Empat tahun yang lalu saya lulus dari sebuah perguruan tinggi di Surabya, lalu merantau ke Jakarta dan mendapatkan pekerjaan sebagai programmer. Sebagian orang menganggap pekerjaan ini tidak cocok untuk wanita. Tapi saya tetap menjalaninya. Sebagai perusahaan baru tentu bukan tanpa masalah berada di dalamnya, keterlambatan gaji sampai berbulan-bulan tak jarang terjadi. Saya masih terus bertahan dengan semangat kekeluargaan dan membangun perusahaan itu. Sampai akhirnya tahun kedua di Jakarta saya menemukan laki-laki yang baik menurut saya dan menikahinya akhir 2011. Setelah menikah, saya tinggal bersama suami yang jarak rumahnya jauh dari kantor. Satu bulan pasca menikah saya bertahan tetap pulang pergi kantor-rumah.
Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti bekerja, karena saya ingin segera mempunya momongan. Ketakutan faktor kelelahan akan menghambat kehamilan, terus menghantui saya. Saya keluar dengan perusahaan masih berhutang gaji kepada saya, jumlahnya saya lupa. Sekitar dua bulan kemudian, perusahaan menawari saya untuk bergabung lagi dengan keringanan, dimana saya bisa bekerja dari rumah. Atas persetujuan suami, saya menerima tawaran itu. Dalam pikiran saya, bahwa kedepan tidak akan ada lagi masalah penunggakan gaji. Karena kliennya sudah bertambah. Dua bulan saya bergabung kembali dengan perusahaan itu, hasilnya tetap sama. Pembayaran gaji masih terus saja terlambat, sedangkan pekerjaan tidak pernah terlambat. Degan perasaan sedikit kecewa saya memutuskan keluar dari perusahaan itu untuk kedua kalinya.
Bulan berganti bulan, sampai anak pertama saya lahir. Awalnya saya masih mengharapkan uang tunggakan gaji yang belum di bayar sedari saya belum menikah untuk membantu biaya persalinan. Tetapi apa daya, sampai akhir saya tunggu tetap tidak ada kabar, dan kalaupun ada kabar selalu besok, besok dan besok. Sampai akhirnya saya mencoba mengikhlaskan apa yang menjadi hak saya tersebut. Sempat terucap dalam hati “Biarkan saja kalau mereka tega memakan hasil keringaku, itu menjadi urusan mereka dengan Allah”. Ternyata tidak hanya saya yang mengalami hal serupa. Teman sekerja dulu yang sudah resign juga, masih mempunya hak yang belum diberikan sekitar 25-30 juta rupiah. Jumlah yang besar bagi saya. Suatu ketika teman saya ini sebut saja Miss X sangat membutuhkan uang itu. Ia adalah single parent dari putrinya, dan juga sedang merawat ibunya yang sakit. Disamping ia juga membutuhkan uang itu untuk pengobatan dirinya sendiri yang menderita kanker payudara.
Hari berganti hari saya mencoba untuk ikhlaskan hak saya itu. Sampai akhirnya ketika anak saya berusia empat bulan, mantan bos saya tersebut menawari untuk bekerja kembali. Dimana saya bisa bekerja dari rumah, dengan nominal gaji yang lebih tinggi dari yang dahulu. Dan lagi, atas persetujuan suami saya menerima tawaran itu. Dengan pikiran, saya tetap bisa melihat dan mengawasi si kecil sembari saya membantu suami mencari se kardus susu.
Karena saya sudah mulai bekerja lagi, saya dan suami mulai berpikir untuk membeli rumah. Dan setelah mencari dan mencari akhirnya kami menemukan lokasi yang menurut kami berdua sangat cocok. Kami pun meminjam uang dari bank dengan jaminan tanah milik orang tua saya. Kedua orang tua sangat mendukung keputusan kami membeli rumah meski tanah mereka harus menjadi jaminan. Mereka percaya bahwa kami bisa mencicilnya.
Satu bulan, dua bulan, tida bulan semuanya lancar dan baik-baik saja. Sampai kira-kira satu tahun kemudian, masalah klasik muncul kembali pembayaran gaji bukan lagi telat tapi 3 bulan belakangan belum di bayar. Padahal di awal bergabung saya sudah sampaikan kepada atasan bagaimana keadaan perekonomian keluarga kami. Gaji suami habis untuk membayar beraneka macam tagihan, seperti cicilan bank, kontrakan, listrik, pengasuh, internet (pendukung pekerjaan saya),dan lain-lain. Sedangkan gaji saya adalah penopang kehidupan keluarga kami selama satu bulan. Saya mengatakan kepada atasan bahwa gaji jangan sampai tidak dibayarkan, telat satu atau dua minggu masih tidak masalah. Bisa di bayangkan bagaimana kehidupan keluarga kami selama 3 bulan tanpa gaji dari saya. Kami berusaha mencari sumber pemasukan yang lain, beruntung suami berhasil mendapatkan rejeki yang halal yang dapat menutupi kehidupan kami. Saya pun harus mengambil pekerjaan sampingan untuk membantunya.
Di Islam pun sangat jelas tersurat bahwa kita harus membayar upah orang yang kita pekerjakan sesegera mungkin sebelum keringatnya mengering.
Sekarang ini saya sedang “galau” begitu kata anak-anak ABG sekarang. Sebenarnya pekerjaan ini memungkinkan saya untuk bertemu lebih sering dengan si kecil, dan memang saya ingin seperti itu. Tetapi disisi lain, saya merasa pekerjaan ini tidak lagi cocok dengan saya. Tidak jarang jika terjadi masalah sistem atau deadline, saya harus bekerja malam hari, dan itu sangat sering terjadi. Tentunya disamping pembayaran gaji yang bolong-bolong. Saya masih terima kerja sampai malam, kalau saya di gaji sesuai dengan tanggalnya.
Kalau bekerja kantoran, tentu waktu dengan si kecil akan semakin sedikit setiap harinya, tetapi mungkin ketika malam atau libur, waktu saya full untuknya dan keluarga. Kalau keluar, saya tidak tega melihat suami banting tulang sendirian untuk menutupi segala macam kebutuhan dan tanggungan kami. Meskipun itu adalah tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga.
Sekalian kalau ada info lowongan pekerjaan penulis lepas/social media admin freelance, tolong di infokan. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H