Berdasarkan pertimbangan Pengajar Muda, pihak sekolah, dan masyarakat, akhirnya muncul gagasan memindahkan perpustakaan ke dhurung. Dhurung dipilih karena fungsinya yang strategis. Di Pulau Bawean, dhurung menjadi tempat bersosialisasi, sekaligus tempat menyimpan padi dan hasil panen. Pemindahan itu pun disetujui bersama. Keberadaan Dhurung Elmo juga diakui sebagai usaha pelestarian kearifan lokal Pulau Bawean dengan menjadikan dhurung itu sendiri sebagai taman baca masyarakat.
Bagi saya, keberadaan Dhurung Elmo, yang sampai sekarang masi ada, menandakan partisipasi aktif masyarakat di bidang pendidikan. Walaupun terkesan sederhana, pemilihan dhurung menjadi isu strategis karena melibatkan berbagai aktor untuk memutuskannya. Perpustakaan akan dipindahkan ke dhurung milik siapa, siapa yang akan bertanggung jawab dengan buku-buku yang ada di dhurung, bagaimana menambah koleksi buku di dhurung, dan lain-lain. Tidak hanya orang-orang dari Pulau Bawean saja, orang-orang dari luar Pulau Bawean pun turut berkontribusi dengan membantu menjejaringkan masyarakat lokal dengan pihak-pihak yang ingin mendonasikan buku dan memberikan pelatihan yang berkaitan dengan perpustakaan.Â
Ya, sampai di sini saya percaya bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama karena menyangkut kepentingan bersama itu memang benar adanya. Tidak ada sekat-sekat pemisah atau penggolongan atas penyelesaian masalah pendidikan. Sudah saatnya semua lapisan masyarakat terjun dan saling mengajak agar kontribusi setiap indivdu semakin besar. Ini bukan tentang seberapa besar materi yang bisa kita sumbangkan, melainkan seberapa banyak orang yang bisa ikut bergerak dan berkontribusi sesuai apa yang bisa dilakukannya. Semesta bergerak untuk pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H