Mohon tunggu...
Maman Rohman
Maman Rohman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya suka musik, film, traveling, dan membaca buku-buku yang dapat menambah wawasan serta pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Money

Negara yang Menyengsarakan Rakyatnya

19 Juli 2010   03:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:46 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kesekian kalinya rakyat Indonesia ‘terpaksa’ harus menerima kebijakan pemerintah menaikkan tarif salah satu kebutuhan dasar yang berdampak pada naiknya harga kebutuhan dasar yang lain. Yakni tarif dasar listrik (TDL).

Ada dua alasan pemerintah keukeuh membuat kebijakan tidak popular seperti ini. Pertama, agar mampu menalangi atau mengendalikan besaran subsidi listrik sebesar Rp 55,1 triliun sebagaimana diatur dalam UU APBN Tahun 2010, dan kedua, agar stabilitas produksi dan pasokan listrik oleh PLN dapat terjaga.

Jika kita cermati kedua alasan tersebut, jelas sekali faktor utama kenaikan TDL adalah kebutuhan akan uang, baik untuk pemerintah, maupun untuk PT. PLN sebagai BUMN yang memproduksi listrik.

Indonesia memiliki 17.508 pulau dan tercatat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan total luas wilayah mencapai 1.919.440 km2 atau 1,3% dari luas Bumi, Indonesia juga tercatat sebagai negara terluas ke-15 di dunia. Pulau-pulau di Indonesia rata-rata kaya akan hasil tambang, seperti Kalimantan Timur yang menghasilkan gas alam, Pulau Bintan yang menghasilan bauksit, Kepulauan Riau yang menghasilkan timah, Aceh yang menghasilkan emas, dan bahkan lokasi penambangan yang dikelola PT. Freeport Indonesia di kawasan Tembaga Pura, Papua, tak hanya menghasilkan emas, perak, dan tembaga, tapi juga uranium!

Selain kaya hasil tambang, Indonesia kaya keanekaragaman hayati, baik flora dan fauna, sehingga hampir di seluruh pulau terdapat lokasi yang layak dijadikan lokasi wisata untuk mendatangkan turis lokal maupun mancanegara. Bahkan tanah Indonesia sangat subur sehingga apapun yang ditanam, dapat tumbuh dengan subur. Tak heran jika grup band lawas Koes Plus memuji negeri eloknya ini dengan sebutan ‘tanah surga’.

Dengan karunia yang begitu melimpah, sejatinya Indonesia dapat tumbuh menjadi negara kaya raya dengan kehidupan rakyat yang makmur dan sejahtera, karena semua yang ada di permukaan dan di perut buminya menghasilkan uang yang sangat banyak. Tapi mengapa negara selalu kekurangan uang? Baru pada 2008 pemerintah menaikkan harga BBM yang mendongkrak kenaikan harga kebutuhan sehari-hari, dan harga itu tak pernah turun hingga kini. Bahkan pada 2010 ini pemerintah akan mencabut subsidi premium untuk kendaraan roda dua karena tak sanggup menanggung biaya subsidinya yang mencapai triliunan per tahun.

Kemana perginya uang hasil kekayaan alam Indonesia? Yang lebih miris, dengan penduduk mencapai lebih dari 230 juta jiwa, negara menerima triliunan dana setiap tahun dari rakyatnya yang dibayarkan dalam bentuk pajak, baik PBB, PPN, PPh, dan sebagainya, dan kemanakah juga perginya dana-dana itu?

Tepat! Karena hasil kekayaan alam tidak dikelola dengan baik. Ketika perizinan untuk mengelola kekayaan itu diajukan pengusaha, pengurusan perizinan dijadikan ajang kolusi pejabat terkait demi kepentingan pribadi, sehingga ketika kekayaan alam dieksploitasi, bagi hasil yang didapat negara sangat minim karena telah ada kesepakatan dengan pengusaha dengan pejabat terkait. Contoh jelas kasus ini adalah penambangan oleh PT. Freeport di Tembaga Pura, Papua. Sejak perusahaan itu beroperasi pada 1967, kontribusi perusahaan ini terhadap negara Indonesia sangat minim, bahkan penduduk di sekitarnya hidup dalam garis kemiskinan. Anggota Komisi VII DPR Ali Kastela seperti dilansir Media Indonesia beberapa waktu lalu menyebut, persentase yang diberikan Freeport kepada negara sangat jauh di bawah standar ekplorasi tambang di dunia.

“Kita hanya dapat 1-3%, sedangkan di negara lain 5-10%," tegasnya.

Siapakah yang salah dalam kasus ini? Pemerintahan Orde Baru (baca; mantan Presiden Soeharto), karena orde inilah yang merestui penambangan itu.

Lantas kemana larinya dana pajak yang dibayarkan rakyat? Tepat! Dikorupsi. Terbongkarnya kasus Gayus Tambunan adalah buktinya.

Dengan adanya fakta-fakta yang tak terbantahkan ini, seharusnya pemerintah (baca; Presiden SBY dan para pejabatnya) berfikir bagaimana caranya memperbaiki pengelolaan kekayaan alam dan memberantas korupsi, bukan terus menerus menaikkan harga kebutuhan dasar yang berdampak pada naiknya harga kebutuhan dasar yang lain. Bagi para pejabat negara dan pengusaha, kenaikan harga yang mencapai 10-20% mungkin tak masalah, karena penghasilan mereka besar. Tapi bagaimana dengan masyarakat menengah bawah yang berpenghasilan pas-pasan? Apakah mereka tidak semakin menderita dan sengsara? Celakanya, kemauan SBY untuk memberantas korupsi pun harus dipertanyakan, karena KPK yang selama ini menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi, telah berhasil ‘dilumpuhkan’ oleh pihak-pihak tertentu yang tidak suka pada keberadaan lembaga ini, dengan cara merekayasa kasus Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah, dan sebagainya.

Subsidi memang harus dicabut karena tidak mendidik rakyat untuk menjadi manusia pejuang yang tangguh dan tidak manja, namun pencabutan itu belum saatnya, karena masih terlalu banyak rakyat Indonesia yang miskin dan perlu dibantu. Apalagi karena pemberian subsidi pun masih dikelola secara tidak professional, sehingga banyak yang tidak tepat sasaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun