Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Zort zoen Zort, Politik di Indonesia [Polhankam – 07]

6 Juni 2011   13:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:48 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_112601" align="aligncenter" width="220" caption="Peta Jaringan Pusat Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya dan Alur Kekuatan Militernya sebagai Negara Maritim."][/caption]

“Jenis mencari jenisnya” --- itu adagium politik yang diperoleh dari Buku (judul kira-kira, Kesan Perjalanan ke Republik Rakyat Cina), pengarangnya, Mr. Jusuf Wibisono, terbit akhir tahun 1950-an atau awal 1960-an. Isi  buku itu menceritakan pandangan politik Jusuf Wibisono dan kesan-kesan perjalanan-nya ke Negeri Komunis itu --- dalam ingatan, walaupun beliau itu tokoh Partai Masyumi yang anti komunis, dalam kesan beliau dari aspek ekonomi, di jaman itu (RRT) positif saja --- tidak menjelek-jelekkan.  Dia ke Cina itu sebagai seorang Menteri atau anggota delegasi/pejabat tertentu(?). Dari buku itulah mendapat Zort zoen Zort (Jenis mencari jenisnya) --- barangkali adagium itu berasal dari praktek politik Belanda, yang pernah menjajah Indonesia.

 

Bertahun-tahun adagium itu digunakan untuk memperhatikan --- kelompok-kelompok masyarakat, organisasi pemuda, organisasi massa, komunitas, politicking di organisasi kantor, bahkan mereka yang memasuki partai politik.  Partai Politik yang memecah atau pun pembentukan partai dan organisasi baru --- pasti polanya Zort zoen Zort.

 

Begitu pula apabila tidak tercapai modus yang fokus, dalam perkembangan baru  --- konsolidasi pun akan Zort zoen Zort. Lha --- lihatlah dari Jemaah NU bisa melahirkan sejumlah partai politik --- pasti dari yang sejenis.  Entah pandangan politik , entah asal daerah, entah asal/alumni pesantren --- dan macam-macam  motivasi dari konsolidasi Zort zoen Zort.

 

Bahkan adagium itu dapat diterapkan dalam pengamatan di kegiatan kampus, di kampung atau di pasar ---- ada modus yang mempersatukan orang dalam pembicaraan di warung atau lapo.  Bahkan di bidang kriminal pun dapat diamati oleh kriminolog, bahwa maling ayam akan bergaul sesama kawanan profesi maling ayam,  bajing luncat dengan bajing luncat, maling motor dengan para pemaling motor.

 

Sehingga polisi, reserse atau intelijen pun menelusuri sasaran juga berdasarkan adagium ini --- kawanan penjudi dan penyabung ayam niscaya berkelompok dengan jenis judi itu --- mereka yang bergaya-hidup “night club” pasti berada di Café sampai tempat-tempat hiburan malam sejenis --- begitu pula varian para pecandu narkotik. Mereka akan Zort zoen Zort !

 

Pola pikir Amien Rais  pasti sejalan dengan para koleganya dan junior yang bergabung di PAN, seperti Alvin Lee, atau Soetrisno Bachir, Wanda Hamidah dan lain-lainnya --- begitu pula PKB Cak Imin akan diikuti oleh para anggota yang sepaham --- sebaliknya yang berfikiran sejalan dengan Gus Dur tentu merapat ke Yenny Wahid.

 

Anak-anak muda yang menyadari dan akhirnya memahami ideologi dan politik Partai Golkar, tentu mereka akan menjadi anggota partai Golkar ---- pokoknya ada modus, paradigma atau interest yang fokus  untuk mengelompok --- Zort zoen Zort.

 

Bagaimana kalau terjadi perpecahan, faksi, atau fraksi --- sama saja tentu ada modus untuk bergabung sesama --- apakah alasan strategis , bahkan mungkin hanya taktis untuk memperoleh keuntungan jangka pendek.

 

Bukan rahasia bahwa elite Partai Demokrat atau Partai Hanura atau lainnya --- pasti ada proses kristalisasi sehingga mereka harus memilih kembali wadah yang sesuai dengan motivasi, interest, dan kerangka berpikir kelompok yang sejenis  ---  terutama yang mereka yang berasal Partai Golkar dari jaman Era Orde baru. Pasti ada modus yang sama mengapa mereka membangun partai politik baru.

 

Bagaimana mereka yang berkarakter kutu-loncat ? Itu juga adalah proses kristalisasi interest-nya mencari “lingkungan yang nyaman” --- mencari “comfort zone baru”. Kalau tidak mengapa Dede Jusuf harus memilih wadah baru ?

 

Tentulah saat ini partai-partai  kecil yang akan membentuk partai baru mencari kesamaan modus --- yaitu mengikuti Pemilihan Umum 2014. Sebagaimana partai yang gagal pada pemilu 1999, 2004, atau  2009 --- sebentar lagi mereka ber-“merger” untuk menyatu dalam, Zort zoen Zort --- Jenis mencari jenis.   Baik untuk Pemilu Legislatif atau pun Pemilihan Presiden RI.

 

Bagaimana dalam Koalisi di Parlemen atau dalam Pemilukada ?  Sama saja .  Mereka mempertemukan interest atau taktik vested-interest yang sama. Makanya koalisi mereka sangat rapuh --- seperti tepian sungai, berubah setiap kali banjir datang.

Untuk kepentingan jangka pendek dan belum tentu ada urusan dengan kesejahteraan Rakyat. Yang seharusnya menjadi Strategi partai-partai politik.

 

Di Panggung politik Indonesia saat ini --- saksikanlah mereka yang di dalam partai atau bahkan yang diluar partai sebagai pengamat politik, umpamanya --- tetap dalam pola Zort zoen Zort !

 

Lihatlah karakter Indra J. Piliang, Bambang Soesetyo atau bahkan Bung Ical --- atau perhatikan pula para senior lainnya Akbar Tanjung atau Harmoko dari tulisan-tulisannya. Karakternya fokus dalam kerangka yang sejenis, mereka itu.

 

Pasti begitu pula di Partai Demokrat --- paradigma, gaya politik, habit dan motivasi, ideologinya,  pasti fokus sama --- apakah Susilo Bambang Yudhoyono, Anas Urbaningrum, Mubarok, Hafsa, Angelina, Andi Nurpati, Allen Marbun, atau pun Nazaruddin --- mereka adalah Zort zoen Zort.

Mereka dalam satu partai yang sama --- cita-cita yang sama, kehendak yang sama.

(Salah satu unsur terbentuknya Negara adalah Kehendak yang Sama --- cita-cita politik yang sama, yang dicantumkan dalam Konstitusi).

 

Bahkan dalam Bangsa ini --- Bangsa Indonesia, teringat pada tulisan Mochtar Lubis, yang semula diceramahkan pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta --- dibukukan dengan judul Manusia Indonesia.  Mungkin secara kontemporer perlu dikaji kembali --- 34 tahun, yang mungkin telah melahirkan generasi baru.  Ini merisaukan, karena sebuah buku tebitan 2007 --- oleh penulis dari Negara Jiran, buku yang membicarakan watak dan karakter Bangsa Cina dan Cina Perantauan,  mengapa mereka  bisa lebih cepat maju --- ternyata tidak ada kriteria yang baik untuk diperbandingkan dengan sisi yang dicapai Bangsa Indonesia --- hanya dua kali dibanding, itu pun dalam kasus yang jelek-nya.

 

Lumayan sebagai Bangsa Malaysia, Singapura, Vietnam, atau Thailand, Kamboja  dan India ---- bangsa-bangsa itu bisa menjadi tolok-ukur berbanding dalam Budaya Antar Bangsa-bangsa di Asia.  Kasus  per Kasus.    Wah  gawat nih ?

 

Zort zoen Zort --- Jenis mencari Jenisnya.  Budaya dalam partai-partai politik Indonesia, seperti juga dalam Perusahaan mempunyai Corporate  Culture --- mereka pun mengelola partai dan bangsa ini dengan gaya dan corak Budaya orang-orang mereka yang sejenis.

 

Amatilah !  Mengapa mereka tidak mengikuti jalur Budaya Pancasila yang digali dari Khazanah Budaya Leluhur ?  Atau malah mengadaptasi Budaya Retrogresif yang juga memang ada bibitnya ?

 

Kuning kumpul padha kuning kaya podhang areraton (Pepindhan). Lho ?

*)Foto ex Internet

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun