Mohon tunggu...
Muhammad Yahya
Muhammad Yahya Mohon Tunggu... -

Hamba Allah, Aktifis Masjid

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyalahkan Pihak Lain

24 Februari 2015   12:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:37 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di pagi hari, dua orang adik-kakak mendapat tugas dari ibunya di rumah.  Ibunya yang  sedang sibuk di dapur menyuruh anak yang paling besar untuk menyapu dan mengepel lantai.  Sedangkan anak kedua disuruh mengasuh adiknya yang masih balita, agar ibunya leluasa menyediakan sarapan pagi.  Tak diduga sebelumnya, balita yang sedang  ditunggui anak kedua itu lari mendekati kakanya yang sedang membersihkan lantai. Karena masih basah dan licin, balita itu terpeleset jatuh di lantai.  Sontak sang kakak memarahi adiknya karena dianggap tidak mampu menjaganya dengan baik. Mendapat semprotan dari kakaknya, adiknya pun tidak kalah garang, ia menyalahkan kakaknya yang ngepel lantai sembarangan sehingga masih basah, dan mengakibatkan adik  kesayangannya terpeleset jatuh.  Akhirnya kedua adik-kakak itu terlibat percekcokan yang alot dan saling menyalahkan, yang kemudian dirilai oleh ayahnya yang waktu itu sedang mempersiapkan diri berangkat ke tempat kerja.

Sikap saling menyalahkan dan perdebatan yang tidak berujung ini ternyata bukan hanya milik anak-anak. Orang dewasa pun ada yang bersikap seperti ini, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa bahkan bernegara.  Dalam kehidupan berkeluarga, acap kali suami atau isteri menyalahkan pasangan hidupnya masing-masing.  Dalam bermasyarakat, seseorang anggota keluarga menyalahkan anggota keluarga yang lain. Bahkan dalam kehidupan bernegara, pejabat yang satu menyalahkan pejabat yang lain, atau orde yang satu menyalahkan orde yang lain.

Ujung dari sikap saling menyalahkan itu, rata-rata tidak menciptakan kesudahan yang baik. Tetapi kebanyakan justeru menimbulkan konflik dan mendatangkan masalah baru yang kadang lebih parah.  Orang yang selalu mengambil langkah dengan menyalahkan orang lain itu akan tampak sebagai sosok yang lemah dan kurang bertanggung jawab.

Kalau kita tengok sejarah, nabi Adam a.s dan isterinya tidak pernah menyalahkan pihak-pihak lain. Padahal sudah jelas, beliau disengsarakan oleh iblis yang menyebabkan  mereka berdua terusir dari Sorga yang penuh keni’matan, terlempar ke dunia yang penuh perjuangan.  Adam dan isterinya Siti Hawa, malah menyalahkan dirinya sendiri karena telah terjebak godaan syetan. Beliau menyampaikan: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi".(Q.S. al-A’raf:23)

Di sini Adam a.s tidak sedikit pun menyalahkan iblis, dengan mengatakan bahwa kesalahan itu akibat bujukan dan ajakan iblis.  Beliau terima kenyataan itu sebagai kesalahan dan kelemahan dirinya, yang mesti dipertanggung jawabkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendapati orang yang berupaya menutupi kekurangan dirinya dengan cara menyalahkan orang lain. Memang bisa saja orang yang disalahkan itu benar-benar bersalah,  tetapi menyalahkan dengan tanpa perbaikan juga tetap salah.  Semestinya, masing-masing orang mengakui dan menyadari kesalahannya, kemudian berupaya untuk sama-sama menuju arah yang baik.

Akan lebih berbahaya lagi, kalau untuk menutupi kekurangan diri itu ia berupaya mengkambing hitamkan orang lain yang tidak bersalah.  Allah berfirman: “Dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata”.(Q.S. an-Nisa:112)

Dalam kehidupan nyata, acap kali suatu generasi mengkambing hitamkan generasi pendahulunya, seorang atasan mengorbankan bawahannya. Akibatnya, seorang yang salah dibela mati-matian, sedangkan yang tidak bersalah dipenjarakan.

Oleh sebab itu, kita harus menyadari bahwa kehidupan dunia ini bukan segala-galanya, karena nanti ada kehidupan akhirat yang kekal abadi dan penuh keadilan.  Sehebat apapun seseorang menutupi kesalahannya, maka nanti kesalahan itu akan dibongkarnya.  Tetapi sebesar apapun kesalahan manusia, kalau disadari dan bertaubat kepada-Nya, maka Allah Maha Pengampun kepada hamba-hamba-Nya.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun