Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Odol Ideology

5 Desember 2014   02:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:01 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pernah mendengar kata ‘odol’? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘odol’ adalah tapal gigi atau pasta gigi. Konon katanya, pada zaman penjajahan Belanda, ‘odol‘ adalah sebuah merek pasta gigi buatan Jerman yang laris di pasaran. Setelah masa penjajahan berakhir, ‘odol’ tetap dikenaldi Indonesia karena namanya terlanjur melekat untuk menyebut pasta pembersih gigi.

Selanjutnya, seiring perkembangan zaman, muncul beraneka ragam merek ‘odol’ atau pasta gigi di Indonesia. Tak hanya mereknya saja yang beragam tetapi juga varian rasa dan fungsi tambahannya. Dari semula hanya untuk membersihkan gigi, hadir rasa mint segar sebagai pengharum nafas dan rasa strawberry untuk anak-anak. Walaupun demikian, ada persamaan dari semuanya. Bentuk dan pembungkus ‘odol’ di mana-mana tetap sama.

Dengan teksturnya yang lunak, untuk mengeluarkan ‘odol’, biasanya kita harus menekan pembungkusnya sedemikian rupa. Jika ‘odol’-nya masih baru, tidak dibutuhkan tenaga ekstra untuk menekannya. Sebaliknya, ketika ‘odol’ nyaris habis, kita harus menekannya sekuat tenaga agar sisa-sisa ‘odol’ bisa keluar.

Nah, bagi saya, ada pelajaran unik dari cara mengeluarkan ‘odol’ dari pembungkusnya. Disadari atau tidak, hal itu mirip cara kita dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Ada beberapa orang yang membutuhkan tekanan (pressure) untuk memantik ide-ide kreatif dari pikirannya. Jika tidak ada tekanan dalam menyelesaikan pekerjaan, maka orang itu justru cenderung santai dan tidak kreatif.

Pernah bertemu dengan orang seperti itu?

'Odol Ideology' dan 'The Deadliner'

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan orang yang mempunyai ‘Odol Ideology’. Terlebih, jika orang itu terbukti dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Toh, tidak jauh berbeda dengan orang non-‘Odol Ideology’ yang juga mampu mengerjakan pekerjaannya dengan baik. Bedanya hanya orang non-‘Odol Ideology’ bisa mengerjakannya kapan saja tanpa ada embel-embel tekanan.

Contoh yang serupa dari ‘Odol Ideology’ adalah ‘The Deadliner’, yaitu orang yang suka mengerjakan sesuatu pada detik-detik terakhir. Alasannya sederhana. Di detik-detik terakhir dan kondisi mendesak, orang itu dapat mengerahkan segala daya upayanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Lagi-lagi, tidak salah jika akhirnya pekerjaan itu dapat terselesaikan dengan baik.

Jika kita lihat lebih jauh, baik penganut ‘Odol Ideology’ dan ‘The Deadliner,’ sama-sama menunggu sampai batas akhir waktu dalam menyelesaikan tugas. Bagi mereka, waktu yang terbatas adalah sebuah tantangan. Mereka cukup percaya diri untuk dapat menyelesaikan tugas dengan baik.

Lalu masalahnya, mau menunggu sampai kapan?

Sebuah Refleksi

Dulu, saat duduk di Sekolah Dasar, guru saya memberikan Pekerjaan Rumah mengarang, yang harus dikumpulkan minggu depan. Selama satu minggu, guru saya selalu rajin mengingatkan bahwa kami, murid-muridnya, dapat menyelesaikan satu persatu, hari demi hari, sedikit demi sedikit.

Sayangnya, saya tak begitu. Bagi saya, rasanya tak ada sensasi mengerjakan dari jauh-jauh hari. Saya justru enggan dan tak mengerjakan. Baru saat mendekati masa pengumpulan, dengan semangat’45, saya akan mengerjakan. Kebiasaan ini pun berlangsung sampai saya duduk di bangku kuliah dan mengerjakan paper-paper beberapa mata kuliah.

Hasilnya memang lumayan untuk sesuatu yang dikerjakan ngebut semalam. Jika saya bandingkan dengan hasil yang dicapai teman-teman, juga tidak jauh berbeda. Tapi pelan-pelan saya sadar. Ternyata banyak detail yang sebenarnya bisa saya tambahkan. Sebenarnya, saya bisa membuatnya jauh lebih istimewa jika saya lebih matang mempersiapkannya, yaitu dengan mengalokasi waktu dan tidak mendadak.

Ah, penyesalan memang selalu di belakang

Menyambut, Bukan Menunggu

Seringkali, kita dituntut untuk bertindak dan berpikir cepat dalam waktu yang terbatas. Tantangan sering datang tidak terduga dan tiba-tiba. Jika kita hanya menunggu waktu untuk mengeksekusinya, tak terbayang berapa banyak kesempatan dan peluang yang terbuang sia-sia.

Proses berpikir kreatif membutuhkan usaha. Hasil yang maksimal membutuhkan perencanaan yang matang. Jika kita terbiasa menunggu dan mendadak pengerjaannya, banyak bagian-bagian yang sebenarnya penting untuk pembelajaran diri, hilang begitu saja. Jangan menunggu tantangan, jangan menunggu tekanan. Sambutlah tantangan dengan suka cita karena saat itulah kesempatan untuk menjadi JUARA. Layaknya kuis cerdas cermat di televisi, CEPAT untuk menjawab. Gerak lebih cepat!

Sumber gambar: www.vemale.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun