Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sound of Borobudur, Suara Idealisme dan Optimisme di Kala Pandemi

11 Mei 2021   23:46 Diperbarui: 11 Mei 2021   23:55 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agaknya, Indonesia tak pernah kehilangan cara untuk menarik wisatawan agar datang ke negaranya. Negara yang pada Desember 2019 melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia mengklaim bahwa jumlah pulaunya mencapai 17.491 ini, sedang gencar-gencarnya mencari sesuatu yang bisa dijadikan magnet wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Masih segar dalam ingatan, ada berbagai konsep wisata yang coba dikembangkan mulai dari wisata alam, wisata religi (ziarah), wisata budaya, wisata kuliner, wisata budaya, sampai wisata konvensi yang dinilai cocok dengan kondisi Indonesia sebagai modalitas utamanya. Para pejabat di level eksekutif pun tak henti-hentinya berpromosi di forum-forum internasional serta merekrut para 'influencer' untuk memberikan testimoni positif terhadap pariwisata Indonesia. 'Wonderful Indonesia', slogannya.

Sayangnya, semua itu buyar, sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia per-Maret 2020. Tingkat penularan virus antarmanusia yang masif membuat pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan wilayah, pembatasan mobilitas, serta larangan berkerumun. Industri pariwisata yang identik dengan pergerakan orang, mengunjungi atau merasakan pengalaman secara langsung spontan kolaps. Bagaimana tidak, dengan adanya pandemi, tempat-tempat publik yang dinilai tidak berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok (logistik, bahan pangan) sementara ditutup. Industri transportasi pun juga terkena dampaknya karena tidak ada penumpang yang ingin bepergian. Tercatat, ada hampir 34 juta pelaku wisata dan ekonomi kreatif kehilangan mata pencahariannya.

Seakan berefleksi, Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menyadari bahwa pariwisata di Indonesia akan berbeda dari periode sebelumnya. Pandemi Covid-19 menjadi momentum perubahan wisata-wisata konvensional ke wisata-wisata bentuk baru, menyesuaikan kondisi manusia dan kondisi objek wisata. Ada empat konsep yang coba ditawarkan, yaitu 'personalize', 'customize', 'localize', dan 'smaller in size'. 'Personalized' adalah wisata dalam cakupan terbatas, seperti keluarga/kerabat, bukan tur dalam skala besar. 'Customize' adalah wisatawan dapat memilih objek sesuai keinginannya (minat khusus). 'Localize' adalah wisatawan lebih mempertimbangkan jarak yang dekat daripada yang jauh dari tempat tinggalnya. Serta, 'smaller in size' adalah objek pariwisata dengan jumlah pengunjung minimal/tidak ramai.

Walaupun sepintas terdengar sebagai konsep yang sangat ideal, saya, si pecinta jalan-jalan ini, tidak pesimis juga. Mau tidak mau, saat pandemi Covid-19 ini berakhir, kita tidak akan bisa kembali ke kondisi masa lalu sebelum pandemi ini ada. Yang bisa kita lakukan adalah mengapresiasi atau mempertahankan berbagai inovasi dan pembelajaran yang muncul saat pandemi ini muncul. Toh, ada juga dari inovasi dan pembelajaran itu yang berkontribusi positif pada perkembangan manusia. Sebut saja, penggunaan teknologi dan aplikasi digital yang mempermudah kehidupan: online learning, virtual meeting, digital banking, serta online shopping.

Borobudur dan Program Kebudayaan Berbasis Musik, Sebuah Inovasi

Pada bulan April lalu, ada gagasan yang lahir terkait budaya dan upaya-upaya untuk melestarikannya. 'Sound of Borobudur', namanya. Siapa yang tidak kenal dengan Candi Borobudur? Dua ratus tujuh puluh juta penduduk Indonesia pasti mengenalnya. Candi megah yang pernah menjadi situs warisan dunia UNESCO tahun 1991 ini memang tidak pernah habis menorehkan cerita. Oleh para budayawan dan pegiat musik Indonesia, Dewa Budjana, Purwacaraka, dan Trie Utami, Borobudur coba dibangkitkan kembali melalui relief-relief candinya yang ternyata banyak berkisah tentang budaya musik yang menjadi cikal bakal budaya Indonesia yang menjunjung tinggi keberagaman.

Jika kita menengok sejenak pada sejarah, kehidupan sehari-hari peradaban manusia pada abad ke-X tidak terlepas dari hiburan. Musik dan alat musik menjadi hasil karya manusia, baik berupa pemikiran, daya cipta, maupun perasaan, yang pada masa itu berkaitan dengan budaya yang terbentuk. Hal ini dibuktikan dengan kemeriahan seni pertunjukan atau rangkaian upacara dengan berbagai instrumen pendukung yang diabadikan dalam relief-relief Candi Borobudur. Ada berbagai alat musik atau instrumen yang muncul di relief kaki Candi Borobudur yang tertutup, antara lain alat musik petik, tiup, pukul, dan gesek. 

Sound of Borobudur bukanlah sekadar program. Inisiasi ini didorong untuk menjadi sebuah gerakan (movement) yang dapat mengenali lebih dalam kebesaran peradaban pada masa lalu dengan menggunakan budaya dan ilmu pengetahuan menjadi sebuah seni yang dapat mengembalikan jati diri manusia. Dengan dukungan penuh dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan berbagai institusi budaya dan pariwisata di Indonesia, inisiasi 'Borobudur Pusat Musik Dunia' dipilih sebagai langkah awal sosialisasi Sound of Borobudur kepada masyarakat luas. Salah satunya adalah kegiatan seminar tentang Candi Borobudur yang dihadiri oleh berbagai pakar, yaitu cultural studies, sejarah, arkeologi, antropologi, dan etnomusikologi.

Borobudur, Musik, Lalu Apa?

Sound of Borobudur terdengar menjanjikan. Dengan solidnya dukungan dari berbagai pihak, inisiasi ini bisa menjadi sebuah inovasi di tengah keringnya dunia pariwisata akibat pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda segera usai. Saya yakin, dengan total 1.460 relief dan 504 stupa, Borobudur tak akan kekurangan cerita. 

Musik yang diramu sedemikian rupa oleh para budayawan dan pegiat musik bisa menawarkan obat optimisme kepada bangsa ini yang senantiasa belajar dan terkenang oleh kejayaan di masa lalu. Penting untuk diingat juga bahwa melalui musik, orang dapat menghargai keindahan dan memperoleh ketenangan jiwa raga. Mungkin, alasan ini juga yang melandasi  Sound of Borobudur diluncurkan saat pandemi. Musik dapat menjadi sarana untuk mengekspresikan diri  (self expression), baik secara personal maupun membentuk identitas komunal atau persatuan. Jika di masa lalu musik dan tari-tarian identik dengan pertunjukkan yang khusus ditujukan untuk kaum bangsawan, maka saat ini, harus bisa inklusif. Ya,  Sound of Borobudur untuk semua rakyat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun