Mohon tunggu...
Mardhika Ika Sari
Mardhika Ika Sari Mohon Tunggu... -

waktu berjalan..dan aku tak tahu apa nasib waktu Tangan - tangan arwah ingatanku yang tipis..melucuti waktu menjaga daerah mati ini Dan ketika tangis tak berarti... dalam ruang hampa itu.. Dalam diamku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi yang Bukan Seperti Mimpi

4 Januari 2015   12:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:51 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mawar itu terpesona akan pancaran mentari yang ia temukan melalui celah – celah rimbunnya dedaunan di semesta raya. Mentari yang ditemukannya ketika ia sedang berada diantara bangun dan pejam. Ia adalah setangkai mawar yang telah renta dan paling susah mencari mimpi. Lalu bila tiba – tiba sesuatu yang dikiranya mimpi yang bukan seperti mimpi ada di depannya, maka ia tidak ingin kehilangan.

“Hei, akulah mentarimu yang kau tunggu itu.” Mentari menyerahkan kesepuluh jarinya kepada mawar.

“Aku hanya mampu merasakan hangatmu. Aku tak dapat memeluk dan mendekapmu di kala aku ketakutan pabila tiba – tiba petir murka bersama datangnya hujan.” Gumam mawar antara sedih dan bahagia.

Mentari yang datang berbalut cahaya jingga terlihat begitu indah. Kakinya meniti angin. Pandangannya syahdu penuh kasih. Mawar seringkali membaca bayang – bayang syairnya pada semesta. Mungkin saat itu juga ia jatuh cinta. Seperti kata orang – orang, bahwa cinta bisa datang sepersekian detik saja.

Mentari mendekap mawar. Penuh kasih. Sambil membelai lembut mahkotanya. Menciumi wanginya. Dan merasakan kelembapan tubuhnya. Tubuh yang setengah basah karena titik – titik air embun yang masih enggan menyingkir meningggalkan tubuh rentanya yang masih mempesona.

“Rasakan hangatku, bila itu mampu membuatmu bahagia dan mengukir senyum.” Bisik mentari sambil mendekatkan wajahnya. Mempererat dekapan tubuhnya pada sang mawar. Hedeeeww...so sweet...batinnya. Seperti yang pernah didengar mawar saat ada pemuda yang nggombal di depan danau semesta. Lantas, apakah mentari juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan pemuda itu pada kekasihnya...???

Halaaahh, mawar tidak peduli lagi dengan gombal. Biar saja pantai yang teduh itu berhenti mengirimkan ombaknya. Biar saja sungai yang segar itu berhenti menyusuri bebatuan. Biar saja petir terus menggelegar seenak pusarnya. Biar saja semuanya hilang. Asal jangan kehilangan cinta. Asal jangan cinta yang menghilang.

“Aku cinta padamu.” Bisik mentari lembut. Direngkuh tubuh mawar perlahan sebagai tanda untuk meyakinkan ucapannya.

Haaahhh...?? mawar mendongak tak percaya. Ditatapnya mentari dalam – dalam. Seakan – akan mencari pembenaran kalimat yang didengarnya. Bagaimana mungkin ? Sedangkan mereka jarang sekali bertemu. Apalagi di musim hujan seperti ini. Padahal kata orang Jawa tuh, tuwuhing tresno jalaran saka kulino. Imposible !

Mungkin dia salah dengar. Tapi tidak menutup kemungkinan pernyataan itu juga benar. Seperti halnya dia sendiri. Yang pada akhirnya memiliki cinta untuk mentari. Memendam rindu pabila mendung sudah bergelayut manja di langit semesta raya. Dan memanjatkan doa penuh khusyuk, semoga hujan tak jadi turun.

Mentari melonggarkan pelukannya. Dielusnya mahkota mawar penuh kasih. Dipandangnya dalam- dalam mata mawar. Dia hujamkan panah asmara arjuna pada pujaannya itu.

Saat itu sikap mentari persis seperti sikap Diego pada Sisi di salah satu sinetron yang pernah tanpa sengaja ditonton mawar ketika suatu malam angin menggodanya dan menerbangkan dirinya hingga tergeletak di pinggir jendela sebuah rumah.

“Ketika hujan turun, hatiku sedih. Aku sangat kebingungan dan selalu memikirkanmu. Bagaimana keadaanmu pabila hujan turun dengan angkuhnya. Apalagi bila sekawanan angin ikut bersorak sorai menemaninya. Memporak porandakan segala yang ada di semesta ini. Aku tak akan mampu membayangkan keadaanmu saat itu. Dan yang pasti aku tak mampu menjagamu, melindungimu. Aku pasti tak akan dapat menemukanmu disaat seperti itu. Menatap indah mahkotamu, menelusuri kelopak dan batang berdurimu. Aku hanya mampu berdoa di balik Mahameru, mencemaskanmu sambil menunggu hujan berlalu.”

Curahan hati yang sedikit panjang. Sungguhkah apa yang diucapkan mentari itu ? atau mungkin hanya rayuan ? seperti gombalnya pemuda pada kekasihnya itu...

Cinta yang bersandiwara. Atau sandiwara cinta. Entahlah apa sebutannya. Yang pasti mawar sudah bermain peran di dalamnya. Karena mimpi yang seperti bukan mimpi kini ada di hadapannya. Dan ia tak mau kehilangan mimpi yang seperti bukan mimpi itu.

“Hei, apakah kau juga begitu? Mawarku?” tanya mentari membuyarkan segala prakiraan yang ditulis dalam benaknya.

Mentari memancarkan kasihnya berlebih – lebih. Hingga semesta semakin benderang. Laut tak lagi hilang, sungai pun tetap segar menyanyikan gemericik air di sela – sela bebatuan.

“Jangan tinggalkan aku. Aku tak mampu sendiri diguyur hujan yang angkuh itu. Namun aku tak memiliki apa – apa untuk kuberikan padamu.” Ujar mawar tak berdaya. Ia sadar betul akan kemiskinannya. Apa yang ia punyai ? sedang tubuh semakin renta mencari mimpi.

“Iya, aku janji. Dan aku tidak butuh apa – apa darimu.” Mentari tersenyum penuh kasih. Ia ingin memberikan semua yang ia miliki untuk mawar. Mawar sepolos kanak – kanak. Tak mampu menyembunyikan rasa cinta dan rindunya, meski ia berusaha keras menutupi perasaannya.

“Aku...aku...” Mawar tak dapat melanjutkan kata – katanya. Mimpikah yang hadir ? sedangkan ia tak ingin semua ini pergi. Meski ini cuma mimpi, ia telah bertahun – tahun menanti hadirnya. Mana mungkin dia mau melepasnya. Melepas mimpi yang seperti bukan mimpi.

“Kamu kenapa ? apa yang ingin kau katakan padaku ?”

“Aku...sungguh aku tak memiliki apa – apa. Meski itu diriku sendiri.” Jawab mawar sambil menunduk. Memperhatikan dirinya sendiri. Tubuhnya tak seindah mawar – mawar lain. Ia telah renta menanti masa. Mawar menitikkan airmata. Pikirnya akankah mentari mau setia menemaninya. Mendengarkan keluhnya. Danmengusir hujan yang angkuh itu. Kemudian ia akan selalu memancarkan hangatnya untuk dirinya dan semesta. Akankah ?

“Sudahlah, tidak apa – apa. Aku tetap mencintaimu sekarang, besok, dan selamanya.” Ucap mentari meyakinkan mawar. “Dan aku akan selalu menemanimu, selalu hadir jika kau membutuhkan diriku.”

Mawar yakin dan percaya karena mentari membuatnya nyaman. Pertama kali dia merebahkan kepalanya di atas bahu mentari ketika ia sangat gelisah mencari penopang. Dan mentari menyambutnya dengan hangat. Memberikan rasa cintanya.

Mawar berkali – kali mencubit lengannya. Meyakinkan bahwa ini bukan mimpi. Mimpi yang bukan mimpi. Atau mimpi yang bukan seperti mimpi. Mimpi yang tidak boleh hilang.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun