Mohon tunggu...
Juster Sinaga
Juster Sinaga Mohon Tunggu... Pendidik -

Menapak hidup setapak demi setapak menuju puncak yang lebih tinggi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negara Anak Terlantar

2 Februari 2011   09:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:57 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1296638597422855538

Silahkan tercengan.  Satu fakta mengejutkan ada di sekitar kita. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, jumlah anak penyandang masalah kesejahteraan sosial (usia 0-18 tahun) di Indonesia per Desember 2009 mencapai 4.656.913 jiwa atau setara dengan jumlah penduduk negeri jiran, Singapura. Jika tahun 2009 saja sudah mencapai angka yang fantastik itu, bagaimana di tahun 2010?

Menurut data tersebut, mereka yang disebut penyandang masalah kesejahteraan sosial anak adalah anak balita telantar, anak telantar, anak jalanan, dan anak nakal atau anak yang berhadapan dengan hukum. Artinya, angka itu sudah bisa membentuk satu negara lagi dalam negara ini, yaitu negara anak terlantar.

Ironisnya, ditengah keprihatinan ini, para angota dewan kita, yang mengaku sebagai wakil rakyat masih kekeh dengan keinginan membangun gedung DPR yang menelan biaya triliunan rupiah. Sepertinya niat para wakil kita di DPR untuk merenovasi gedung DPR tidak terbendung lagi. Seolah mata mereka telah buta, tidak lagi bisa melihat derita rakyat Indonesia. Demikian juga telinga mereka telah tuli, tidak lagi mendengar jeritan derita rakyat dan suara-suara yang menolak keinginan mereka yang kekanak-kanakan itu. Dan nurani merekapun ternyata telah tumpul oleh nafsu duniawi yang gila harta dan kekuasaan. Mereka telah gelap mata, tidak mampu membedakan lagi mana yang terbaik dilakukan untuk negara ini dan mana yang tidak harus dilakukan. Merekapun telah hilang daya akalnya yang diberikan Yang Kuasa untuk berpikir kritis dan mampu membuat prioritas dalam membuat keputusan. Banyak masukan dari rakyat, baik yang bernada santun mapun yang bernada kurang santun menanggapi ide DPR untuk merenovasi “gedung rakyat” yang masih kokoh itu. Namun, bagaikan suara dalam gua, suara-suara itu tidak didengarkan dan hanya menggema kembali kepada yang bersuara.

Belum lagi hilang rasa sakit hati kita sebagai rakyat mendengar bahwa rencanan pembagunan gedung DPR pasti akan terealisasi, sejumlah oknum di berbagai departemen pemerintah melakukan keserakahan dengan tindak korupsi. Mereka memenuhi pundi-pundi uang mereka dari uang yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Alih-alih para penegak hukum menegakkan keadilan dan menyeret para pelaku korupsi ke meja pengadilan, mereka justru menjadi bagian di dalam “permainan” ini. Belakangan ini saban hari kita disuguhi dengan informasi tentang mafia hukum.  Geram, gregetan dan sakit hati ini mendegarnya.  Akhirnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah perlahan namun pasti semakin kecil.  Terlebih lagi ketika sang presiden curhat tentang gajinya yang tidak naik selama 7 tahun.

Kondisi inipun direspon pendidikan kita dengan merancang pendidikan berbasis karakter. Beramai-ramai lembaga pendidikan menyelenggarakan seminar tentang pendidikan karakter. Sungguh indah ketika para ahli pendidikan dan para pemegang kebijakan dalama pendidikan berbicara tentang pendidikan berbasis karakter ini. Namun, masihkah kita bisa percaya dengan sistem pendidikan kita yang suka gonta-ganti kurikulum ini? Sulit rasanya untuk percaya. Bagaimana kita harus percaya kepada pendidikan berbasis karakter ini  sedangkan para pemimpin saja tidak memiliki karakter kepedulian kepada sesama (humanity) dan karakter keadilan (justice).

Akhirnya, tanpa kita sadari, di negar kita ini telah bermunculan negara-negara kecil karena tidak dipedulikan oleh pemerintah. Negara anak-anak terlantar inipun akan semakin besar jika tidak segera mendapat perhatian dari pemerintah. Kita tinggal menunggu waktu, akan lahir negara-negara baru dalam negara ini: negara anak terlantar, negara TKI, negara kaum koruptor, negara penguasa, negara pengusaha, dan negara-negara lain. Dengan demikian program otonomi daerah akan sunguh-sungguh terwujud tetapi dalam bentuk lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun