Mohon tunggu...
My Lanta Ambarita
My Lanta Ambarita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada yang antusias dan bermotivasi tinggi dalam meraih mimpi menjadi seorang Notaris yang Profesional.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menepis Stigma Negatif Perjanjian Perkawinan

27 April 2024   13:03 Diperbarui: 27 April 2024   13:17 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apakah perjanjian perkawinan itu sangat penting? Tentu iya. karna perjanjian perkawinan itu tidak melulu soal uang, tetapi apa pun bisa diatur termasuk perselingkuhan. Di zaman sekarang ini sering sekali kita jumpai hal-hal yang terjadi di luar kendali bahkan di luar nalar kita. Perlu diketahui bahwa manusia merupakan mahluk  dinamis yang dapat berubah-ubah seiring dengan perkembangan zaman. Tak jarang, perubahan yang dialami tersebut menimbulkan gesekan sehingga dapat memicu konflik. Pasangan yang semula tampak jujur, ikhlas, setia, penyabar, saling mencintai, dan peduli kepada pasangannya bisa berubah drastis menjadi pasangan yang suka melakukan kekerasan, perselingkuhan, berbohong, dan lain sebagainya.

Sampai saat ini di Indonesia perkawinan  belum menjadi kebiasaan. Pada umumnya masyarakat banyak yang beranggapan bahwa ketika membuat perjanjian dianggap hal yang tabu dan tidak lazim, karna dapat mengurangi sakralitas dari pernikahan itu sendiri. Sebelum pernikahan dilangsungkan hal pertama yang dipikirkan adalah bagaimana supaya acara perayaan pernikahan itu berjalan dengan baik tanpa memikirkan dampak-dampak yang akan timbul  setelah proses pernikahan berlangsung dan kesadaran baru muncul setelah masalah sudah terjadi.

Perjanjian perkawinan ini sangat penting dan bermanfaat dikarenakan,  pertama menjamin keamanan dan kepentingan usaha masing-masing suami/istri. Hal ini  dapat  membebaskan suami/istri dari kewajiban membayar hutang pasangan, dikarenakan pemisahan harta antara suami dan istri menyebabkan hilangnya tanggung jawab atas hutang pasangan baik sebelum dan sesudah masa pernikahan. Di mata Negara, kalau sudah menikah harta suami dan harta istri menjadi harta bersama yang artinya hutang pun menjadi hutang bersama hal ini diatur dalam ketentuan pasal 119 KUH Perdata.

Kedua, Melindungi kepentingan suami/istri jika salah satu pihak melakukan perselingkuhan dan  poligami. Dengan cara mencantumkan di dalam poin perjanjian, apabila terjadi perselingkuhan atau KDRT maka harta kekayaan dan hak asuh anak100% jatuh kepada korban. Perjanjian ini dapat menghindari dari motivasi perkawinan yang tidak sehat, karna sudah memberikan perlindungan hukum terhadap korban dari pasangan yang tidak bisa berkomitmen dan menjaga rumah tangganya dengan baik. Apabila dikemudian hari terjadi konflik di Pengadilan, maka perjanjian ini bisa dijadikan sebagai  alat bukti yang sah. Jadi tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan itu bukan semata-mata untuk merencanakan perceraian, tetapi lebih ke proteksi diri dari hal yang tidak diinginkan.

Segala hal selagi tidak bertentangan dengan undang-undang bisa diatur dalam perjanjian termasuk semua keinginan maupun kewajiban suami istri asalkan harus dibicarakan terlebih dahulu, dan perjanjian yang dibuat tanpa adanya unsur paksaan dari pihak mana pun. Perjanjian  tidak harus dilakukan sebelum perkawinan saja. Namun, setelah perkawinan berlangsung pun diperbolehkan untuk membuat perjanjian perkawinan, dengan mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Notaris. Hal ini jelas dinyatakan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 29 ayat (1) jo putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Untuk memenuhi unsur publisitas, maka perjanjian harus didaftarkan terlebih dahulu agar pihak ketiga mengetahui dan tunduk pada aturan yang dibuat dalam perjanjian perkawian pisah harta tersebut. Apabila tidak didaftarkan, maka perjanjian perkawinan pisah harta hanya berlaku atau mengikat bagi suami/istri saja. Perjanjian harus dibuat dalam Akta Notaris yang kemudian didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun