Ini sebuah kisah nyata, sekitar tahun 2009 lalu. Sebuah kisah yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Siang itu HP saya berbunyi. Mengalun sebuah lagu dari Peter Pan sebagai ringtone-nya ‘Tak Ada yang Abadi’. Sebuah nama tertulis di layar hp. Adik saya. Dan ia menyapa, ”Assalamu’alaikum.. Apa kabar Mas?”
Saya,”Wa’alaikum salam, Alhamdulillah kabar baik. Ada apa nih?”
“Begini Mas. Di tempatku sekarang sedang ada pendaftaran guru CPNS, rencananya aku mau ikut lagi. Kan tahun kemarin gagal to. Nah, kemarin itu aku ditawarin ama orang kepercayaannya Bupati kalau mau lewat jalurnya dia, dijamin pasti diterima. Tapi dia minta Rp 70.000.000,- dan aku hanya punya Rp 30.000.000,- mbok aku tolong dipinjami dulu Mas…”
Saat itu saya sedang tak memiliki uang sebanyak itu. Jadi saya tak bisa meminjaminya. Tapi agar terdengar lebih gagah sebagai kakak yang dianggap 'sukses', inilah jawaban saya,”Begini Dik, bukannya aku gak mau minjemin uangnya. Tapi coba deh dipikir lagi, kalaupun misalnya nanti diterima jadi guru CPNS, sadarkah kalau gaji yang akan kau terima setiap bulan selama jadi PNS itu haram? Karena tanamannya haram. Masa’ keluarga akan diberi hasil yang haram? Belum lagi kalau si A yang mau bawa bahkan Bupatinya diganti sebelum pengumuman, apa nggak hangus uangnya? Sebaiknya tidak usah lewat jalur itu, lewat jalur biasa aja.”
Adik saya,”Tapi kalo lewat jalur biasa tidak mungkin diterima Mas. Teman-temanku yang ikut jalur khusus itu udah 4 orang, jaminan diterima. Aku kuatir nanti gak diterima lagi…”
Saya jawab,”Begini, ini ada jalan yang jauh lebih baik kalau mau diterima jadi guru. Berapa tadi bayarnya? Rp 70.000.000,- ya? Tempuhlah jalan yang halal dan jadikan upaya menggapai PNS sebagai riyadhah, ibadah untuk menggapai Ridho Allah. Sholat wajibnya benerin agar tepat waktu, sholat tahajud dan dhuha-nya ditambah, puasa sunat Senin Kamis dikerjakan dan sedekahlah dengan sedekah terbaik. Daripada bayar Rp 70.000.000,- lebih baik sedekahin 10%nya saja. Sekitar Rp 7.000.000,- Dan berdoa ama Allah agar dimudahkan jalannya. Lalu cari anak-anak yang tidak mampu bayar SPP, bayarin. Cari guru-guru yang ekonominya susah, bantulah. Cari anak-anak yatim yang pengen sekolah, bayarin. Begitu.”
Pembicaraan berlanjut, tapi intinya: adik saya akhirnya – setelah saya yakinkan - bersedia mengikuti saran kakaknya.
Telepon ditutup dan sayapun melanjutkan aktivitas saya di biro iklan yang saya dirikan bersama teman-teman.
Dan kurang lebih sebulan berlalu.