Subsidi BBM sebagaimana dapat dipahami darinaskah RAPBN dan Nota Keuangan setiap tahun, adalah “pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada PERTAMINA (pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia) dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh PERTAMINA dari tugas menyediakan BBM di Tanah Air adalahlebih rendah dibandingkanbiaya yang dikeluarkannya untuk menyediakan BBM tersebut”.
Dengan demikian, jika harga minyak dunia lebih tinggi daripada kemampuan pemerintah memberikan subsidi maka harga BBM di dalam negeri akan dinaikkan untuk menutupi daya beli PERTAMINA.
Sejarah kenaikan harga BBM Bersubsidi sebenarnya telah dilakukan pada setiap masa pemerintahan presiden-presiden sebelum Joko Widodo. Pasca reformasi tercatat, presiden Abdurrahman Wahid telah 2 kali menaikkan harga BBM bersubsidi. Presiden Megawati juga menaikkan harga BBM sebanyak 2 kali. Sementara itu presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menaikkan harga BBM bersubsidi sebanyak 4 kali dan menurunkan harga BBM sebanyak 1 kali selama 2 periode masa pemerintahannya. Terakhir, presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM setelah sebulan beliau menjabat Presiden Republik Indonesia.
Pasca dinaikkannya harga bahan bakar minyak bersubsidi (BBM) pada bulan November 2014 diikuti dengan melonjaknya harga barang kebutuhan pokok dan transportasi. Angka inflasi meningkat diikuti dengan meningkatnya jumlah kemiskinan di negara ini. Dengan kenaikan harga tersebut telah terlanjur menyebabkan “kerusakan” ekonomi, berupa inflasi 2014 mencapai 8,36 persen. Uniknya, kenaikan harga BBM dilakukan bertepatan dengan tren menurunnya harga minyak dunia. Pemerintah berdalih bahwa subsidi untuk BBM dialihkan ke sektor lain yang dianggap lebih produktif. Sampai hari ini, pemerintah belum mau mengungkapkan untuk apa subsidi tersebut dialihkan.
Pemerintah secara efektif kembali menurunkan harga dalam dua gelombang. Pertama pada tanggal 1 Januari 2015 dari semula premium seharga Rp. 8.500,- menjadi Rp. 7.500,- dan solar dari Rp. 7.500,- menjadi Rp. 7.250,-. Tidak lama berselang, pemerintah kembali menurunkan harga BBM menjadi Rp. 6.600,- untuk premium dan Rp. 6.400,- untuk solar.
Penurunan harga BBM yang dilakukan pemerintah tentunya disambut baik oleh banyak pihak. Tidak hanya rakyat, DPR pun mengapresiasi kebijakan ini.
Dalam bidang politik dapat dilihat bahwa penurunan harga BBM dilakukan pemerintah sebagai jawaban untuk menghindari hak interpelasi yang disuarakan oleh anggota DPR RI. Seperti yang sedang berkembang, DPR berencana mengajukan hak interpelasi terkait kenaikan harga BBM di tengah tren menurunnya harga minyak bumi. Pengajuan ini telah ditandatangani lebih dari 200 orang anggota DPR. Menurut anggota DPR, penurunan harga BBM merupakan bentuk lemahnya kajian tim ekonomi presiden dan ketidakmatangan kebijakan yang diambil. Walau tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, namun setidaknya hal ini cukup menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan.
Pada sektor ekonomi, penurunan harga BBM bukanlah bentuk ketidak-konsistenan pemerintah dengan kebijakan sebelumnya yang menaikkan harga BBM, namun dilakukan karena pemerintah telah menetapkan untuk mencabut subsidi BBM dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Pemerintah kemudian akan mengevaluasi harga BBM setiap bulan sekali. Jika demikian, maka yang terjadi sebenarnya bukanlah penurunan harga BBM tetapi penyesuaian harga BBM di dalam negeri dengan harga minyak internasional. Seperti diketahui, harga minyak dunia mencapai angka 55 Dolar dengan asumsi akan terus bertahan pada angka tersebut hingga 6 bulan ke depan. Nah, jika pada suatu saat harga minyak dunia kembali melonjak tinggi, maka dapat dipastikan harga BBM di dalam negeri akan melonjak tinggi juga.
Selama ini, turunnya harga minyak dunia diakibatkan oleh meningkatnya produksi minyak mentah dunia yang mencapai 92 juta barel perhari, sementara permintaan terhadap minyak hanya 90 juta barel per hari. Hal ini tidak terlepas dari meningkatnya produksi kilang minyak Amerika Serikat dan Rusia serta keengganan negara-negara OPEC untuk menurunkan produksi minyaknya.
Kalau saja Arab Saudi bersedia menurunkan produksi 1 juta barrel per hari, kemudian negara-negara produsen lain juga mau sedikit berkorban, sehingga secara akumulatif menurunkan produksi 1 juta barrel per hari, sesungguhnya masalah bisa diatasi. Harga pun bisa kembali melenting ke 80 atau 90 dollar AS per barrel.
Namun kalkulasi sederhana tersebut tidak terjadi. Tidak seperti biasanya, Saudi Arabia kini enggan menurunkan produksinya, juga negara-negara lain. Sikap “egois” ini kian dipersulit dengan fakta dan data ditemukannya cadangan minyak non-konvensional di AS shale oil, yakni minyak yang diperoleh dari memanaskan bebatuan di tiga negara bagian AS, Colorado-Utah-Wyoming. Cadangannya luar biasa banyak, mencapai 1 triliun barrel AS, atau setara tiga kali lipat cadangan minyak Saudi. Penemuan ini benar-benar revolusioner, yang akan menyebabkan harga minyak dunia menjadi murah untuk jangka waktu yang panjang.
Namun, jika pada suatu saat produksi minyak menurun dan permintaan terhadap minyak dunia naik, maka harga akan melambung tinggi lagi seperti petengahan tahun 2008 yang bisa mencapai 150 dolar per barel. Pada kondisi ini, Indonesia yang telah menyerahkan harga BBM dalam negerinya pada mekanisme pasar mau tidak mau harus menaikkan harga BBM 3 kali lipat dari sekarang. Ini sama saja dengan menyerahkan urat leher rakyat kepada dunia internasional.
Indonesia sebagai negara yang sangat bergantung pada penggunaan BBM akan menerima dampak yang luas dari kondisi ini. Masyarakat Indonesia belum siap dengan mekanisme pasar. Hal ini terlihat dari keengganan sejumlah pengusaha transportasi untuk menurunkan ongkos angkutan ketika BBM turun, namun paling depan berteriak menaikkan ongkos ketika BBM naik. Menurut Ketua Organda, Eka Sari Lorena, kebijakan pemerintah menaikturunkan harga BBM sangat merepotkan untuk diimplementasikan langsung dalam bentuk penyesuaian tarif, sebab proses penyesuaian tarif butuh waktu dan prosedur-prosedur.
Begitu juga dengan harga bahan pokok yang tidak ikut turun dengan turunnya harga BBM, padahal Menteri Perdagangan telah menyampaikan edaran agar pemilik usaha menyesuaikan harga kebutuhan dengan turunnya harga BBM. Penurunan harga bahan pokok tidak serta merta membuat harga kebutuhan pokok turun. Kondisi ini terjadi salah satunya karena transportasi yang tidak turun. Selain itu, pedagang tentu tidak ingin rugi menjual barang yang dibeli dengan modal yang lebih tinggi dari harga jual.
Ketidaksiapan masyarakat ini seharusnya disikapi pemerintah untuk memberikan edukasi dan pemahaman tentang mekanisme pasar internasional. Jika tidak, kemungkinan terjadinya demonstrasi besar-besaran ketika pemerintah merubah kebijakan sekali lagi tidak dapat dihindari.
Dalam bidang fiskal, dengan dicabutnya subsidi BBM, pemerintah mengklaim mampu mengalihkan alokasi anggaran subsidi BBM sebesar Rp. 250 trilyun setiap tahunnya untuk program yang lebih produktif dan sektor riil. Menarik untuk dinanti apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dengan dana sebesar itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H