Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Serial Planet Kemiskinan (03) Kuku-kuku Copot

18 Januari 2010   01:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:24 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tempat kerja mereka barak berbentuk L, tidak berdinding dan atapnya dari ilalang. Mereka bisa berteduh dari sengatan matahari , suasana juga segar karena di sekeliling mereka menghijau. Di seberang tempat kerja mereka pabrik pencacah botol plastik. Bunyi mesin menderu---walau pun suasana segar karena banyak pohon---sebenarnya di sana baunya minta ampun, dan suara pun bising ! Air cucian limbah jugamengalir ke got, kemudian ke sungai kecil. Tempat orang mencuci pakaian, mandi dan mencuci peralatan makan minum penduduk. Lingkungan alam tidak tertata secara terpadu.

 

       Ada enam wanita bekerja di situ. Santi, bik Uma, Tanti, Mirah, Sami dan Mimin. Terkadang juga ada seorang lelaki tua Pak Momon bekerja di situ. Membersihkan botol plastik, membuka label dan tutupnya, mengemasnya dalam karung dan menimbangnya. Upahnya Rp. 300 rupiah sekilo. Sehari mereka mati-matian paling tidak harus 20 kilo untuk mendapatkan enam ribu rupiah ( bandingkan dengan uang rampokan kasus Bank Century 6,7 triliun rupiah---masing-masing dapat triliunan atau miliaran rupiah---Aduh Ngenes rakyat Indonesia !).

 

       Tanti memikul satu karung botol untuk dibersihkan.Ditumpahkan di lantai tanah di areal kerjanya. Di sekitar tempat kerjanya ada tumpukan tutup botol, ada karung label bekas botol , ada macam-macam.Tercium bau tajam dan menyesakkan, tetapi hidung dan paru-paru mereka di sana telah terbiasa menyesuaikan.Teman-teman kerjanya pun telah mulai sibuk bekerja seperti hari-hari sebelumnya.

 

       Suami Tanti, Yono, kuli mengunjal batu gunung ke atas truk kemudian mengawal sampai tempat tujuan.Dan melemparkan ke tumpukannya di proyek atau pangkalan. AnakTanti dan Yono baru satu, berumur 18 bulan. Sepanjang hari diasuh nenek-nya.

Tanti mulai bekerja, memilih dan memilah botol---botol plastik bening yang diutamakan. Kemudian merobek plastik label dan tutupnya dipisahkan. Terkadang botol masih berisi air sisa, air bekas entah apa---harus ditumpahkan. Bahkan terkadang ada juga bekas air kencing, bau pesing menyengat. Lha itu botol apa ? dalam hati Tanti. Botol kaca dengan isinya kekuning emasan.Botol itu betul-betul cantik, tutupnya pun dari kaca, isinya cairan warna kuning emas.Dicium tidak ada bau apa-apa. Bukan air kencing ini, pikir Tanti lagi. Tutupnya diputar tidak bisa.

Botol di kocok, cairan itutidak berbusa---warnanya indah sekali, botolnya juga indah sekali.Wah ini minyak wangi, pikir Tanti lagi. Ingin disembunyikan di kantongnya. O lebih baik di tas minumannya.

 

       Tanti bekerja lagi.Lebih cepat, agar jam satu atau dua dia pulang, hasil kerjanya duapuluh kilogram, duitnya akan di terima enam ribu rupiah. Alhamdulillah, buat jajan dia dan anaknya, si Begi.Hasil kerja si Yono untuk makan mereka, tetapi tiap sore ia juga membelikan gorengan untuk jaburan si Yono sepulang kerja, darihasil enam ribu rupiah itu juga. Alhamdulillah.Ia tergoda lagi dengan botol cantik tadi.

Botol dicium-cium. Tidak berbau. Tutup botol cobadiputar dan ditarik. Keras banget !Botol dipangku, tangan kiri menggenggam silinder botol, tangan kanan dengan buntalan baju kaosnyaberusaha memutar dan menarik tutup. Plop---croot !

“Aduh, tolong---tolong !Tolong sakit !Tanti berguling-guling, meraung ,kesakitan.

“Tolong---tolong panas, air , air tolong ! Tanti menjerit-jerit kesakitan.Tanti pingsan.

Begitu botol terbuka, cairan kimia itu membakar kedua tangan dan baju kaosnya. Kedua tangannya terbakar cairan kimia. Ia pingsan tergeletak.Rupanya cairan itu membakar pula celana kaosnya---tembus ke celana dalamnya, terbakar pula---pojok paha, selangkangan pahanyahangus terbakar cairan kimia itu. Ia pingsanmengerang lirih. Air tidak meredakan luka bakarnya. Tanti digotong ke Puskesmas.

 

       Di Puskesmas celananya dipelorotkan, kaki tangan dibersihkan, kaos , behadicopot.Leher , ketiak semua dibersihkan. Luka bakarnya diolesi semacam salep apa vaselin. Enggak tahu itu.Tanti tetap mengerang-ngerang. Sebentar pingsan sebentar siuman. Akhirnya dibawa ke Puskesmas Utama yang memiliki ruang perawatan. Ia jadi pasien luka bakar yang serius di pangkal pahanya.

 

Ibunya, Bi Munah, datang meraung-raung ke Puskesmas Utama---ia dipapah ke arah ruang perawatan. “ Nok, kenapa kamu sial banget sih “Ibunya menangis dan meracau berulang-ulang, “Nok, kenapa sial banget nasibmu ?Bi Munah menciumi anaknya---ia tetap meracau penuh penyesalan mengapa mereka begitu sial.

“Nok, kenapa kamu nak ? Bi Munah terus meracau dan memelukisatu kaki Tanti yang dikangkangkanuntuk pengobatan lukanya.

Tanti tetap mengerang kesakitan---Gorden tertutup, dada dan bagian tubuh sampai perutnya diselimuti.Kedua tangannya , jari-jarinya terbakar memerah, berkilat.Sekitar pahanya merah berkilat dilumuri obat. Ia pasrah dalam erangan kesakitan.

Dokter datang memeriksa nadi Tanti.Melihat luka di tangan dan mengamati sekitar paha Tanti.

“Ibu dokter bagaimana anak saya ?”

“Ibu sabar saja. Anak ibu segera sembuh--- memang akan ada kerusakan jaringan, tetapi bisa diperbaiki “ kata dokter.

“Bu---anunya rusak bu, bagaimana bu ?”Dokter tersenyum, menggelengkan kepala.

“Bekas luka di tangan nanti kita lihat infeksi sampai bagaimana, tadi sudah disuntiksupaya aman---namanya juga bekerja di tempat kotor begitu, kita akan cegah agar tidak banyak kerusakan.Ininya tidak apa-apa ya---hanya paha dan sekitarnya menjadi hitam hangus---mudah-mudahan bisa menjadi terang kembali, karena Tanti masih muda. “ dokter Ratna menjelaskan.

“Labia mayora memang terbakar sedikit---nanti kita lihat rusaknya sampai di mana---labia minora dan liang vagina tidak apa-apa.

Tidak apa-apa---Juga benda yang tersembunyi, klitoris tidak kena terbakar, ia akan segera sehat “

Bu Tidak rusak, bu ? tanya bi Munah ia tidak mengerti labia segala. ‘tidak apa-apa, apanya’ . Bi Munah ingin kejelasan

Dokter tersenyum, perawat pun tersenyum. Tanti masih meringis, ia tidak mementingkan percakapan mereka.

“Tidak ada yang rusak, bibir dalam tidak apa-apa sehat, itunya--klitoris juga bagus tidak apa-apa---“dokter tersenyum melihat roman wajah ibu si Tanti.

“Masih bisa dipakai bu ?’

“Kalau sudah sehat---bisa dipakai seperti biasa, enggak apa-apa. Tadi saya katakan labia mayora-nya agak terbakar, kalau cacat mengganggu akan kita perbaiki setelah sembuh. Ibu tidak usah kuatir dia akan sehat seperti sedia kala.”Dokter Ratna tersenyum.

 

       Empat hari Tanti dirawat, ia dinyatakan berobat jalan, boleh pulang. Perawat memberi petunjuk perawatan kepada suaminya, si Yono.

Kuku tangan kanan, jempol, telunjuk , jari tengah dan jari manis---copot, dioperasi karena hampir lepas. Dan kuku jari kelingking kanan rusak separoh. Tangan kirikehilangan kuku jempol dan telunjuk saja. Kedua tangan itu rada belang hitam merah dan pink. Tanti pulang naik beca yang dikayuh Yono. Tanti bersarung---mekangkang !

 

       Kalau sore Yono mengurus pengobatan Tanti---mengoles sisa lukanya. Seperti sore ini. Yono mengipasi Tanti.Tanti menyandardi kursi malas bodol pinjaman dari mang Ramli, kakinya kiri kanan di sisi kursi , ia mekangkang agar lukanya lebih nyaman. Iamemandangi jari tangannya yang kukunya copot---ia sedih sekali. Waktu kecelakaan cincin “Elokiti” di jari manisnya lumer, hanya itu hiasan di jarinya. Cincin plastik elokiti, gambar kepala kucing. Sekali-kali Yono menyibakkan tutup paha Tanti, mengipasinya biar Tanti nyaman.

 

       Namanya juga komunitas miskin, mereka akrab ---merasa sepenanggungan. Biasanya ada saja ibu-ibu tetangga pada datang membawakanubi rebus atau bolet rebus---atau beberapa buah jeruk atau seikat rambutan yang lagi musim. Nah- ini yang gawat, ibu-ibu itu juga suka usil ingin menyibakkan tutup paha Tanti yang lagi mekangkang. Katanya ingin melihat kemajuan kesembuhan. Kalau sudah begitu mereka tersenyum dan tertawa terbahak-bahak menggoda Tanti dan Yono. Itulah kompensasi kehidupan yang terpinggirkan---mereka pandai mencari hidburan di dalam diri mereka dan komunitasnya. Tanti sedikit terhibur bila teman-temannya itu bisa tertawa bersama menggoda nasibnya.

 

       Tanti mengadah melihat jari dan kuku-kukunya---ia tidak bisa lagi mempunyai hiasan kuku yang indah. Mereka biasaurunan membeli kuteks, bersama sesama teman-temannya, menghias kuku dengan kuteks murahan. Tetapi itu sudah sangat menghibur, mereka terhibur memandang sepuluh jarinya ---kuku-kukunya berwarna merah atau pink. Air mata Tanti menetes ke tepi pipinya. Kuku-kuku-nya copot---apa lagi yang dapat menghibur hatinya. Hati yang penuh kebanggaan, kini lenyap sudah.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun