Mohon tunggu...
Nandita Cahyani
Nandita Cahyani Mohon Tunggu... -

Sang Pencinta Hujan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hidup yang Berarti

11 Januari 2011   09:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:43 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“ Pulanglah kak, setiap hari bapak selalu bertanya kapan kakak pulang,”

Pesan singkat yang tertulis di hand phone Dita itu dari adik lelakinya dikampung.Itu seminggu yang lalu, sebelum ia berangkat ke Jakarta. Dua minggu dia harus berada di Jakarta untuk menyelesaikan tugas kantoryang harus diselesaikan ke kantor pusat.Dita masih menyimpan pesan singkat itu di telepon sellularnya, ia enggan untuk membalasnya.Sudah bosan ia mencari-cari alasan agar bisa menghidari permintaan bapaknya untuk pulang ke Kuala Simpang.Hampir enam bulan ia tidak pulang kekampungnya.Memang tidak jauh kota Medan tempat Dita bekerja ke kampung halamannya.Tapi Dita selalu berat untuk pulang, hampir bosan dia dengan desakan bapak.Paling – paling bapaknya akan bertanya, kapan kamu akan menikah.Itu – itu lagi pertanyaan yang membuat kepalanya pusing.Selalu lagi bapaknya menyodor – nyodorkan lelaki pilihan – pilihan bapaknya. Dan selalu pula ditolaknya. “Dee, apa kau sudah punya pilihan sendiri ?”“Kalau memang iya, kenapa tidak pernah kau ajak kemari.”Dan selalu saja dijawabnya belum,“Dee belum berpikir untuk menikah pak.”“Ingat nak, umurmu sudah kepala tiga, kapan lagi aku bisa menimang cucu dari anak perempuanku,” pastilah itu kata-kata bapaknya.

Sebenarnya Dee, panggilan kecilnya, sudah memiliki kekasih hati yang selalu dipujanya.Laki – laki yang telah mengambil hatinya.Berpuluh lelaki telah mendekatinya, mulai dari teman kantor, relasi – relasinya sampai para ekspatriat yang bekerja dikantornya, tapi hati Dee seakan tak goyah.Baginya sang kekasih adalah manusia sempurna yang tak bisa tergantikan.Tapi bisakah bapaknya menerima laki – laki pilihannya itu.Dee tahu, ia yakin bapaknya tak akan mau menerima lelaki itu.Selalu terngiang di telinganya kata-kata bapak. “ Aku akan merestui siapapun lelaki pilihanmu, tapi ingat harus seiman dengan kita.”“Sebab laki-laki itulah yang akan menjadi Imam dikeluargamu kelak.”Sedangkan Indra, kekasihnya itu tidak seiman dengan dirinya.Bagaimana mungkin bapaknya dapat menerima pilihannya itu. Jika memang itu pilihannya paling tidak Dee harus bisa mengajak sang kekasih menganut keyakinannya.Tapi tidak semudah itu mengajak seseorang berpindah keyakinan dari agama yang telah dianutnya sedari kecil.Indra memang tak pernah mengajak mengikuti agamanya, malah sering Indra mengingatkannya kewajiban – kewajiban agamanya yang sering lalai ditinggalkan Dee.Itulah yang membuat Dee menyayangi Indra, Indra tak pernah menganggap suatu perbedaan itu hal yang bisa membuat jurang pemisah.

########################

Dee sangat bahagia ditugaskan ke Jakarta, walau sebentar.Sebab Indra bekerja di sini juga, sejak lima tahun yang lalu, sejak ia mendapatkan bea siswa dari tempatnya bekerja dulu.Paling tidak ia bisa berdekatan dengan Indra dua minggu ini.Dilupakannya sejenak wajah bapaknya yang memelas memintanya pulang, dilupakannya adik - adiknya yang selalu merengek minta oleh-oleh.

“Aku harus memanfaatkan waktu yang sebentar ini,” pikirnya.Memang Indra sejak dua tahun belakangan tak pernah pulang, itulah yang membuat rasa rindunya begitu membuncah.Selama ini memadu kasih hanya lewat telepon atau chating di internet, sekarang ia benar-benar bisa menumpahkan kerinduannya pada Indra.

Dua hari dinegri orang, membuat Dee jengah.Tapi disabarkan hatinya, demi tugas kantor dan yang terpenting demi sang kekasih yang berjanji akan datang esok hari. Dee berkhayal akan mendapatkan hari – hari yang menyenangkan berada dalam pelukan sang kekasih pujaan hatinya itu.Dua tahun, waktu yang cukup lama baginya untuk memendam rindu.Betapa Indra begitu bahagia waktu Dee mengabarkan akan berangkat ke Jakarta.Mereka dapat kembali merajut cinta yang selama ini hanya bisa dilakukan lewat telepon atau surat-surat di email mereka.Esok hari begitu lama rasanya bagi Dee.Dilupakannya pekerjaan siang tadi yang begitu menumpuk harus dilaporkannya pada atasannya.Untunglah esok libur minggu, jadi bisalah ia menghabiskan hari bersama sang kekasih.

Pagi – pagi Dee sudah berdandan rapi bak seorang putri.Disempatkannya spa difasilitas hotel yang memang sudah disediakan.“ Pastilah Indra akan datang pagi – pagi sekali membawakan seikat mawar untukku,” pikirnya.Duduk ia menunggu didepan telepon yang diharapkan berbunyi panggilan dari receptionist bahwa Indra telah menunggunya di lobi hotel.Dimain-mainkannya handphone ditangan, berharap berdering dan itu panggilan dari Indra.Tapi sampai hampir tengah hari yang dinanti tak jua kunjung tiba.Berkali sudah Dee mencoba menghubungi telpon genggam Indra, tapi selalu saja tak dapat tersambung.Sampai Dee tertidur disofa kamarnya Indra belum juga datang.Hari telah senja, dan Dee terbangun oleh hembusan angin dari jendela kamar hotelnya yang terbuka.Indra belum juga datang, pupuslah harapan untuk menghabiskan hari berdua dengan sang kekasih.Padahal dua hari yang lalu ia telah berjanji akan datang menemui Dee.“Aku harus berangkat ke Semarang, jadi siang nanti aku tak bisa menjemputmu dibandara, sabtu malam aku sudah kembali dan minggu pagi aku pasti menemuimu,” kata-kata Indra menenangkan Dee ketika dia tiba di Jakarta.Tapi kenyataannya sampai sore ini Indra belum juga datang.Dihapusnya lipstick dibibirnya, diacaknya rambut yang tadi pagi ditata rapi.Ingin rasanya menangis keras-keras, menjerit.

“ Kenapa Indra tak datang, apakah dia tak merindukanku,”pikiran curiga menyelimuti kepalanya.Tapi selalu saja dikalahkan oleh rasa sayangnya yang menggebu.

“Ah, mungkin tugas kantornya di Semarang belum selesai atau ada keperluan mendadak yang sangat mendesak.”

“ Atau jangan – jangan terjadi sesuatu yang buruk padanya,” pikiran Dee mencemaskan hal buruk yang mungkin saja terjadi.

“Kalau memang ada keperluan mendesak, tak bisakah ia menelponku barang sejenak,’ pikirnya lagi.

Perutnya mulai menjerit minta diisi, sejak pagi tadi cuma roti bakar dan pie apple yang mampir ke perutnya.Dilihatnya menu makanan di hotel itu, tak ada yang membangkitkan selera makannya.Atau memang selera makannya yang telah hilang hari ini.

“ Baiknya aku keluar saja minggu sore ini, bukankah aku belum jalan – jalan cuci mata sejak aku menjejakkan kaki dua hari lalu kota ini.”

Dee menghubungi Aditya, teman satu kantor yang sama – sama mendapat tugas ke Jakarta.Aditya tidak tinggal di hotel, ia nomaden ketempat saudara –saudaranya disini. “ Lumayan, uang buat hotel bisa buat shoping disini, kapan lagi,” katanya.Dee cuma menggerutu menanggapi, Aditya memang teman paling baik bagi Dee di kantornya.Ia tak pernah menggerutu kalau Dee meminta menyelesaikan tugas yang sebenarnya bukan pekerjaannya.

“ Oke sebentar lagi aku jemput, tuan putri siap – siaplah,” Aditya menggoda dari ujung sana.

Setengah jam kemudian Aditya sudah berdiri didepan pintu kamar Dee.

“ Kemana kita tuan putri.

“ Terserah kaulah, aku tak tau tak tau jalan dikota ini,” sambar Dee.

“ Oke, aku jadi guidemu, tapi kau yang bayar ongkos taksi yah.”

Dipusat perbelanjaan dibilangan Thamrin, taksi berkelok masuk ke pelataran parkir.Makan di restoran cepat saji Amerika yang terkenal itu tak membuat Dee bernafsu padahal perutnya yang keroncongan sedari tadi sudah minta diisi.Malas ia menyuapkan makanan ke mulutnya.

Aditya seperti tahu apa yang ada dalam pikiran perempuan didepannya ini.Berpikir ia bagaimana caranya membuat Dee tertawa ceria seperti biasanya.

“ Termenung saja kau, kenapa ?”

“ Nanti susah dapat jodoh kau, kalau suka termenung begitu.”

Raut wajah Dee menunjukan ketidaksenangan dengan kalimat terakhir Aditya tadi. Langsung saja Aditya sadar dan buru-buru menarik ucapannya.

“ Maafkan aku Dee, bukan maksudku bikin kau tersinggung.”

“ Aku cuma bercanda koq.”

Tak tahan Dee melihat wajah tampan yang memelas di depannya itu.Buat Dee, Aditya itu lebih dari sekedar teman sepekerjaan, tapi juga tempat berbagi cerita, teman yang mau mengerti dirinya.Hanya Aditya yang memahami bagaimana perasaannya pada Indra, yang mau mengerti bagaimana keadaan hubungan mereka, walau ia tak pernah menunjukan dukungannya secara langsung padaku.

“ Ya sudahlah, kau kayak tak pernah mencintai seseorang saja, lain betullah rasanya.” sanggahan Dee malah memerahkan muka Aditya.Seandainya Dee tahu perasaan yang terpendam di hati Aditya, sungguh ia mencintai Dee.Empat tahun Aditya memendam rasa itu, sejak pertama kali Dee masuk ke divisi kerjanya.Dee tak pernah menyadari, tak pernah mengerti orang yang paling dekat dengannya ini mencintainya.Dan Aditya pun tak pernah berani berpikiran dapat menggantikan Indra di hati Dee.

“ Sudah makannya ?”

“ Bagusnya kita jalan – jalan cuci mata di mall sebelah yuk !” ajak Dee memecahkan kebekuandiantara mereka.

Berjalan berdua dengan Indra memang sering dilakukan Dee di Medan.Setiap rasa bosan menyergapnya, selalu saja Aditya yang mejadi sasaran untuk menemaninya, entah itu main bowling, billiard, berbelanja atau sekedar jalan – jalan mencari tempat makan yang enak.Aditya tak pernah menolak menemaninya.Seperti sekarang ini, Aditya menjadi guide baginya.

Tiba – tiba matanya tertuju pada seorang lelaki yang menenteng belanjaan didepan pintu utama mall.Itu Indra, dan lebih terkejut lagi ia melihat perempuan disisinya menggandeng mesra kekasihnya.Hampir saja ia melompat histeris mengejar Indra dan perempuan itu kalau saja tangan kekar Aditya tidak mencekalnya.

“ Iya, aku juga melihatnya,”kata Aditya.

“ Tapi sabarlah, mungkin itu sepupunya atau saudaranya,” mencoba menenangkanku.

“ Baiknya kita temui mereka baik-baik.”

Sebelum langkah kaki Dee beranjak dari tempatnya berdiri, taxi telah berhenti didepan Indra dan membawanya pergi dengan perempuan itu entah kemana.Bergetar kaki Dee seolah tak kuat menahan berat tubuhnya lagi.Tak terasa ada aliran sungai kecil dipipinya.Seribu tanya, marah, kesal dan merasa dibohongi silih berganti dibenaknya.“Siapa perempuan itu, dan kenapa Indra tak memberi tahukannya tentang ini ,” piker Dee.

“ Sudahlah, mari kita pulang, Dee!”

“ Aku yakin Indra tak membohongimu, mungkin dia tak sempat mengabarimu, mungkin saja perempuan tadi bukan siapa-siapa, paling sepupunya atau saudaranya yang tidak kau kenal,” suara lembut Aditya mengejutkannya.Sepertinya Aditya lah yang paling mengerti perasaan dan keadaannya saat ini.

Didalam taxi itu tumpahlah semua air mata yang sedari tadi coba untuk dibendungnya.Lembut Aditya merengkuh bahunya, membawa kepala Dee kedada bidangnya.Tak hendak Aditya mencoba menghentikan tangisannya,menangislah jika itu bisa menenangkan hati.Dee menangis sampai membasahi kemeja temannya itu, merasa nyaman dan terlindungi ia dalam pelukan Aditya, rasa yang sudah dua tahun ini tak didapatkannya dari Indra.Kenapa baru disadarinya kini begitu hangat dan penuh kasih pelukan Aditya ini, pikiran Dee masih menyeruak pada Indra.

“ Aku pulang ya, baik – baiklah kau, jangan terlalu kau pusingkan kejadian tadi, pastilah Indra punya penjelasan untuk itu,” kembali Aditya menghiburnya setelah mengantar Dee sampai kamar hotelnya.

“ Istirahatlah, besok kita harus kerja dan pasti semuanya akan baik – baik saja,” Aditya kembali menenangkan.

Ditatapnya hampa punggung Aditya sampai lelaki itu menghilang ditikungan lorong hotel.

Pagi sekali handphone Dee berbunyi, malas ia meraihnya.Tapi ia dikejutkan oleh nama yang tertera dilayar telphonenya. “Indra,” batinnya.Cepat diangkatnya.

“ Iya, ada apa ?” jawab Dee ketus.

“ Sayang, ini aku, kenapa jawabannya seperti itu,” suara lembut Indra diujung sana.

“ Aku tahu kamu marah padaku, tapi aku bisa jelaskan kenapa aku tak menepati janji kemarin.” ujar Indra lagi.

Masih diam, Dee tak menanggapi kata- kata Indra.

“ Aku tiba dari Semarang sore kemarin dan harus langsung menjemput sepupuku dari Medan yang datang sore kemarin juga,”

“ Aku terpaksa mengantarkannya berbelanja untuk keperluannya wisuda hari ini,” sebelum Dee sempat bertanya tentang perempuan itu, Indra telah menjelaskannya.Hatinya yang panas serasa disiram air sedingin es.

“ Aku bersalah sudah menduga yang bukan-bukan padanya,” batin Dee.

Perempuan memang terlalu mudah larut dengan kata-kata manis dan lembut.

“ Ya sudahlah, tapi kapan kamu menjemputku ?”

“ Aku sudah kangen nih,” rengek Dee manja, dengan cepat ia melupakan kemarahan yang amat sangat tadi malam.

“ Nanti sore sepulang kantor, aku jemput kamu ke hotelmu ya sayang,” rayu Indra.

###############################

Didepannya seorang lelaki tampan yang selama ini sangat dirindukannya, duduk manis menebarkan senyuman paling indah untuk Dee.Lama mereka saling berdiam diri, mencoba menyelami pikiran pasangannya.

“ Aku merindukanmu sayang,” masih dengan senyuman hangatnya Indra memecah keheningan antara mereka.

“ Maafkan aku, kemarin aku tak bisa menemui kamu.”

“ Sudah dua tahun aku tak pulang ke Medan yah, sebenarnya aku sangat ingin pulang!”

“ Tapi pekarjaanku tak bisa kutinggalkan disini.”

“ Tak apalah sayang, aku tahu bagaimana kesibukanmu disini,” jawab Dee manja.

“ Lagi ini semuakan buat masa depan kita, iya kan Indra?”

“ Aku sangat ingin kita cepat menikah, kamu tahukan umurku sudah berapa sekarang ini?” Dee memberikan senyuman manisnya buat sang kekasih.

“ Buat orang timur seperti kita sudah macam-macamlah prasangka orang.”

“ Iya aku mengerti,” tiba-tiba wajah Indra berubah dingin dan pucat.

“ Itulah sebenarnya yang ingin kudiskusikan denganmu,” sahut Indra lagi.

“ Aku ingin bicara seperti ini sebenarnya sudah lama sekali, tapi tak mungkin cuma lewat email atau telepon untuk membicarakan hal penting seperti ini kan?” lanjutnya.

Dee, kamu tahu pasti kalau aku sangat menyayangimu, tapi itu tidak cukup kurasa.Karena orang tuaku ingin aku menikah dengan orang yang seiman denganku juga.Mereka memintaku untuk mengajakmu berpindah keyakinan dan mengikuti keyakinanku dan kurasa cuma itu satu – satunya jalan agar kita dapat tetap bersama.”

Bergetar seluruh persendian Dee mendengar ucapan Indra, bagaimana mungkin kata – kata itu keluar dari mulut Indra, yang selama ini tak pernah mempermasalahkan perbedaan antara mereka.

“ Tapi…” Dee tak sanggup melanjutkan kata – katanya.

“ Begitulah keadaannya sayang, aku yakin kamu tak akan mungkin bisa menerima persyaratan dari orang tuaku,” lanjut Indra.

“ Satu lagi yang ingin kuungkapkan padamu,” sambung Indra tanpa menunggu jawaban dari Dee.

“ Sepupu yang kemarin aku jemput itu sebenarnya adalah tunanganku, aku telah bertunangan dengannya tiga bulan yang lalu.”

“ Aku harus menerimanya, karena aku yakin hubungan kita tak mungkin bisa berlanjut lagi.”

“ Aku dijodohkan Papa dengan Shinta, anak Oom Luhut adik Mamaku.”

“ Mereka bilang, aku dan Shinta sama – sama anak tunggal, jadi lebih baik kami dijodohkan agar keluarga kami jadi lebih kuat. Oom Luhut tak ingin perusahaannya ditangani oleh orang lain nanti, dia ingin aku yang melanjutkannya setelah aku menikah dengan Shinta nanti.”

“ Setelah kupikir, memang benar adanya apa yang mereka katakan itu.”

“ Aku terima perjodohan ini, bukan karena aku tak sayang padamu, tapi lebih karena aku tak ingin mengecewakan orang tuaku dan masa depanku.”

Tak sanggup Dee berkata menanggapi semua omongan Indra, seperti terpaku ia ditempat duduknya.Benarkah ini semua terjadi, atau ini hanya mimpi, pikirnya.Tapi tidak, ini semua benar terjadi, ini kenyataan yang harus diterimanya.

“ Maafkan aku,”

“ Pergilah, aku ingin sendiri,” sahut Dee, buyar semua mimpinya mendapat kemesraan dan bermanja dengan Indra.Semuanya berganti dengan rasa marah yang membuncah.Ingin rasanya mencakar wajah tampan lelaki didepannya, mencabik – cabiknya jadi potongan kecil.Inikah balasan yang diterimanya setelah ia dengan setia menunggu dan berharap.Setelah semua yang diberikannya pada laki – laki ini bahkan ia telah memberi mahkota paling berharga yang dimiliki wanita.Hampir saja ia tak kuat menahan bendungan air matanya, tapi Dee tak ingin menangis didepan lelaki ini.Ia tak ingin menampakkan kelemahan wanita, ia ingin tegar.Buat apa menitikkan air mata untuk laki – laki seperti ini.

“ Indra, pergilah aku tak ingin melihatmu lagi.”

###################################

Dikamar hotel, tumpahlah semua air mata yang sedari tadi coba untuk dibendungnya.Pikirannya melayang, berputar silih berganti, wajah Indra, wajah bapaknya, ibunya, adik – adiknya.Saat ini ia ingin pulang, berada dipeluk ibunya, ingin ia menangis sejadi – jadinya dipelukan sang Bunda.Teringat ia akan wajah bapaknya yang selalu berharap ingin segera menimang cucu.Betapa ia telah berdosa, melupakan orang tua dan semua orang yang menyayanginya.Betapa naif ia memperjuangkan laki – laki yang sebenarnya tidak pantas untuk diperjuangkan.

“ Aku tidak berguna, buat apalagi aku hidup tanpa kehormatan lagi, aku sudah mempermalukan orang tua,” tiba-tiba Dee sangat ingin mati.

Diraihnya silet ditangan kiri, pasti diarahkan kepergelangan tangan kanannya.

Tiba – tiba sepotong tangan kekar menahannya, Aditya telah berdiri disisi Dee.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun