Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serial Parodi Pencerahan (05) Abu Nawas Diskusi di Dumai - Economics of Corruption

22 Desember 2009   01:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:50 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiba di Dumai, Abu Nawas heran orang Dumai dan orang Malaka seperti sama saja. Abu Nawas tidak tahu, bahwa yang membedakan kedua kota itu adalah sejarah, sejak lama peranan Malaka sebagai kota lama pusat perdagangan dan Kerajaan Melayu---Dumai adalah kota di Melayu Riau, yang masih muda--- mulai menggeliatkan ekonomi Indonesia setelah peranan pertumbuhan operasi migas  oleh Caltex---kemudian Pertamina, perusahaan minyak nasional Indonesia itupun membangun Pabrik Pengolahannya  di sana, jadilah perkembangan Dumai bertambah pesat. Orangnya ya mirip sekali seperti orang-orang Melayu, pada umumnya.

Abu Nawas berkostum Gamis dengan serban, sedang Cik Yung berbaju teluk belanga dengan kopiah nasional---lagak lagu mereka tidak mengundang perhatian, karena orang berpakaian seperti itu biasa terlihat di Indonesia.  Dumai memang panas, mereka masuk ke Restoran Minang---menempati  ruang ber-AC.  "Ncik Abu, apakah kita tetap pada rencana semula ke Medan dulu ? " tanya Cik Yung kepada Abu Nawas yang sedang menghisap es teh yang segar.            "Baiknya Cik, begitulah, seperti rencana semula---nanti dari Medan kita ke Barus. Setelah itu kita  ke Padang atau Palembang, barulah kita ke Jawa"  jawab Abu Nawas

"Okay  "  jawab Cik Yung , sambil ia melirik sekilas head line koran Indonesia.

"Apa berita hari ini Cik " tanya Abu Nawas sambil melirik pelayan sedang menata makanan masakan Padang--- aromanya mengundang selera.  Ia secara simultan mengelap piring dan sedoknya.

"Biasalah---di Indonesia tiap hari berita "rasuah", korupsi !".

"Corruption "   sahut Abu Nawas tanpa memindahkan pandangannya, ia sedang menyiram kuah gulai ayam, diangkutnya pula kepingan dendeng tipis liat berkilat, tak lupa cabe merahnya yang ranum menyala. Mulai menyuap.

Cik Yung menyeruput kuah sup buntut---aromanya memasuki ruang hidungnya, cita rasa cengkeh plus kayu manis, dan gurihnya daging bercampur baur di tenggorokan-nya.  Suatu kenikmatan yang pas menghanyutkan, cita rasa nasinya beras solok pula.  Ya berasnya, Bareh Solok !

"Negeri makmur dengan korupsi---ya tetap makmur !"  tiba-tiba begitu suara Abu Nawas terdengar. Matanya tidak dialihkan dari tangannya yang menjangkau udang galah. Aduhai nikmatnya.  Cik Yung diam saja---ia menikmati gulai asam padeh ikan patin.

Kedua orang bersahabat itu tersandar.    Kenyang !          Akan ditutup dengan jus tomat, suplemen alamiah anti kanker prostat.

"Yang makmur siapa Ncik ?  sergah Cik Yung   "Ya, yang makmur mereka yang korupsi saja, para pejabat !"

"Enggak juga  Cik.  Ada teorinya itu, Namanya Economics of Corruption.  Dulu banyak negara pisang di Amerika Latin menerapkan teori itu "

"Mereka gagal semuanya toh---lihat sekarang beberapa pemimpin cerdas di sana melakukan koreksi "  kata Cik Yung.

Kedua manusia yang makmur ini, kekenyangan sambil menyedot jus-nya pula.  Hening sebentar.

"Bahkan pemimpin mereka yang progresif--- kini,  menerapkan  Sosialisme--- secara progresif menentang kapitalisme yang telah menghisap, memanipulasi kerjasama di bawah hegemoni "Monroe Doctrine" selama ini.  Mereka mengkoreksi arah penerapan ekonomi untuk mencapai kemakmuran rakyat mereka.  Korupsi memang bisa menjadi pelumas gerak ekonomi---tetapi, jangankan kemakmuran bagi rakyat, tetesan perekonomiannya pun  tidak ada ----karena korupsi bukan masalah distribusi pendapatan.  Tetapi tindakan amoral tanpa etika, tanpa nurani. Sama dengan kolonialisme.  Mengangkuti hasil kemakmuran dari penggalian ekonomi sumber-sumber daya--- tetapi tidak kembali merata kepada rakyat.  Koruptor merampok sumber daya dan anggaran pendapatan---koruptor menghisap rakyat............Mereka mendapat uang banyak tanpa menghasilkan secara riil "barang dan Jasa".  Mereka perampok !"  amuk Cik Yung meradang.  "Sahabat korupsi adalah Kolusi ----melanggar hukum, produknya suap-menyuap. Sahabat berikut dari pemerintahan yang korup, adalah Nepotisme---mereka pendurhaka Demokrasi !"

"Jadi Indonesia tidak makmur ?  Apakah Indonesia tidak mencapai pertumbuhan dan pengembangan ekonomi ? " tanya  Abu Nawas sambil memalingkan wajahnya---menatap Cik Yung

"Indoneisa itu negara yang mempunyai konstitusi---tujuan bernegara jelas ada di situ.  Bagaimana melaksanakan perekonomian untuk ‘sebanyak-banyak kemakmuran rakyat'. Semua ada disitu !  Cik Yung memang ganas, kalau sudah menyangkut konstitusi.  Soalnya ia pejuang 45 yang mempertaruhkan jiwa raga untuk mewujudkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.

"Tembak itu koruptor !"  jeritnya, seperti ia dulu memekik-kan ‘Merdeka' menyongsong tentara Belanda dengan Lee Enfield-nya.  Rupanya para tamu lain pun tertarik dengan kalimatnya yang penuh semangat itu.

"Hajaaar !"  teriak seorang pemuda dari mejanya.

"Kemakmuran kita tersandera karena dikorupsi, dan kapan kita  menjalankan perekonomian yang  dilandaskan pada demokrasi ekonomi ?    Ini macam mana pula,  ha- bagaimana pula cara kita menyelidiki dan membuktikan, bahwa pemerintah tidak melaksanakan Undang-undang Dasar 1945---tidak melaksanakan demokrasi ekonomi.  Bagaimana ?  Cik Yung berdiri berhadapan dengan pemuda-pemuda  di beberapa meja dekat situ.  Dengan body-language seperti seorang dosen yang merangsang mental mahasiwanya.

"Begini pak, begini---kan, pelaksanaannya yang harus diatur dalam undang-undang.  Kenapa undang-undangnya atau rancangan undang-undangnya tak pernah diketahui rakyat.  Mana partai-partai itu, lembaga-lembaga , DPR, MPR dan DPD---coba uji dulu dalam masa parlemen yang ini "  Anak muda itu berdiri berhadapan dengan Cik Yung.

"Adik betul, kita harus mengevaluasi apakah ada undang-undang  yang dibuat DPR atau rancangan dari pemerintah tentang pelaksana pasal 33. You mahasiswa, ha ?  Periksa itu !    Jangan neo lib.........neo liberal saja diributkan,  kalau ada bagaimana pelaksanaannya di lapangan.  Artinya peraturan pelaksanaan dan ketentuannya harus menjurus pada tujuan Mukadimah dan Konstitusi. "  tandas Cik Yung se-olah-olah ia tahu langkah-langkah menerapkan pasal 33 itu.

"Begini pak---Pasal 33 undang-Undang Dasar 1945--- Pasal 33 ayat satu mengatakan : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.  Pasal dua : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal tiga : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal empat itu tadi : ‘demokrasi ekonomi' ,  kan jelas sekali itu. Apa kita-kita lupa ?"  tantang pemuda berewok dengan topi baret ala Afgahanistan.

"Adik betul, konstitusi yang telah diamandemen itu telah terang benderang sekali. Tinggal bagaimana kita melaksanakannya. Bagaimana kontrol DPR ---dan mengerjakan undang-undang yang diperlukan,  dan lembaga lain juga bisa berbicara.  Jangan biarkan ekskutif  berjalan sepi sendiri---Bagaimana universitas, dan ‘kan banyak organisasi cendikiawan, ha..............kaji ulang idenya Profesor Mubyarto.  Baca bukunya Ekonomi Pancasila, gagasan dan kemungkinan. ----------Kalian ini mahasiwa ? tanya Cik Yung percaya diri.

Anak-anak muda hanya mesem-mesem---dan tertawa kecil.

"Kalian harus mempunyai kapasitas berpikir  melebihi Sukarno-Hatta.  Itu  bapak-bapak bangsa yang dididik kolonial itu. Contoh-lah mereka dan orang-orang yang seangkatan dengannya--- yang beriliian. Mereka bisa merumuskan visi Indonesia Merdeka, kita yang melanjutkan cita-cita mereka yang ........ah, memuakkan"

"Bapak-bapak ini orang mana sebenarnya ?'

"Aku ---orang Medan.  Orang Melayu Deli !      Ncik Abu ini orang dari Yaman---petualang dari Jazirah Arab !"

"Maksud kami ?   Ncik Abu Nawas ingin menjelajahi Nusantara, mencari Negeri Game Wah  Rempah Lho Kok Jin Avi !"

" Ha apa itu---negeri apa itu ?"  kata salah seorang pemuda di situ.

" Beliau mendapat wasiat dari almarhum raja ,  amanat almarhum kira-kira bunyinya : ‘Abu Nawas, kecerdikanmu-kecerdasanmu--- tidaklah seberapa dibanding rata-rata penduduk negeri di lintasan katulistiwa, mereka itu, sabar, pandai mencari pemecahan masalah mereka sendiri, sehingga menteri-menteri di sana bisa asyik, bahkan punggawa dan abdi negara pun bisa bekerja asyik...............' , aku ini pun petualang, jadi aku pun bergabunglah "

"Apa tadi nama negerinya, Wak ? "  kata anak gadis salah satu di antara mereka.

"Game Wah Rempah Lho Kok Jin Avi"

" Di Cina barang kali tu Wak---pakai sam kok segala.  Di Cina tu Wak........... Lafaznya, lafaz Cina itu !"  kata gadis itu tertawa-tawa. Semua pun tertawa.

"Dengar dulu----negeri itu di lintasan katulistiwa "

Cewek itu cerdas juga.  "Wak, kalau begitu di Pasifik-----di selatan-nya Hawaii !".  Wah- anak-anak muda itu pun tertawa gembira.  Perut kenyang dalam negeri yang makmur.  Ceria !      "Assalamualaikum ! " seru Cik Yung.     ‘Waalaikumussalam pak ".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun