(1)
“Mbambung !” bergema kata-kata itu --- “Mbambungan kamu !” . Sungguh kata-kata antik, yang sudah lebih 52 tahun barangkali tidak pernah didengarkan gemanya lagi.
Kata-kata itu memicu kenangannya (kata-kata itu dibacanya dari Profil seorang teman Kompasianer).
Kami buruh di Percetakan Kilat itu ada 20-an orang --- dari Operator Mesin Cetak, Zetter, Kenek, Operator Tukang Potong, Tukang Jilid, Tukang Kemas, Tukang Masak, Tukang Belanja, Kepala Kantor , Kepala Gudang merangkap pemberi makan anjing, Pekerja Administrasi merangkap Pengantar Barang dan Pencari Order.
Percetakan itu kecil --- mesin cetak cepat, Snel ada dua dengan beberapa mesin Degel. Untuk mengimbangi pesanan kilat, buruh harus bekerja full-time, tiap hari kerja lembur --- mati-matian.
Itu di jaman tidak enak --- hampir tiap hari di ketemukan gelandangan mati terkapar di pinggir-pinggir jalan atau dekat bak sampah. Honger Oedem banyak terjadi di desa-desa --- mereka menggelandang mengais dan memakan sampah biji-bijian buangan (Ha ?).
Ya, Indonesia tahun 1960-an kekurangan pangan, kami di desa biasa memakan oyek atau klerot, dan entah akar dan biji apa saja. (kira-kira perawakan para gelandangan seperti video di TV --- ancaman kelaparan di Afrika, begitu).
Kami para buruh di situ --- cukup dapat sarapan plus minum, makan siang dan malam, bermutu dari Warung Padang atau Kios Makanan Jawa --- pokoknya cukup bergizi.
Malam kopi lagi, plus minuman anggur dari Tiongkok. Pokoknya kerja keras terus, banting tulang --- jam 07.00 sampai 22.00, bahkan bisa lebih. Tidak mengenal hari libur.
--
Gaji kami mungkin kecil --- tetapi mendapat pekerjaan masa itu, sudah harus bersyukur.
Boss kami, pemilik percetakan itulah yang berhak memaki kami : “Mbambungan kamu !” --- terutama apabila ada buruh yang mangkir atau terlambat.
Tinaryo hari ini, 11 April 2012 --- kembali untuk merenungi perjalanan pengalamannya sebagai buruh, setelah ia kembali menemukan kata-kata “mbambung”.
Boss itu lelaki gemuk dengan rambut gondrong kriting plus janggut, jambang dan kumis lebat; dia memakai songkok --- Tinaryo mencoba kembali membayangkan sosok boss itu --- dengan tingkah lakunya bila mengomeli kami.
Tinaryo terpaksa keluar dari percetakan itu karena --- boss menyuruh ia pindah kuliah di universitas swasta, yang kuliahnya tertentu, sore hari saja --- dengan gontai Tinaryo mengemasi barang-barangnya ke beca.
Ia mendapat pesangon Rp. 36.000, plus tinggal di Losmen gratis 1 bulan --- Tinaryo merasa adil apa yang diperolehnya, ia puas bekerja di situ, walaupun tampaknya boss itu buas --- tetapi ia selalu berlaku adil.
Ia hanya marah ketika orang mbolos, atau malas bekerja --- hanya, ia juga kadang-kadang lupa, bahwa buruhnya mempunyai anak-bini. Bayangkan salah seorang Operator mesin cetaknya, yang bernama Lie Sam Ciang, barangkali tidak sempat bertemu dengan bininya, atau melihat perkembangan anak-anaknya. Ia bekerja sekuat mesinnya.
(2)
“Barangkali kamu telah mendapatkan pekerjaan lain”, itu kalimat yang diingat Tinaryo, sepanjang beca dikayuh dengan suara bedernyit, melewati Pekojan dan menembus jalan kecil menuju Depok --- Tinaryo mencoba mereka-reka bagaimana omelan boss itu, setelah ia pergi.
“Pemuda tidak punya inisiatif, apa dia tidak tahu ………….. ini Indonesia bung, B.A. , B. Sc dan para Sarjana tammat jadi pengangguran --- dasar Mbambungan !”.
Beca tiba di Losmen Kauman, langganan percetakan --- pemiliknya, para penghuninya, para pedagang kecil, peramu obat-obatan yang selalu memesan etiket merk dagangnya, adalah langganan Percetakan Kilat. Barang-barang diturunkan, memasuki kamar.
Terpikir. Memang Boss itu seorang yang berjiwa sosial, pembela kaum miskin, ke desa-desa memberi bibit kambing dan ternak --- Cuma dia lupa, kami, buruhnya juga terkadang memerlukan “waktu” luang --- untuk anak-bini, berpacaran atau berkhayal dan bermimpi.
[MWA] (Cermin Haiku -33)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H