Setelah sekian bulan berganti di tahun 2021 ini, orang-orang tetap ramai menyebut-nyebut Ramadan tiba dengan kehadiran iklan sirup beberapa seri di TV dan Youtube. Antara jokes dan realita, memang demikian yang terjadi selama bertahun-tahun ini. Sungguh pun, mereka sebenarnya hanya orang-orang agensi yang pintar mengambil momentum.Â
Dulu, saya selalu terkenang-kenang Ramadan dari 'receh-recehnya'. Ya, selain seri iklan sirup tadi, ya. Walau bisa membuat kolak pisang kapan aja, misalnya. Rasanya akan beda kalau kolak pisang enggak buat buka puasa. Walau setiap hari masjid buka, beda aja kalau saat Ramadan. Masjid nampak lebih 'meriah' dengan berbagai kegiatan: tarawih, berbagi takjil, buka puasa, pengajian, tadarusan. Walau setiap hari ada mamang-mamang jualan di pinggir jalan, beda aja dengan mamang-mamang jualan yang 'tumpah' di jalanan menjual kudapan buka puasa. Bahkan, hal ini diakui oleh teman saya yang Nasrani, lho. Dia sangat suka jajan kudapan menjelang waktu berbuka puasa. Berbaur bersama orang-orang, celingak-celinguk, kebingungan memilih makanan apa yang disuka saking banyaknya. Enggak heran, dia pun selalu menyambut Ramadan dengan suka cita.Â
Ramadan memang menang suasana, katanya. Tinggal di negara dengan penduduk muslim terbesar, tidak mungkin tidak merasakan suasana Ramadan di sini. Pasti merasakan perbedaan suasana daripada bulan-bulan lainnya. Sesederhana, ada tambahan tirai di jendela warung atau rumah makan atas nama menghormati orang-orang yang sedang berpuasa.
Sejak setahun yang lalu, Ramadan saat pandemi punya khasnya sendiri. Kegiatan kumpul-kumpul menjadi dilarang. Padahal, kalau dipikir-pikir, bukankah yang 'menambah' meriah suasana Ramadan itu kalau bisa berkumpul, ya? Walau secara fisik, perutnya yang lapar, semua malah jadi haus bertemu. Semua maunya buka puasa, makan secara bersama-sama. Bahkan guyonannya, grup alumni TK pun ada acara buka puasa bersamanya. Ingat jokes yang seperti itu? hehe.
Nyatanya, kita bisa. Kala itu, sejalan dengan pemerintah, banyak tokoh agama yang menyarankan untuk serba #dirumahaja ibadahnya. Alasan tunggal: faktor keamanan. Orang-orang pun menurut. Segala kegiatan ibadah Ramadan berganti ke ruang-ruang virtual dengan mengandalkan jaringan internet. Jika tahun lalu bisa, bagaimana dengan tahun ini?
Walaupun tahun lalu (akhirnya) bisa melewati bulan Ramadan yang serba virtual (termasuk enggak mudik, enggak salat ied berjamaah), sampai di paragraf ini, bohong kalau saya masih tidak mengakui Ramadan yang saya rindukan.
Saya cuma merindukan Ramadan tanpa pandemi titik. Ini seperti sebuah cita-cita. Saya ingin salat tarawih berjamaah di masjid tanpa rasa was-was, mencurigai orang yang tetiba batuk atau bersin di tengah rakaat salat. Saya rindu setiap berangkat ke masjid pukul tujuh malam sambil berstrategi mengatur posisi sandal jepit agar tidak hilang di rak. Saya rindu salat berjamaah berdampingan dengan orang asing yang tetiba mengucap maaf karena menginjak sajadah kita atau sekadar terkekeh bersama saat penceramah tetiba melawak di tengah khutbah.Â
Ah, malunya. Bisa jadi Tuhan akan tertawa membaca tulisan ini. Iya, Tuhan, hambamu ini, akhirnya mengakui semua nampak sederhana tapi siapa sangka semua itu bermakna.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H