Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seruling Ajaib, Madhav Ghimire, Nepal [Cerita Anak-Remaja -- 03]

17 Oktober 2010   05:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:22 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_292409" align="aligncenter" width="300" caption="Mempertautkan kasih sayang seperti merajut jala dalam kehidupan."][/caption] Cerita dari penulis Nepal ini, mengajarkan kasih sayang dengan mengharukan --- Sukumar adalah anak yatim-piatu, memendam kerinduan terhadap ibundanya, dan mewarisi seruling dan ketrampilan melagukannya dari Sang almarhum ayah............... "..........Umurnya kira-kira sebelas tahun. Nun di kejauhan terhampar tamasya Himalaya yang agung, puncak-puncaknya yang tertinggi masih bermandikan warna merah dan emas yang  hangat............." . Itu gambaran alam yang dinukilkan pengarangnya, mengiringi pengembaraan Sukumar. ".........Di kejauhan terdengar seorang anak perempuan memanggil ibunya. Tiba-tiba Sukumar terkenang kepada ibunya sendiri yang telah meninggal.. Di keluarkannya serulingnya ..........." . Memang dulu, sewaktunya ayahnya masih hidup setiap kali ia merindukan almarhum ibunya, ayahnya memainkan seruling untuk menghibur dan menghubungkannya dengan kenangan sosok ibunda. ".........Ibumu kini tinggal di rumah para dewa. Meskipun tempatnya jauh di atas langit, tapi ia menyertai kita di dalam hati." "Sukumar kemudian bertanya, ‘Apakah ayah dapat bertemu Ibu di dalam hati Ayah ?'. Sambil memandang anaknya, ayah Sukumar menjawab, ‘Betul, anakku. Bilamana aku memainkan seruling.....". Ayah membuatkan Sukumar seruling, dan mengajarkan melagukannya. Sukumar memang membutuhkan tempat menginap dalam pengembaraannya itu...........setelah terkenang ibundanya, ia memainkan serulingnya..........se-akan-akan ia memanggil ibunya seperti anak perempuan kecil itu .................... " Mari bersamaku, nak," kata perempuan itu. "....Nah, itu adik perempuanmu memanggilku. Ketika aku mendengar bunyi serulingmu, hatiku merasa bahwa engkau pun memanggilku melalui lagumu. Mari, kita pulang.........................." . Sukumar ditinggalkan almarhum ibundanya ketika ia berumur lima tahun.  Ia selalu merasa ibundanya hidup di dalam hatinya. Setelah ayah-ibunya meninggal. Sukumar dipelihara oleh pamannya --- Ia selalu memainkan serulingnya bukan untuk menarik perhatian orang, tetapi untuk menunjukkan kasih sayangnya, agar supaya  ia mendapatkan kasih sayang pula dari mereka. Begitulah ia akhirnya memutuskan mengembara tanpa tujuan --- ia memainkan serulingnya di mana saja, dan selalu mengundang kegembiraan orang yang mendengarkannya, bahkan terkadang orang menari-nari dalam kegembiraan...............Tetapi setelah itu, ia kembali dalam kesepian --- tidak ada orang yang bisa memberikan kasih sayang seperti ibundanya. Ibu yang mengajaknya pulang adalah isteri seorang Lurah --- Ibu itu mengenalkan anak gadis ciliknya, Sayatri.  Permainan seruling Sukumar benar-benar memikat keluarga itu. Kasih sayang mereka sangat menyentuh hati sanubari Sukumar. ".......Pada suatu hari kedua anak itu berjalan-jalan di dekat kali. Sukumar duduk di atas batu besar , memandang air. Karena tak dapat menahan keinginan untuk mengetahuinya, Sayatri bertanya, ‘ apakah yang kaupikirkan. Kak ?'.......... 'Engkau mempunyai ibu kandung, dan ia menyayangimu sebagai anak perempannya. Aku tak punya ibu kandung lagi. Satu-satu jalan untuk menemuinya hanyalah dengan meniup seruling....." Sukumar merasa pak Lurah tidak terlalu mengasihinya --- betapapun ia mencoba menempatkan diri dan kemampuannya. Akhirnya Sukumar meninggalkan dengan sedih rumah itu. Melanjutkan pengembaraannya, di suatu subuh --- ia sedih benar meninggalkan ibu dan Sayatri............. Suatu saat tibalah ia di biara untuk seorang Dewi --- hatinya sangat sedih, terkenang kebaikan ibu dan Sayatri.  Ia ingin menciptakan lagu buat mereka. Ia merasa kehilangan keluarga untuk kedua kalinya................ "..............Ketika ia terbangun pada pagi harinya, sinar matahari telah menembus celah-celah jendela kuil. Wajahnya mengadah, menatap patung dewi. Kedua belah tangan dewi itu terbuka ramah seakan-akan menyambutnya. Kepala dewi itu dilingkari cahaya suci, dan kalung untaian kembang melingkari leher. Sukumar merasakan kehadiran Sayatri beserta ibunya pada patung dewi itu..................". Arca Sang dewi mendorongnya untuk pulang kembali, karena mengenang ibu dan Sayatri yang baik hati................. "...Setahun yang lalu ia tiba di desa Sayatri. Ketika itu Sayatri sedang berdiri di atas gundukan tanah yang ditumbuhi semak tulsi. Saat itu ada lampu yang menyala di atas gundukan tanah itu. Dan malam ini, ketika Sukumar kembali ke rumah itu, lampu itu pun menyala lagi di atas gundukan tanah  itu. Tapi kali ini di halaman terdapat banyak penduduk desa yang memenuhi tempat itu dengan wajah sedih............." ‘..........Diam-diam Sukumar masuk ke dalam rumah. Di dalam, Sayatri terbaring di atas pangkuan ibunya. Ketika melihat Sukumar datang ibunya berseru, ‘ Anakku, lihat adikmu yang tersayang ini ! Kata orang ia akan sembuh, tapi oh, entahlah.'.............". ".......Sukumar lambat-lambat menghampiri dengan air mata meleleh pada pipi. Dengan lembut tangannya mengelus pipi adiknya......." "........Pada malam engkau pergi, Sayatri tiba-tiba menderita demam. Sejak kemarin ia dalam keadaan begini, pingsan. Kukira rohnya pergi mencarimu. Kini engkau telah kembali. Anakku, sembuhkanlah dia..................." "....Sukumar duduk tak bergerak, tangannya mengusap pipi Sayatri. Kemudian dikeluarkanlah serulingnya, lalu meniupnya dengan lembut dan syahdu. Ketika bunyi seruling bergema di ruangan itu, kelopak mata anak permepuan itu  mulai berkedip. Ayahnya yang datang  membawa secangkir air segera mendekatkannya pada bibir anaknya.. Lambat -lambat  Sayatri membuka mata. Dan bila dilihatnya Sukumar, ia berbisik, ‘ Kakakku, o, kakakku !  Engkau telah kembali. ". "..Sambil meletakkan seruling, Sukumar menjawab, ‘He-eh, adikku sayang . akulah, kakakmu. ". "........Tiba-tiba ayah Sayatri memeluk Sukumar sambil berlinang air mata. ‘ engkau anakku, sungguh engkau anakku. Tak akan kuperbolehkan engkau pergi lagi. " Sungguh mengharukan................. "...........Salah seorang penduduk desa yang  hadir ketika itu menyebut peristiwa itu bagaikan cerita Gathu. Sebuah tarian suci Nepal................". Konon, bila Musim  Semi tiba, pohon-pohon rhodendron berbunga lebat. Pada musim itu wanita-wanita muda desa itu berkumpul  dan menarikan tarian yang disebut Ghatu  ( mungkin lebih lanjut bisa kita cari informasi tentang Cerita dan tari Gathu..........) Disadur dan dikutip dari , Cerita-cerita Asia Masa kini, Bunga Rampai untuk Pembaca Remaja, Terjemahan Sugiarta Sriwibawa, Pustaka Jaya - 1983, The Asian Cultural Centre for Unesco, Tokyo..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun