Mohon tunggu...
Ancilla Rampen
Ancilla Rampen Mohon Tunggu... lainnya -

Happy traveler|miss paradox|love outdoor activities and philosophy|dynamic|nomad -- unable to stay in one single place for long time because it's gonna be sooo boring :D

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Perluasan Bandara Komodo: Pariwisata Menguat, Kekhawatiran Mencuat

7 November 2013   23:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:27 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_290734" align="aligncenter" width="300" caption="Bandara Komodo yang sedang diperbesar (dok. pribadi)"][/caption] "Yesss, jet besar sebentar lagi bisa landing di Labuan Bajo!" jerit saya dalam hati ketika tau bahwa bandara perintis di sini akan diperbesar. Kejadiannya sudah 1 tahun yang lalu. Tentu hal itu akan sangat memudahkan, dan memurahkan, saya kalau butuh pulang ke Jakarta. Meskipun sudah memutuskan untuk menetap di sini, bagaimana pun saya masih butuh pulang ke rumah orang tua di Jakarta sesekali. Butuh ke Bali juga untuk liburan sebentar sambil belanja-belanji barang yang tidak ada supply-nya di kota kecil ini. Sekaligus... (ini yang penting!) wisata kuliner untuk mengurangi kejenuhan akan pilihan makanan yang sama sekali tidak variatif di Labuan Bajo! Memang sangat menggoda pembangunan bandara yang sedang dalam proses. Tak bisa dipungkiri, akses transportasi sangat mempengaruhi perkembangan suatu daerah. Kalau akses semakin mudah, biaya jadi semakin murah, pengadaan barang dan jasa pun semakin lengkap. Eits, tapi tunggu dulu... Kenapa saya memilih tinggal di Labuan Bajo? Ohhh, karena tempatnya masih cantik alami. Eksotis. Alamnya masih relatif sehat. Lautnya diminati para penyelam. Konon jadi salah satu tempat menyelam tercantik di dunia. Koralnya warna-warni. Binatangnya beragam dari yang raksasa sampai yang super mini. Di gugusan pulau-pulaunya masih ada hewan purba endemik, Komodo namanya. Dari silsilah sih, katanya lebih dekat dengan dinosaurus dibanding kebanyakan hewan masa kini. [caption id="attachment_290735" align="aligncenter" width="300" caption="Sunset cantik dari Paradise Bar - Labuan Bajo (source: Flores Discovery)"]

13838415312137983412
13838415312137983412
[/caption] Kenapa ya alam di tempat ini masih sangat terjaga? Hmmm, mungkin karena populasi manusianya masih belum berlebihan. Akses ke sini susah, mahal, jarang-jarang. Hanya orang-orang yang benar-benar berminat lah, yang mau menabung dan mengeluarkan uangnya untuk ke Labuan Bajo. Seketika kekhawatiran pun muncul. Dengan banyaknya high investments yang sudah dan sedang ditanam di Labuan Bajo, akan diresmikannya bandara yang lebih besar tengah tahun depan, dan belum adanya regulasi dari pemerintah daerah untuk menjaga alam di kabupatennya, mau jadi apa kota kecil ini? Bukan hanya Labuan Bajo, area Taman Nasional Komodo pun akan kena dampaknya. Ketika hotel, resort, dan villa mewah semakin memadati area pasir putih di Pantai Pede dan Wae Cicu, pulau-pulau kecil dibeli pengusaha untuk dijadikan resort, tempat hiburan, dan kasino, apa kabar alam kami? Apa kabar kami? [caption id="attachment_290736" align="aligncenter" width="300" caption="Piknik yang tidak bisa kami lakukan lagi apabila semua pantai berpasir sudah dibeli swasta (dok. pribadi)"]
1383841792722836319
1383841792722836319
[/caption] Saya rasa, masyarakat Kab. Manggarai Barat dan penggiat pariwisata, pada khususnya, sangat antusias dengan bandara yang sedang diperbesar. Banyak hal akan jadi lebih mudah dan terjangkau. Apalagi untuk area yang diharapkan berkembang karena sektor pariwisatanya. Tentu ini memudahkan turis untuk datang ke sini. Namun, bukan mass tourism yang saya (dan banyak penggiat pariwisata serta pecinta alam) inginkan. Sustainable tourism yang kami harapkan. Saat ini, sebagai contoh, ketika harga tiket pesawat di bulan Juli-Agustus seharga 1-1,5 juta sekali jalan dari Bali (harga tertinggi) saja, sudah banyak penyelam yang bilang kalau mereka tidak menikmati menyelam saking ramainya. Para penyelam yang mencari ketenangan, kedamaian, dan keindahan dunia bawah laut, hanya mendapati diri mereka menyelam di "pasar" bawah laut. Di mana-mana orang. Berisik bunyi tanki dipukul. Susah nyari hewan yang mau dilihat. Belum lagi, meskipun jelas-jelas sudah dilarang, banyak penyelam yang menginjak koral. Kan bikin koral rusak, mati. Kalo koral rusak, biota yang bergantung pada koral tersebut tidak bisa bertahan hidup. Itu baru dari sektor menyelam. Belum dari sisi pengunjung Pulau Komodo dan Rinca yang mau melihat si naga purba. Untungnya, menyelam di "pasar" itu hanya terjadi 2 bulan dalam satu tahun. Bagaimana kalau bandara baru nanti dibuka? Kalau Garuda Indonesia dan AirAsia sudah masuk? Bagaimana kalau sudah open sky di 2015 nanti? Seandainya Emirates, Singapore Airline, Cathay Pacific, Jetstar, Qantas, Virgin Australia, KLM masuk ke sini? Bagaimana seandainya hal tersebut tidak dibarengi regulasi ketat pemerintah daerah akan kuota pengunjung? Yap, jumlah turis membludak. Kalau masyarakat lokal pintar, mereka akan jadi sangat kaya karena kesempatan ini. Tapi, mungkin anak cucu yang adalah warga asli setempat harus mengontrak rumah dari investor asing di kemudian hari kalau masih mau tinggal di sekitaran Labuan Bajo. Soalnya,  tanah yang harusnya jadi warisan untuk mereka, sudah dijual oleh orang tua, nenek-kakek mereka bertahun-tahun silam. Lautnya juga sudah tidak cantik dalam beberapa tahun ke depan. Koralnya banyak yang bleached. Perusahaan menyelam banyak yang gulung tikar. Lebih kasihan lagi para nelayan. Mereka akan semakin banyak melakukan aksi penangkapan ilegal karena semakin susahnya mencari ikan di perairan sekitar. Makin menjadi-jadi lah kerusakan alam yang ada. Sampah semakin tidak terkendali, terutama di laut. Hewan laut bukan hanya mati karena ekosistem rusak akibat koral yang mati, tapi juga karena makan plastik dan sampah sintetis lainnya. Atraksi wisata hanya tinggal Komodo. Komodo pun populasinya semakin menurun karena ekosistem di pulau mereka banyak terganggu oleh manusia, pengunjung yang terlalu banyak. [caption id="attachment_290737" align="aligncenter" width="300" caption="Keindahan bawah laut Taman Nasional Komodo yang harus dijaga (copyright: Fabi Nompas)"]
138384193841803659
138384193841803659
[/caption] Sisa apa di sini nantinya? Sisa resort mewah, club malam, kasino, mall, Starbucks, McDonalds, 7eleven, penipuan, pencurian, dan orang-orang yang semakin egois karena tingginya persaingan untuk bertahan hidup. Sehingga, daerah yang pada awalnya terkenal karena kecantikan alam dan kebaikan warganya, pada akhirnya dikenal sebagai "the second Bali". Mengerikan sekali membayangkannya. Ketika saya bertanya, apakah ini yang saya impikan? Tidak. Lalu, apa mimpi saya? Tempat ini tetap memiliki alam yang cantik dan terlindungi, warga yang ramah dan tulus, sehingga diminati para pelancong bukan karena kekuatan branding dan marketing semata, namun karena memang menarik dan layak dikunjungi, dan tetap begitu sampai seterusnya. Kalau begitu, hal apa yang bisa jadi upaya preventif? Setau saya, salah satunya dan yang sangat krusial adalah PERDA akan kuota pengunjung. Siapa yang bisa membuat Perda tersebut? Saya awam dalam sistem pemerintahan, tapi sepertinya sih niiih... Pemerintah Daerah bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Komodo. Apa jika Perda ini dibuat, masyarakat setempat akan mendukung? Pada akhirnya, ketika ini untuk kebaikan masyarakat juga, saya yakin masyarakat mendukung. PPada akhirnya, kalau ujung-ujungnya juga menyangkut "perut", masyarakat akan mendukung. Lalu, apa yang dapat saya lakukan untuk andil dalam upaya pencegahan kerusakan alam dan "sumber penghasilan" masyarakat ini? Tidak banyak. Sekarang, kapasitas saya hanya dalam menulis. Maka dari itu saya menuliskan pemikiran ini. Lebih tepatnya, menuliskan kekhawatiran dan harapan. Semoga, dari tulisan ini dan tulisan-tulisan pihak lain, masukan dan kerja sama berbagai pihak, meskipun dengan sedikit pesimis (Anda akan tau mengapa saya pesimis kalau Anda tinggal di sini :p) pada akhirnya Pemerintah Daerah sadar untuk segera membuat regulasi yang dibutuhkan. Semoga saja... semoga... sadarnya sebelum semua terlambat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun