Tidak mudah!
Sekali lagi saya tekankan dengan suara super ngerock, bahwa niat nekat saya ke Jakarta tidaklah semudah kamu buang angin tatkala tak ada orang lain di sekitarmu! Sementara hasrat saya untuk segera meninggalkan kampung sunyi ini sudah seperti nafsu yang berurat akar di diri saya. Laksana jomblo yang kebelet kawin apa daya tidak ada gadis yang mau menikah denganya, sementara libido sudah setinggi gunung himayala.
Simbok hanya menatap muka lempeng saya ketika saya mengutarakan niat mau pergi ke Jakarta. Seolah sedang berkata: Yakin loe? Mau jadi apa loe ke Jakarta sendirian tanpa sanak keluarga yang loe kenal? Kira-kita begitulah bahasa kalbu yang saya tangkap, meski tak terucap dari bibir tuanya.
Sekali lagi saya utarakan dengan suara memelas, namun serius dan sungguh-sungguh: “Boleh ya Mbok? Saya janji nggak akan nyusahin Simbok dan Abah. Beri saya waktu sebulaaaan aja Mbok. Kalau saya ndak betah atau ndak cocok di sana dalam kurun waktu sebulan, saya janji pulang Mbok. Saya pingin mandiri. Pingin suskses. Saya ndak mau hidup begini-begini aja di kampung ini Mbok”
Detik-detik berlalu dengan senyap. Lama, bisu dan menegangkan. Saya menunggu-nunggu bibir simbok mengeluarkan sepatah kata sebagai jawaban atas permohonan saya. Bayangkanlah, rasanya seperti kamu menunggu boom waktu meleduk yang siap memporak porandakan seluruh tanah yang kamu pijak beserta diri kamu yang kemudian menjadi puing-puing kecil, hancur dan berantakan tak berbentuk. Sungguh menyiksa. Seperti rasanya saat kamu berada di sebuah kursi eksekusi menunggu leher kamu masuk tiang gantungan!
Saya mahfum jika simbok tak begitu saja mengizinkan saya anak semata wayangnya meninggalkan beliau dan Abah sendirian. Bagaimanapun galaknya simbok, Beliau selalu menyayangi saya. Omelan yang keluar dari mulutnya bagi saya bukanlah omelan kemarahan. Perasaan tak tega. Takut terjadi sesuatu yang berbahaya dengan diri saya. Takut saya tak makan. Takut kalau saya sakit tak ada yang mengurus. Dan ketakutan-ketakutan lainnya mungkin sedang berkecamuk dalam diri Simbok. Maka dengan segala kemungkinan-kemungkinan itu, saya sudah siap-siap mendengar jawaban yang sama sekali tak saya inginkan dari mulut Simbok. Meski esok dan esoknya lagi saya akan mengulang permohonan tersebut. Saya tak akan menyerah. Sampai Simbok memberikan izin. Itulah tekad saya sebagai gadis nekat yang ingin segera keluar dari frustasi berkepanjangan.
Wahai dunia, di sini saya si gadis udik serasa sedang menjadi pemuda yang jatuh mencinta dengan seorang gadis, dan tanpa menyerah siap-siap mendengar penolakan-penolakan dari orang tuanya dengan lamaran yang saya ajukan. Itulah gambaranya.
Simbok menatap mata saya sangat dalam. Saya sendiri tidak tahu maknanya. Saya membalas dengan muka memelas plus tatapan sayu, yang rasanya perfek punya *untuk akting sore ini…
“Pekerjaan apa yang kamu dapat di Jakarta?” Akhirnya Simbok buka suara. Saya gagap seketika, karena saya baru sadar betapa bodohnya saya tak menanyakan kepada Shinta, apa gerangan pekerjaan yang ia tawarkan ke saya.
“Di toko baju Mbok…” Saya jawab sekenanya. Karena cuman itu yang bisa menyelamatkan saya. Lagian bagi orang udik, punya pekerjaan sebagai penjaga toko rasanya setara dengan seorang direktur di sebuah perusahaan multinasional. Semoga Simbok percaya dengan gaya mengarang bebas saya.
“Jaga diri baik-baik. Kalau ndak betah, pulanglah ke sini” Itulah jawaban simbok dengan mata berkaca-kaca yang coba beliau sembunyikan dengan cara ngeloyor seenaknya ke belakang. Saya tidak tahu apakah beliau menangis kemudian? Karena pantang bagi saya untuk mengganggu detik-detik galau seorang Ibu. Karena dengan begitu nanti saya ikutan galau, dan niat nekat saya bisa saja buyar ambyar tertelan kegalauan. Maka kalau sudah begitu sia-sia sebaris kata yang bernama ‘perubahan’ yang telah saya gembar – gemborkan di dalam jiwa saya, dan saya akan tetap menjadi makhluk frustasi yang selamanya ngejogrok di kampung ini.
Tak perlu saya gambarkan bagaimana girangnya saya mendengar jawaban Simbok. Boleh dikata, jika di depan saya ada pemuda jelek bau ketekpun rasanya saya akan rela memeluknya dengan sepenuh jiwa. Namun tak elok rasanya saya menunjukan kegirangan diatas kesedihan Simbok. Maka saya harus rela bersorak cukup di dalam hati saja.
Urusan dengan Simbok selesai, giliran urusan dengan Abah. Tapi bagi saya ini merupakan hal kecil. Tak perlu membuang waktu . Tak juga perlu duduk bermenit-menit serasa menjadi pesakitan di kursi eksekusi. Perlu kamu ketahui, Abah merupakan seorang Bapak yang boleh di kata asyik punya. Apapun yang saya katakan kepada beliau, tak perlu berlama-lama untuk mendapatkan kata ‘setuju’. Beliau tak rumit seperti Simbok. Beliau selalu memberikan kepercayaan kepada saya anak gadis semata wayangnya. Bagaimana tidak? Sedari kecil yang beliau ajarkan adalah: Kalau kamu di sekolah dipukul teman kamu, maka balas saja. Jangan nangis!
Saya menuruti perkataan beliau hingga saya sebersar ini. Maka anak kampung tak ada yang berani menggodai saya kalau tak mau mendapatkan tendangan pendekar tengil ala saya.
Dan malam ini ketika kami baru saja makan malam, saya mengajak Abah bicara. ( Jangan bayangkan makan malam di kampung setara dengan makan malam keluarga-keluarga di perkotaan) makan malam kami cukup sebakul nasi di atas meja, sambal, ikan asin dan sepanci sayur daun singkong. Untuk kami bertiga, makan seperti itu adalah kenikmatan yang tak ada bandinganya. Meski sesungguhnya saya juga penasaran apa rasa dari ayam ke ef si, burger dan pizza serta teman-temannya. Tempe, telur dan mie instant adalah barang langka yang bisa saya jumpai mungkin sebulan sekali di meja makan kami. Kamu boleh saja mengernyitkan dahi tak percaya, tapi itu adalah fakta! Sekali lagi FAKTA!
Kembali ke soal Abah, saya akhirnya mengajak Abah bicara empat mata. Dan tanpa basa basi saya mengutarakan niat nekat saya ke Jakarta. Ternyata meski Abah adalah seorang Bapak yang menurut saya asyik punya, tapi tak gampang juga mendapatkan persetujuan dari beliau.
“Mau jadi apa? Tukang sapu?” Begitu kata Abah. Nyali saya agak ciut, tapi birahi saya yang sudah mengakar daging untuk segera meninggalkan kampung ini mengalahkan segalanya. Kembali saya yakinkan Abah. “Saya mau mandiri. Saya mau berubah. Saya nggak mau hidup begini-begini aja di kampung ini. Saya pingin menggapai mimpi, Bah!”.
Saya berharap Abah ngerti, mimpi saya setinggi langit jadi harapan terbesar dalam hidup saya. Dan harus kamu pahami! Tiada satupun mimpi terindah untuk segera bangkit dari frustasi selain punya kerjaan dan menjejakan kaki di Jakarta. Bahkan saking nekatnya, saya tak peduli APAPUN BENTUK PEKERJAAN ITU!
=============bersambung===============
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H