Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Wayang Kontemporer (12) Sang Togog Mulai Melempar Proof-balloon

19 Agustus 2010   10:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:53 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Togog bukan  dari kelas Punakawan, Pencari Jalan, Pemandu --- tetapi perannya sebagai tokoh golongan penjilat dan penghianat. Apanya ? Idenya !

Dalam Budaya Pewayangan yang kaya dengan filsafat dan Ke-Arifan Lokal --- niscaya para "Leader" sangat berhati-hati memilih para pembantu dalam organisasi-nya. Punakawan adalah salah satu karakter, satu kompetensi dan peran dalam  skenario adegan pewayangan --- ternyata ada punakawan baik ada pula pengabdi yang mewakili sifat manusia jahat --- walau pun dalam misinya mungkin ia tidak sadar, terlanjur mendarah daging

Punakawan golongan baik, seperti Semar dan anak-anaknya --- tentu misinya agar Para Kesatria tempat ia mengabdi sukses dan tetap bermartabat. Sebaliknya tokoh  yang diperankan  Togog ( biasa plus Bilung) --- pada dasarnya bersifat ambisius dan vested interest. Terkadang tokoh Togog dalam berperan tidak sadar diri --- bahwa masyarakat telah membaca akal bulusnya --- di sini Sang Butho kepada siapa  ia mengabdi pun kena getahnya --- masyarakat tahu ke arah mana Butho itu akan melaksanakan misinya.  Mudah terbaca --- tetapi adegan selalu mempunyai pakem. Di-suspence sampai ending.

Ada adagium politik kuno --- penulis dapat dari buku yang dikarang oleh Jusuf Wibisono --- yang menceritakan perjalanan beliau ke Cina, sewaktu dia menjadi Menteri (mungkin di jaman Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ? ), penulis waktu itu sekitar berumur awal belasan tahun. Sangat terkesan dengan pepatah Belanda itu :

"Zort zoon Zort " --- Jenis mencari jenisnya. Jadi di dalam organisasi selalu ada kecendrungan orang-orang yang mempunyai karakter yang sama. Baik Butho-nya maupun Pengabdinya --- mempunyai karakter yang sama misinya.  Wah

Dalam Budaya Wayang, tokoh Semar melambangkan Karsa, sedang anak-nya Gareng (melambangkan Cipta, Akal-pikiran), berikutnya si Petruk, ini melambangkan Rasa, lantas  si Bagong melambangkan Karya. --- secara filsafati Bopo Semar adalah leader bagi anak-anaknya --- Karsa adalah leading bagi Akal-Perasaan- Karya.

Dan misi mereka adalah mengabdi kepada para Kesatria yang mempunyai misi yang Baik.

Adalah Togog atau Tejamantri dengan temannya, Bilung alias Sarawita alias Wijamantri adalah dari golongan  pengabdi pada para Butho dengan misi Jahat.

Namanya juga drama tentu dalam setiap skenario di antara kedua belah pihak akan terdapat konflik. Antara Ide Baik melawan Ide Jahat. Maka tokoh Togog dan Bilung ada yang berpendapat bukanlah dari golongan punakawan --- Memang, mereka adalah bagian organisasi yang ber-peran sebagai provakator, agitator, atau malah tukang pengumpan isu.

Tokoh Togog dalam wujud wayang kulit digambarkan, dengan tangan mengadah --- makhluk peminta-minta, mencari nafkah dengan cara inggih sendiko dalem --- ambil muka  untuk mendapatkan sesuatu. Begitu pula Bilung  yang berwujud dengan tangan tertutup --- berwatak pencuri, mafioso, dan segala macam upaya koruptif.

Mata mereka pun menggambarkan mimic, gesture dan gimmick --- penokohan dan penyesuaian karakter itu, untuk dilakonkan.  Nah - kalau saat ini, kalau tidak ada pertunjukan wayang --- karakter demikian dapat kita temukan, di narasi media cetak atau lebih jelas lagi di scene media elektonik.  Gampang kok mencari tontonan begituan di Indonesia.

Jadi dalam lakon Togog melempar Proof-balloon --- sesuai dengan pepatah politik "zort zoon zort" --- baik Togog plus Bilung dengan para Butho, Ponggawa, dan Wadyabala-nya - Yah pada bae.  Misinya melanggengkan kekuasaan untuk berkuasa --- bukan Kekuasaan untuk melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat.  Mencapai  Masyarakat Gemah Ripah Loh Jinawi --- Tata Tentrem Kerta Raharja. Bukan itu, bukan itu misi mereka --- karena visinya pun butek dan cekak.

"Dasar gentho tlengsor !" --- grutu Dhalang Tukidjan (sementara terdengar Gerongan dengan lagu Butho-butho Galak).  Gluduuuuuuuuuuuuur .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun