sebagainya. Berkat talentanya dalam bernyanyi dan bermain gitar, serta ketidakegoisan diri sebagai hasil tempaan kerasnya hidup, ia bisa memiliki sebuah band yang memiliki jadwal rutin manggung dari cafe ke cafe. Bahkan band tersebut ditanggap sampai keluar kota. Di Malang, anak Flores memang terkenal dengan kemampuan menyanyinya terutama untuk pecah suara. Dan akhirnya, dengan mengamen dan menjadi penjaga kosan, Ferry berhasil memperoleh gelar sarjana.

Kini ia berhasil meraih cita masa remajanya, bekerja di dunia pariwisata dan bercakap-cakap lancar dengan warga negara asing. Ia bekerja di salah satu perusahaan pariwisata yang paling kredibel di Labuan Bajo, dan menjadi tangan kanan dari si pemilik. Ia juga menjadi sosok rendah hati dan santun yang selalu berusaha menolong orang yang membutuhkan bantuannya. Dia belum hidup berlebih. Tapi dia telah sukses. Sukses mendapatkan salah satu mimpinya dengan jalan yang tidak instan. Sukses (dan semoga seterusnya) mentransfer kebaikan-kebaikan yang pernah ia terima dulu, ke orang-orang di sekitarnya sekarang. Sukses memanusiakan manusia, dengan bersikap baik kepada siapa pun, termasuk orang-orang yang dicap buruk oleh sekitar. Ia belajar untuk tidak menilai orang dari luarnya saja. Ia belajar untuk menjaga mulutnya, mempertanggungjawabkan ucapannya. Ia belajar untuk berpikir sebelum bertindak, agar dapat bertanggung jawab akan perbuatannya. Semua itu merupakan hasil tempaan hidup yang keras selama bertahun-tahun.

Meskipun masih banyak cita-citanya yang belum tercapai seperti ingin punya perusahaan sendiri (perjalanannya masih panjang), di mata saya, Ferry merupakan sosok anak kampung yang berhasil. Ia merupakan buah didikan orang tua dan guru-guru di kampung tanpa listrik dan jalan aspal, yang mungkin kalau ikut Uji Kompetensi Guru tidak ada yang lulus karena kegagapan teknologi. Sampai saat ini, saya yakin masih banyak anak-anak seperti Ferry yang pada akhirnya nanti akan penjadi pengusaha, pengacara, dokter, psikolog, ilmuwan, dan wakil rakyat yang sukses. Semoga, apabila kita mengenal atau mengetahui Ferry Ferry lainnya itu, kita bukanlah salah satu pihak yang menjadi penghalang, baik dengan bersikap pesimis sehingga mematahkan semangat mereka, mempersulit perjuangan mereka apabila kita terlibat di jalur birokrasi untuk pendidikan, atau menjadi penghambat dalam bentuk lainnya. Ferry Ferry ini perlu didukung. Karena, kerasnya didikan lingkungan dan kumpulan kebaikan yang pernah ia terima, akan ia bayarkan di masa  yang akan datang, untuk orang-orang lain yang juga membutuhkan. Pada akhirnya, lingkaran kebaikan tersebut akan semakin besar dan besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun