Mohon tunggu...
Myrna Vergiana
Myrna Vergiana Mohon Tunggu... Administrasi - Tangerang, Banten

Fun Fearless Female who loves travelling, listening music, dancing n reading magazine. Having Economic/Accounting background and currently working for European Union Humanitarian Aid Dept consider that writing is a passion even not doing it very often. It is the way you can express the feeling,what you have in mind and at the end to share....

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Si Sapu Jagat Penuai Kontroversi

18 Oktober 2020   22:05 Diperbarui: 18 Oktober 2020   22:09 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti yang kita semua ketahui, belakangan publik dikejutkan dengan disahkannya UU Omnibus law-Ciptaker melalui ketok palu pada sidang paripurna DPR tertanggal 5 Oktober lalu, tak pelak hal ini menjadi trending topik di jagat sosial media.

Demonstrasi yang diikuti tidak saja dengan buruh namun para mahasiswa dan pelajar (yang bahkan beberapa dari mereka tidak tahu persis apa yg didemokan) berbuntut anarkis dengan merusak beberapa fasilitas publik, sungguh disayangkan.

Menurut hemat saya, pemerintah mencoba berpikir secara agregat utk mengatasi beberapa permasalahan negeri ini terkait pengangguran/ketenagakerjaan, ekonomi serta investasi. Sebagian kalangan mengatakan begitu terburu-buru dengan memakan waktu yang kurang lebih sekitar 9 bulan untuk melebur puluhan UU dengan ribuan pasal.

Menurut saya, bukan kah hal ini dapat dikatakan sebuah pencapaian?  Bukankah masyarakat seringkali berpendapat pembahasan UU di lembaga legislatif ini terkadang tak berujung ?

Jika dikaitkan dengan situasi pandemi saat ini, bukankah negara ini akhirnya terpuruk ke jurang resesi meski tidak terperosok dalam seperti salah satu negara tetangga kita, Singapura. Ketidak-disiplinan masyarakan akan protokol kesehatan membuat pemerintah harus memutar otak untuk membawa negara ini tidak oleng ditengah badai pandemi.

Kedatipun demikian, negara tetap hadir dan memberikan bantalan pengaman sosial hampir disemua lini masyarakat terdampak, walhasil, perekonomian kita tercarut marut bahkan diperkirakan masih bertengger di jurang resesi sampai dengan kuartal terakhir tahun ini dan tidaklah berlebihan jika langkah yang sigap dibutuhkan untuk dapat keluar dari jeratan resesi yang berkepanjangan, dan Omnibus Law, inilah produk konkrit yang ditawarkan pemerintah yang salah satunya mengatur hal-hal yang berkenaan dengan investasi yang bertujuan tidak lain adalah meningkatkan daya saing, menyusul Indonesia dikenal sebagai negara nomor satu didunia dengan kesulitan birokrasi tertinggi. Sinkronisasi kebijakan yang dituangkan dalam UU bertujuan memangkas birokrasi yang diharapkan dapat menjaring lebih banyak investor, bukankah hal ini yang dapat sedikitnya mendongkrak recovery? dimana lapangan kerjapun otomatis akan tercipta dengan sendirinya, yang sekaligus mengatasi problem bonus demografi yang akan dihadapi negeri ini.

Sektor UMKM pun diberikan begitu banyak kemudahan untuk bisa pulih dari hempasan pandemi karena sektor ini penyumbang sekitar 60-70 % PDB. Bukankah hal-hal ini yg menjadi urgensi disahkan nya UU Ciptaker penuai kontroversi ini?

Berbagai kalangan seakan menatap sinis soal investasi, seolah-olah pemerintah memberi karpet merah bagi investor dan mengabaikan hak-hak buruh, mungkin itu yang belakangan kita dengar dalam berbagai orasi saat pendemo beraksi. Namun bukankah investasi tidak dapat berdiri sendiri, melainkan melibatkan ekosistem didalamnya, seperti tenaga kerja dan regulasi ?.

Untuk itu kurang tepat rasanya jika mengatakan pemerintah mengabaikan hak-hak buruh yang merupakan salah satu komponen dalam ekosistem tersebut. Saya tidak mengatakan setuju untuk semua poin yang tertuang dalam UU Ciptaker tersebut, namun ada pasal-pasal yang justru menguntungkan yang sebelumnya tidak ada dalam UU 13/2003 yakni perlindungan kehilangan pekerjaan. Untuk itu berhati-hatilah dengan hoax yang berseliweran, yang diantaranya mengatakan ditiadakan upah minimum regional, namun yang berlaku adalah UMP alias upah minimum propinsi yang notabene jauh lebih kecil, padahal upah minimum regional/kabupaten kota tetap ada dengan formulasi yang juga menyertakan komponen pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Ada yang mengatakan peran serikat pekerja dihilangkan/dibatasi ini pun tidak benar, mereka tetap bisa melakukan advokasi, Rumor seputaran PHK yang dapat dilakukan seenaknya oleh pengusaha pun beredar, dan berita ini tentunya tidak benar.Pengaturan mengenai PHK tetap mengacu yang berlaku saat ini. Pun mengenai cuti haid bagi pekerja perempuan, dan sebagainya. Pengaturan amdal juga tak luput dari yang ditentang keras yang mengatakan UU Omnibus law ini seolah menggampangkan masalah amdal, padahal tidak benar adanya. Hal ini dijelaskan langsung dengan menteri terkait bahwa justru dalam UU ini, persyaratan amdal diintegrasikan dengan izin perusahaan, sehingga apabila perusahaan yang akan masuk bermasalah dari sisi amdal, otomatis akan bermasalah dengan perizinan. Bukankah yang terjadi saat ini justru sebaliknya ? dimana sebuah perusahaan dapat terus beroperasi meski bermasalah dengan pengelolaan amdalnya?

Disinformasi inilah yang membuat kaum buruh maupun pihak-pihak tertentu, terutama yang terdampak pandemi menjadi semakin gerah dibuatnya, terlebih beredarnya beberapa versi yang berbeda dari draft UU tersebut membuat publik dibuat bingung karenanya. Namun saya pribadi, seharusnya tidak menyoroti jumlah halaman dalam hal ini, namun lebih ke jumlah pasal yang menjadi tolok ukur. Belakangan muncul kecurigaan ada hal-hal substansial yang diubah, meski saya melihat salah satu diantaranya mengenai PHK (pasal 156), frasa 'paling banyak' dihilangkan, dimana hal ini berarti lebih baik karena hal ini berkenaan dengan perhitungan pesangon. Hal ini mencerminkan pemerintah mencoba untuk mengakomodir kepentingan  masyarakat seperti yang didengungkan bahwa peraturan turunan yang akan dibuat, akan melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan sehingga implementasi menjadi efektif.

Meskipun demikian, pemerintah masih membuka ruang bagi pihak-pihak yang tidak menyetujui draft UU ini, seperti dikutip dari statement para pejabat pemerintah, monggo silahkan mengajukan judicial review melalui MK, dan pintu selalu terbuka, meski ada yang mengatakan pendapat tersebut seolah menunjukan arogansi pemerintah, namun bukankah ini negara hukum yg memiliki aturan main dalam bernegara?   So let's wait and see bagaimana dinamika si Sapu Jagat penuai kontroversi ini, semoga bisa sedikitnya mengakomodir kepentingan berbagai pihak. but remember.we can't always make good coffee for everyone

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun