Anna Rohana duduk selonjor di depan pintu rumahnya --- rumahnya sepi, komplek baru itu pun masih sepi. Di barisan rumahnya memang hampir terisi semua, di seberang ada beberapa yang kosong.
Letak rumahnya lebih tinggi dari jalan --- ia merasakan kenyaman. Tumit sampai pahanya terasa sejuk suhu yang merambat dari lantai kramik broken white. Ia suka warna itu.
Belum ada niat untuk menambah-nambah penampilan rumahnya --- kalau tabungan cukup, paling ia akan membuat dapur di luar dan jemuran pakaian.
Daerah itu masih sepi.
“Lu berani An, pindah ke situ --- kompleknya masih sepi. Ih”, begitu komentar kawan-kawannya ketika ia pindah ke rumah idaman itu.
“Awas lu diperkosa garong !” . Anna hanya tersenyum --- konon menurut artikel psikologi, perempuan selalu mempunyai impian diperkosa, Ih !
Tengah hari itu memang sepi --- anaknya Sandra dibawa neneknya, ke warung untuk membeli mie instant.
Anna Rohana bangga dan bersyukur, ia telah memperoleh rumah idaman --- ia akan mencari bibit-bibit bunga stek.Ini kebetulan musim hujan.Memang ada beberapa pot bunga dari rumah kontrakan Rp. 300 ribuan (yang reakhir di Gang Sempit, buntu dan padat bersambung-sambung).
Rumah ini tidak sempit --- cukup untuk kami bertiga (kata hatinya) --- ia terkenang baru saja kira-kira setahun berselang --- ia juga mendiami rumah sekelas ini Type 21/60 di Cikarang --- rumah suaminya, yang disesaki dengan penambahan ruangan ke atas, untuk pekerja usaha suaminya.
Ketika ia masuk ke rumah itu --- tidak ada rasa syukur. Sumpek dan suasananya memuakkan selalu. Mengapa ? Karena kemiskinan --- membeli rumah kreditan tetapi di luar batas kemampuan.
Rumah itu bawaannya murung, sedih duka dan nestapa --- hidup sehari-hari dalam kekurangan, harus pula bersakit-sakit mengumpulkan lima sepuluh ribu tiap hari --- untuk cicilan.
Anaknya Sandra lahir dalam masa prihatin.Dalam kesendirian Anna Rohana selalu menangis. Anaknya kekurangan susu --- sakit tidak mempunyai uang (ambil tabungan cicilan).Ibunya terpisah hidup sendiri di kota kecil, Batang Kuis. Ia selalu menangis merindukan ibunya --- ia selalu kuatir ibunya tidak cukup makan.
Tahun kedua perkawinannya tidak membawa kemajuan --- makin parah, usaha suaminya memasarkan es krim tidak bisa mengatasi kebutuhan dasar mereka.Anak-anak penjaja itu silih berganti keluar masuk menjadi pemikiran yang membebani setiap saat --- begitu pula, mereka ditampung di rumah Liliput itu pula.
Rumah tangga yang tidak seperti dibayangkannya dulu --- walau pun hidup susah dan miskin, dalam bayangan, perkawinan itu indah penuh cinta dan tidak ada persoalan menghimpit.
Akhirnya ia kabur, alasan pulang ingin melihat ibu sakit --- memang perkawinan mereka melalui perjodohan sanak keluarga. Ia tidak mau lagi balik ke Jawa.
Di sini ia bisa bekerja, anak bisa di asuh Sang Nenek.
Makanya ia bersujud syukur begitu pertama memasuki rumah pilihannya itu. Rumah kecil dan kosong.
Kini pun rumah itu, hanya diperlengkapi minimalis --- mengenang kata-kata minimalis, Anna tersenyum.
Anak dan ibunya datang --- mereka duduk bertiga. Anak itu kemudian melonjak-lonjak. Syukur, ibu dan anaknya pun niscaya bersyukur.
Memang pengeluaran untuk transport agak melonjak --- tetapi ia bertekad berhemat dan bekerja keras untuk memenuhi ongkos hidup mereka dan cicilan rumah.
Dari pengalaman perkawinannya yang telah diakhiri dengan perceraian --- ia tidak pernah memikirkan perkawinan lagi --- kalau kualitas lelaki semacam Erwin.Lelaki tidak bermutu, untuk apa lagi perkawinan (kata hatinya).
Dulu sebelum ia menikah dan dibawa ke Jawa --- ia memang bekerja di salon, ia bisa mengerjakan apapun yang harus dikerjakan di situ. Kecuali melacur.
Si Monica mengatakan :” Lelaki iseng biarin aja, asal mau memberikan tip yang memuaskan --- aku nikmati saja sepuasnya pula ………………. Apakah itu pelecehan seksual sih ……………namanya juga salon, pekerja dan langganannya berlawanan jenis”.
Ketika ia masih gadis pun ia tidak mau diajak kencan oleh langganan --- walaupun ia sedang jomblo. Tetapi ia menyadari setelah menjadi janda --- butuh seks, butuh uang sebagai single-parent.
Anaknya tertidur, ibunya memasak.Anna ingat ia bergelar single parent, setahun atau dua tahun lagi anaknya pasti masuk TK --- berapa biayanya, kemudian SD berapa pula.
Ia harus mempunyai tabungan --- harus ada bagian dari penghasilannya sebulan untuk tabungan pendidikan si Sandra.
Si Memey mengajak : “An, bulan depan aku mencoba menerima tawaran jadi tukang pijit --- gaji dan tip-nya besar lo --- jangan bicara di-booking”.
Janganlah aku mendekati pekerjaan pelacuran (bisik hatinya) --- terdengar bunyi pompa air, alangkah indahnya mendengar bunyi pompa milik sendiri, air bening --- Air Cisoka termashur bening.
Anna Rohana bersyukur, ia ingin sholat Ashar --- berdoa agar Allah melapangkan dan memudahkan rejekinya. Dibelainya kepala Sandra yang berbantalkan pahanya. Air matanya menetes ketika meletakkan bocah itu di kasur Palembang yang sudah kempot itu.
[MWA] (Cermin Haiku -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H