Mohon tunggu...
Sang Penggoda
Sang Penggoda Mohon Tunggu... -

Sang Penggoda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Penggoda: Frustasi!

8 Januari 2015   21:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:32 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Frustasi!

Ya. Rasa frustasilah yang menguasai diri saya selama masih berada di sebuah desa kecil yang jauh dari segala hingar bingar lalu lalang kendaraan. Hanya suara ayam dan kambing yang setia menemani hari-hari nelangsa saya.

Setiap pagi menjelang siang otak saya dijejali dengan pelbagai macam gosip-gosip artis yang saya tonton di televisi, catat! Saben hari. Rasanya mungkin sama seperti kamu kebanyakan makan durian. Mblenger. Mabuk. Enek. Tapi itu tak membuat saya menyingkir dari depan televisi sebelum acara itu habis.  selepas makan siang saya akan pergi sama abah ke kebun atau bahkan hutan mencari pakan kambing. Petang hari saya akan nongkrong di pinggir kandang ayam dengan setia menanti ayam-ayam piaraan simbok pulang kandang dengan perasaan nelangsa, sekali lagi saya ulangi NELANGSA.

Itulah rutinitas yang membuat saya frustasi. Tidak ada teman gaul yang membuat bangun tidur saya serasa berbeda dan bersemangat. Ke mana lagi di desa kecil ini tempat hang out yang keren? Selain di pematang sawah, pinggir kali atau perempatan jalan di dekat pos ronda? Tempat terakhir merupakan tempat favorit buat gadis-gadis di desa saya. Karena nongkrong di sana merupakan sebagai ajang cuci mata, meskipun cowok kecengan jauh dari yang namanya kece!

Bagi gadis udik macam saya, ketika melihat cowok yang mengendarai motor roda dua saja rasanya selevel dengan gadis Jakarta melihat pemuda mengendarai ferrari. Maka tak heran bagi pemuda-pemuda desa yang ingin cepat-cepat dapat pacar, belilah motor. Tak peduli ngerampok orang tuanya dengan memaksanya untuk menjual sebagian sawahnya atau beberapa ekor sapi atau kerbau peliharaanya. Bagi yang tak punya apa-apa. Maka siap-siaplah merana.

Kembali ke frustasi tadi.

Frustasi bagi saya bukan hanya sekadar perasaan. Tapi ini sudah menjadi toksin yang menyatu dengan keringat, nafas, bahkan kentut dan iler yang keluar tatkala saya tetidur. Bayangkan, rasa itu seolah telah menjadi hantu yang telah bersetubuh dengan aliran darah di sekujur tubuh saya. Jika saya tak meneriakan rasa itu, maka saya akan gila. Jika saya tak mampu menuangkan rasa itu, maka saya akan mati sekarat segera!

Maka frustasi pulalah yang akhirnya membangkitkan mimpi saya untuk terbang ke Jakarta. Entah bagiamanapun caranya. Saya serasa menemukan dunia lain di dalam mimpi yang saya bangun.  Yaitu surga!  Yang pasti tempat itu jauh dari kehidupan sepi dan nelangsa. Jakarta. Itulah surga bagi saya.  Sekali lagi Jakarta.  Jakarta yang bagi saya memiliki segalanya, Mall-mall mewah. Gedung-gedung yang menjulang tinggi. Pemuda-pemuda macho. Gadis-gadis kota dengan dandanan yahud-nya. Paling tidak, saya merasa tak akan pernah menemukan pemuda dekil dengan bau ketek menyengat. Atau suara kambing yang juga menebarkan aroma “surga”.

Apa yang kamu lakukan ketika mimpi kamu sudah setinggi langit namun kamu tak bisa melakukan apapun? Saya bermimpi ke Jakarta, tapi tak ada jalan apapun atau keajaiban hebat manapun yang mampu menerbangkan saya ke sana. Anggaplah saya konyol. Tak masalah bagi saya. Saya mahluk frustasi yang mungkin nyaris gila. Saya berharap seseorang menculik saya dan membawanya ke sana. Ok. Saya tak waras.

Doa. Ya. Itu satu hal yang belum saya coba. Meski sesungguhnya saya jarang melakukan hal tersebut kecuali dalam keadaan kepepet kayak sekarang. Maka mulailah saya berdoa kepada sang pemberi hidup. Kira-kira begini bunyi doanya: “Tuhan, berilah kesempatan satu kali ini saja kepada saya untuk menjejakan kaki di Jakarta. Bagaimanapun caranya”. Doa yang terkesan memaksa, tapi siapa yang menyangka doa tersebut langsung dijawab.

Adalah Shinta. Seseorang yang saya kenal di fesbuk. Pemilik wajah oriental nan bersinar yang membuat saya iri setengah mati. Kami memang kerap saling berkomentar ketika dia atau saya nulis status. Dan akhirnya kami sering berinbox ria.  Jangan fikir saya yang udik ini punya otak kampungan pula. Segala apapun yang kami bicarakan selalu nyambung, ini akibat dari banyaknya otak saya menelan segala macam tontonan di televisi saban malam, juga betapa rajinnya saya browsing internet dengan kuota gratisan. Jangan pernah berpikir wajah saya yang udik,  maka otak dan hati saya udik. Tidak sama sekali. Selama ini ponsel saya menjadi benda berharga satu-satunya yang mampu  membat otak kampungan saya menjadi lebih terbuka. Kembali ke Shinta.  Malam itu dia mengirimkan inbox yang bunyinya tak saya duga: Kamu mau bekerja sama saya? Datang ke Jakarta, saya ada kerjaan buat kamu.

Itulah inbox ajaib yang masuk ke akun fesbuk saya. Saya serasa kejatuhan uang miliaran rupiah secara tunai! Dalam situasi normal, saya akan menikmati detik-detik berharga dalam kehidupan. Tapi kali ini? Saya hanya bisa melongo tak percaya. Tak ada lompatan kegirangan maupun teriakan yang keluar dari lobang mulut saya. Saya jadi dongo’ detik itu. Bayangan-bayangan kota Jakarta yang sering saya lihat di televisi berkelebatan silih berganti. Saya akan menjadi manusia mertopolitan. Saya akan ke Jakarta. Saya, ya saya, tentu saja akan menjadi mahluk eksis nan gaul di Jakarta. Bukan lagi gadis udik yang serasa tak dibutuhkan oleh sekitar, atau yang lebih parah, tak dibutuhkan di dunia! Catat!

=========bersambung=========

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun