Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Internet dan Transformasi Digital dalam Kegiatan Kerelawanan

17 Juli 2022   22:57 Diperbarui: 17 Juli 2022   23:28 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dolanan Ceria Bareng: Kegiatan bermain & belajar untuk anak-anak pengungsi erupsi Gunung Merapi. Sumber: Komunitas Peace Generation

Dulu,  tahun 2007-an, saat masih kuliah di salah satu universitas di Jogja, saya sering berkumpul bersama teman-teman setelah selesai kelas. Seminggu bisa 2 sampai 3 kali. 

Tempatnya berganti-ganti, tergantung suasana hati. Kadang di warung makan yang tempat duduknya lapang, kadang di gelanggang mahasiswa, kadang di rumah teman, bahkan di pinggir boulevard kampus, juga kami singgahi! Asal tempatnya mudah dijangkau dan di tengah-tengah. 

Maklum, beberapa dari kami berasal dari universitas yang berbeda di Jogja. Bagi kami, dimanapun tempatnya, yang penting kami bisa duduk berdekatan melingkar untuk berdiskusi bersama membahas kegiatan-kegiatan yang akan kami lakukan. 

Begitulah, cara kami berkegiatan sosial dan membangun komunitas tentang anak muda dan perdamaian selama bertahun-tahun. Ya, percaya atau tidak, berbagai kegiatan lahir dari 'ngampar' atau duduk bersama di lantai tanpa alas. 

Lulus kuliah, satu persatu dari kami, memutuskan pergi dari Jogja. Ada yang kembali ke daerah asal, melanjutkan studi di kota lain, dan yang paling jamak, bekerja di ibukota. Akhirnya, mau tidak mau, komunitas kami vakum. 

Tidak ada lagi kegiatan karena tidak ada orang yang tersisa untuk mengurusnya. Saya dan beberapa teman termasuk anggota komunitas yang pindah ke Jakarta. 

Walaupun sama-sama di Jakarta, nyatanya, tidak serta merta kami bisa bertemu dan berdiskusi membahas komunitas seperti saat kuliah dulu. Makin ke sini, setiap orang mempunyai kesibukan dan prioritasnya masing-masing. 

Melihat hal itu, saya pun mencoba mencari pertemanan dan komunitas baru di Jakarta. Sebagai orang yang menganggap kegiatan kerelawanan sebagai bentuk aktualisasi diri, saya tidak patah semangat. Berbekal rekomendasi dari teman, mengiyakan ajakan untuk berkumpul di akhir pekan, sampai mengajukan diri menjadi relawan sudah saya jalani. 

Siapa sangka, seiring berjalannya waktu, akhirnya, saya bisa bergabung di beberapa kegiatan komunitas di Jakarta setiap akhir pekan. Saya baru menyadari, ternyata, tidak semua relawan berasal dari Jakarta. Nyaris separuhnya, adalah perantauan juga seperti saya. Jadi, terbayang kan serunya bisa bertemu dengan orang dari berbagai latar belakang?

Salah satu momen saat menjadi relawan di festival relawan di Ecopark Ancol. Sumber: dokumentasi pribadi
Salah satu momen saat menjadi relawan di festival relawan di Ecopark Ancol. Sumber: dokumentasi pribadi

Semua Ada Masanya: Perkembangan Zaman

Kini, walau sudah 15 tahun berlalu, saya masih suka tertawa sendiri jika mengenang kejadian itu. Pada masanya, saya dan teman-teman sampai menghafal beberapa warung makan di Jogja yang tempatnya luas dan bersedia 'mengakomodasi' keriuhan kami saat diskusi. Sekarang, zaman benar-benar berubah. Semua menjadi serba teknologi dan internet. 

Kehadiran rapat, misalnya, tak lagi hanya didefinisikan secara fisik, tetapi juga kehadiran di luar jaringan (luring) atau virtual (online). Hal-hal yang serba teknologi dan internet atau digitalisasi ini membawa dampak besar pada kegiatan kerelawanan dan komunitas anak muda.

Jika dulu, saya dan teman-teman harus berpikir dahulu untuk menentukan tempat untuk diskusi, kini, tinggal sebut saja salah satu platform telekonferensi, seperti Zoom, Gmeets, Webex Meeting, dan segera tentukan waktunya. Kami tidak perlu pusing mengatur jumlah kursi karena semua bisa hadir, baik secara luring atau daring (dalam jaringan/online). 

Tidak sampai di situ saja, jika dulu, pengumuman untuk rekrutmen relawan masih menggunakan brosur selebaran yang ditempel di papan mading kampus, sekarang semua bisa menyebar cepat dan 'paperless' melalui berbagai kanal media sosial, sebut saja, Whatsapp, Instagram, Twitter, TikTok, dan Facebook. 

Saya percaya, perbandingan-perbandingan semacam itu tidak akan ada habisnya. Semua memang ada masanya dan semakin berkembang. Di masa sekarang, internet menjadi sebuah kebutuhan dan membuat aktivitas tanpa batas. 

Dulu pun, saat saya kuliah, diakui, internet sudah ada, namun hanya difungsikan sebagai alat untuk mencari referensi belajar dari berbagai sumber, terutama jurnal-jurnal keilmuan. 

Dari semua ruangan yang ada di perpustakaan, yang paling ramai adalah 'warnet' alias warung internet, di mana kita bisa mengakses internet secara cuma-cuma di meja-meja bersekat yang sudah diatur rapi sedemikian rupa. 

Digital Bisa untuk Semua, termasuk Kegiatan Sosial

Pengalaman merasakan transisi kemajuan teknologi dan internet di kegiatan sosial, nampaknya, tidak hanya saya saja yang merasakan. Selevel masyarakat dan negara juga bisa secara komunal merasakan. Tahun 2021 lalu, dalam World Giving Index, Indonesia dinobatkan menjadi negara paling dermawan di dunia. 

Ada tiga indikator yang digunakan dalam penilaian, yaitu berdonasi, membantu orang asing, dan kegiatan kerelawanan. Laporan yang diterbitkan oleh Charity Aid Foundation itu juga menyebutkan bahwa delapan dari sepuluh orang Indonesia menyumbangkan uang dan tingkat kesukarelawanan orang Indonesia tiga kali rata-rata global. 

Temuan-temuan tersebut, rasanya, tidak mengejutkan. Saat pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, pemerintah membatasi akses dan mobilitas masyarakat untuk memutus rantai penularan virus. 

Walaupun demikian, momen tersebut justru menjadi ajang kreativitas untuk berbagi dengan orang yang terkena dampak pandemi dengan memaksimalkan penggunaan internet. 

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2022, pengguna internet di Indonesia terus naik dari 175 juta pemakai menjadi 220 juta pengguna. Kenaikan tersebut didorong kebutuhan komunikasi selama pandemi Covid-19. Diakui, saat itu, banyak sekali manfaat internet untuk kegiatan sosial yang dapat kita rasakan. 

  1. Internet membuat kita mudah mencari kesempatan untuk berbagi

Walaupun hanya berada di rumah, tidak berarti kita tidak dapat melakukan apa-apa. Kita tetap dapat mengakses informasi dan berita dari berbagai sumber melalui internet. 

Saat beberapa orang yang terkena dampak pandemi menulis dan mempublikasikannya di media sosial, muncul berbagai bentuk dukungan. Dalam sekejap, banyak bantuan yang mengalir dari orang-orang yang mempunyai sumber daya. 

  1. Relawan dapat bekerja dari rumah

Lagi-lagi, dengan segala keterbatasan yang ada saat pandemi Covid-19, menjadi relawan tidak lagi didefinisikan sebagai orang yang harus berada di lapangan saat situasi darurat. 

Di rumah pun, kita tetap dapat menjadi relawan yang membantu sesuai kapasitas dan keterampilan yang kita miliki. Sesederhana, mengetik data, menerima konsultasi, melakukan survei, menjadi admin media sosial, dan sebagainya. 

Berbagai inisiatif sosial lahir saat pandemi Covid-19 dan dipelopori oleh anak muda Indonesia. Sebut saja, Kawal Covid 19, Pandemic Talks, dan Warga Bantu Warga.

  1. Penggalangan bantuan

Kemajuan teknologi dan internet telah mengubah skema penggalangan bantuan dari konvensional ke digital. Jika dulu, penggalangan dana dilakukan melalui kotak amal dan proposal, kini, semua dapat dilakukan secara digital, sebut saja internet banking, QR Code, platform crowdfunding, dan sebagainya. 

Tidak hanya dari segi pendanaan, penggalangan bantuan yang sifatnya non-tunai pun juga. Misalnya, di kanal Twitter, sering kita jumpai kalimat 'Twitter, please do your magic' untuk meminta bantuan kepada publik. Tidak heran, banyak bantuan yang terkumpul karena kecepatan internet dalam menyebarkan informasi. 

Gotong-Royong 4.0, Sebuah Cita-cita

Dari semua cerita yang saya sampaikan di atas, akhirnya, saya berefleksi. Ternyata, internet adalah sahabat perubahan. Internet berhasil mengubah bagaimana kita bisa berkegiatan sosial, dari memberikan donasi sampai menjadi relawan. Selain di level personal, di level organisasi pun, kini, banyak komunitas dan lembaga sosial yang melakukan modernisasi pada cara mereka bekerja dan program-program yang dijalankan. 

Bagi saya, ini adalah sebuah peluang. Telkom Indonesia dapat menginisiasi pemberdayaan komunitas untuk mengembangkan ekosistem digital dalam kegiatan sosial di Indonesia. 

Melalui IndiHome, internetnya Indonesia, yang mempunyai jaringan hingga di pelosok negeri, berbagai inisiatif sosial dapat tumbuh dan saling terhubung satu sama lain. Ini seperti 'Gotong-Royong 4.0' di mana semua orang dapat saling membantu walau terpisah jarak. 

Kita dapat dengan mudah menemukan orang yang membutuhkan pertolongan. Sebaliknya, orang yang ingin menolong pun dapat kita pertemukan dengan yang membutuhkan bantuan. Kalau sudah begitu, saat semua orang bersedia terlibat dan membantu, bukankah dunia akan terasa jauh lebih indah?

Referensi/Sumber Bacaan:

- https://www.cafonline.org/about-us/publications/2021-publications/caf-world-giving-index-2021 

- https://www.republika.co.id/berita/rd7lbq383/apjii-pengguna-internet-di-indonesia-naik-dari-175-juta-menjadi-220-juta 

- https://www.pointsoflight.org/blog/6-ways-internet-has-changed-how-you-can-volunteer-and-give/ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun