Jika mendengar kata Papua, banyak literatur dapat kita akses tentang perjuangan Merdeka. Polemik ini ramai dibicarakan dan kebanyakan disampaikan bahwa rakyat Papua memang menginginkan untuk merdeka. Tanpa disadari, kita sering melupakan siapa “rakyat” yang dimaksud? Mengapa pemerintahan daerah tetap berjalan, berita positif mengenai Papua masih begitu banyak? Mengapa tuntutan tersebut mengatasnamakan rakyat?
Apabila kita melihat Papua pascaotsus, orang asli Papua kini mendominasi jabatan-jabatan penting di Papua, atau singkatnya pemerintahan di pascaotsus Papua telah dijalankan oleh orang asli Papua. Dengan sumber daya manusia yang unggul untuk mengelola sumber daya alam yang sangat potensial, seharusnya kemajuan Papua dapat diraih dengan cepat.
Namun, yang terjadi kini adalah silang sengkarut politik di antara teriakan-teriakan merdeka oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan rakyat. Jika menilik kata Rakyat, teriakan tersebut tidak relevan dengan kondisi Papua keseluruhan,yang kini berjalan relatif baik,dan tidak pantas mewakili keinginan rakyat kebanyakan.
Disampaikan oleh Victor F. Yeimo, sebagai Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat, bahwa orang Papua telah memiliki Parlemen Rakyat sendiri, yakni Parlemen Nasional West Papua (PNWP) sebagai badan Politik perjuangan bangsa Papua. PNWP terdiri dari Parlemen-Parlemen Rakyat Daerah (PRD) di seluruh Wilayah Papua, atau sebagai pihak yang mewakili rakyat. Disampaikan bahwa PNWP seharusnya melakukan komunikasi politik dengan Pemerintah Indonesia dalam membicarakan tata cara penyelenggaraan hak penentuan nasib sendiri melalui referendum.
Rakyat Papua berhak marah dengan upaya mewakili secara sepihak, karena tentu saja rakyat Papua tidak termakan oleh slogan yang mengklaim mereka. Alih-alih mendapat kecaman oleh sebagian besar masyarakat Papua, segelintir orang tersebut justru dianggap hebat, atau bahkan dianggap membanggakan. Masyarakat yang abai tersebut, biasanya tidak mengetahui bahwa perlawanan kepada suatu sistem, tidak tertutup kemungkinan merupakan jalan memperoleh imbalan materi. Keuntungan materi tersebut, diduga kemungkinan berasal dari kelompok oposisi pemerintah, aktor non Negara atau filantropis, atau bahkan masyarakat yang terperdaya.
Terima kasih kepada media massa, kelompok seperti KNPB yang didominasi oleh kelompok orang muda Papua menjadi semakin populerdan lebih banyak menarik orang muda untuk memberikan dukungan kepada KNPB, dan cenderung siap beradu fisik dengan aparat keamanan.
Lewat slogan populer “Satu Kata, Lawan!” yang terkenal sebagai jargon penggulingan orde baru, semangat perjuangan kaum muda Papua ini dibakar untuk melawan dengan gigih, tanpa tahu apa yang sebenarnya dihadapi. Pendidikan gratis hingga perguruan tinggi oleh Pemda, Pemprov, bahkan pemerintah pusat lewat berbagai program beasiswa, sebagai cara strategis dalam membebaskan masyarakat dari kebodohan dan ketertinggalan, justru dimanfaatkan untuk mewariskan paham separatistik, dan menjebak siapapun di dalamnya, sehingga kehilangan fokus studi untuk segera menyelesaikan sekolah dan membangun kembali kampung halamannya. Alhasil, akhirnya warga Papua juga yang terkena dampak, karena sumber daya manusia yang diharapkan dapat menjadi agen perubahan justru tinggal di berbagai kota besar di Indonesia tempat ia seharusnya menuntut ilmu untuk berfoya-foya menghabiskan dana pendidikan yang diterima.
Kata “rakyat” sekali lagi terbukti terlalu sering dimodifikasi dan dikomersilkan untuk kepentingan materiil bernilai kecil dibandingkan dengan dampak yang diterima masyarakat Papua dalam menanti dilepaskan dari ketertinggalan yang selama ini membelenggu. Apakah pantas mengatasnamakan rakyat dalam perjuangan Papua merdeka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H