Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Serial Mini Cerpen (08) Ombak

21 Desember 2009   01:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:51 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Manusia senang menonton alun berayun-ayun di tepi pantai, saat laut surut atau pun saat menjelang pasang. Alun terlipat-lipat, bergulung-gulung di pasir pantai. Menyapu dan mengetuk-ngetuk dinding perahu dan kapal. Kita bisa hening meresapi sapuan alun di kaki kita di pasir pantai.  Wow lihat itu ombak besar mengejar pantai, menggelombang, bertenaga menghempaskan diri---ke karang, ke dinding pantai yang terjal. Atau tiba-tiba ia telah menjulur ke tengah pantai yang landai melemparkan apa saja...........dan menarik apa pun dalam pelukannya.  Memang ombak mengerikan. Walau tenaga ombak adalah inspirasi bagi manusia, menggelorakan semangatnya. Tapi, ombak adalah tenaga yang berbahaya, ia menelan dan menenggelamkan perahu dan kapal---kapan ada kesempatan untuk itu.

Waktu anak-anak masih kecil-kecil, keluarga Ridwan pernah berlibur ke Merak, ia mendapatkan bonus menempati Hotel di tepi pantai, yang ombaknya menggelora sepanjang hari----tidak ada putusnya.   Mereka berenang dan menikmati terjangan ombak itu, memuaskan diri.

Di saat lain mereka menikmati pemandangan yang sangat mengesankan,  ombak bergelombang dari tengah laut, bergulung-gulung dengan buih yang putih---kemudian menggedor dinding pantai.  Seperti meningkah detak jantung di dada, itu di pantai dekat Pura Rambut Siwi di Bali. Ombak itu mengesankan melebihi ombak mana pun di Bali. Tetapi tentu anak-anak yang sudah remaja itu lebih senang  berlari-lari di pasir pantai Sanur di pagi hari. Ombak masih tenang.

Di suatu saat diseling waktu dinas dekat dengan pantai Pangandaran---Ridwan dengan teman-teman, berenang bermain-main di teluk dekat di lingkungan pantai Pangandaran. Masih pagi tidak banyak wisatawan di situ.  Jauh dari  kawasan yang ada larangan berenang. Ridwan mengambang dengan ban berayun-ayun di tepi pantai. Hanya sekonyong-konyong ia merasakan kakinya tidak bisa menjejak dasar laut lagi. Tanpa dinyana  pantai terlihat makin jauh. Ia dibawa arus di bawah ombak dan alun yang jinak.  Orang makin mengecil---pohon dan pantai makin menjauh. Ridwan menjerit minta tolong teman-teman-nya---ia panik makin menjauh. Tolooong !  Tolooong.

Dia berdoa agar ia diselamatkan dari telanan ombak laut Pantai Selatan.  Ia ingat sekilas legenda Nyi Loro Kidul yang terkadang menculik manusia menjadi kawulanya. Terbayang wajah istri dan anak-anaknya.  Kakinya tergantung jauh dari dasar laut. Ia rasakan itu. Panik!

Ia terayun-ayun. Tidak ada gelombang  besar yang menakutkan. Mengkuatirkan karena laut makin dalam, dan pantai  menjauh, menjauh, dan bertambah jauh. Di pantai pun tampaknya ada kesibukan.

Doanya  sepertinya  dikabukan.  Titah Kanjeng Ratu Loro Kidul dilaksanakan ponggawa-ponggawanya---pelan berayun-ayun tetapi pasti----terasa ada tenaga yang menggendongnya, mendorongnya dan, tiba-tiba saja ia merasa diangkat seperti ke atas punggung gajah---tinggi sekali, pantai seperti di bawah sana.  Luar biasa sensasinya.  Kaki tergantung seperti naik gantole.  Mendebarkan dalam nikmat sensasionil. Tiba-tiba saja ia sudah diletakkan ombak dengan mulus dan lembut ke atas pasir pantai.  Ya Allah---alhamdulillah aku selamat . Pikir Ridwan---terhindar dari kecelakaan yang dapat merenggut nyawa.  Musibah ---dengan nyawa dalam keadaan selamat dan hidup--- jarak dan saatnya sangat tipis.   Hidup kembali, ia bersyukur.

Laut dan ombak dua hal yang tetap menyenangkan bagi Ridwan.  Ia terbang di atas laut Cina Selatan di malam gelap menuju Tokyo, ia tahu laut di bawah sana, ada ombak---dalam gelap, ia kuatir tetapi tidak takut.  Lanjut lagi dari Tokyo ke Los Angeles di atas Samudera Pasifik--- ia melihat laut jauh di bawah sana, ada ombak seperti sisik ikan, berkedut-kedut----ia kuatir tetapi tidak takut.

Laut, dengan alun dan ombaknya dikenal Ridwan sejak kecil.  Ia berenang di Pantai Cermin, menabrakan tubuhnya dengan ombak yang tidak ganas. Ia memancing ikan, dan mengaduk-aduk  lumpur mencari pumpun untuk umpan memancing.  Dia dan sahabatnya Tinaryo---membongkar pasir pantai mencari kepah dan kerang.  Membuat api unggun, langsung membakar ikan, kepah dan kerang.  Jauh di sana ombak tidak ganas mengejar-ngejar pantai.  Kenangan masa kecil di pantai dekat muara di Percut, di laut Selat Malaka.  Tenang tidak mengancam.

Laut baginya bukanlah tragedi tetapi drama yang mendebarkan----di televisi dan radio sepanjang hari memperingatkan akan adanya topan dari arah selatan---tiap saat diberitakan sampai dimana topan itu berada , berapa kecepatan-nya. Kalau di TV persepsi kita bisa menafsirkan, karena ada gambar dan ilutrasi grafis.  Ridwan lupa nama topan itu----mungkin bukan kelas yang  ganas, topan itu bergerak  dari selatan menuju ke utara.  Berhari-hari begitu kabarnya.

Ridwan dan kawan-kawan;  ada orang Amerika, Argentina, Italia, Nigeria,  juga ada dua orang Jepang----rombongan itu pria dan wanita, macam-macam profesi.  Kapal pesiar itu diijinkan berangkat menyusuri pantai.  Di Sore hari yang cerah dan sekeliling cakrawala terang benderang, awan wajar saja indahnya.  Angin juga biasa-biasa saja. Tidak ada yang harus dicemaskan.   Makanan dan minuman  tersedia melimpah.  Semua enak-enak----semua gembira. Happy !

Sejak berangkat dari pelabuhan Portsmouth---laut tenang tidak ada ombak menerjang menggetarkan lambung kapal, barangkali hanya alun yang mengelus-elus dinding kapal.  Semua gembira tertawa-tawa menikmati pelayaran.

Tapi sekonyong-konyong saja---kapal balik haluan kembali ke Portsmouth, mungkin kapten kapal dapat peringatan dan petunjuk.  Dengan kecepatan penuh kapal pesiar itu meluncur kembali ke utara.   Laut dan cuaca yang baru sebentar tadi begitu cerah dan indah----pelan-pelan tetapi jelas berubah mendung, makin pekat.  Angin kencang tidak terasa, dan ombak pun tidak begitu terasa.  Namun di kejauhan di ufuk selatan, tampak langit yang hitam. Mendung gelap.

Sensasi pergolakan terasa, semua menyaksikan di buritan dan pinggir  kapal----kapal mulai berayun-ayun.  Gelombang mulai menggedor lambung kapal----haluan kapal mulus saja membelah lautan. Dengan kecepatan penuh. Cakrawala mulai menghitam, angin kencang mulai terasa----kapal sandar kembali di pelabuhan  Portsmouth.  Dari pelabuhan Ridwan dan kawan-kawan menyaksikan angin kencang menderu-deru.  Kapal-kapal bergoyang-goyang di tambatannya . Suara berdenyit-denyit gesekan bumper kapal dengan bumper kade pelabuhan. Mereka semua memandang ke arah laut, gelap dan mendung----angin bertiup kencang, dahan pohon merunduk searah. Wah- sensasi topan kecil, tidak menakutkan. Ombak menggedor-gedor lambung kapal----kapal terayun-ayun.  Suara ombak menggemuruh, suara angin mendengung.  Hari mulai senja di Portsmouth.

Dari jauh ombak bergulung biru dengan lidah buih putih  di puncaknya .  Ombak pantai Samudra Atlantik cantik sekali di siang itu----bergulung-gulung biru dengan lidah buih putih di puncaknya. Di sana ada mercusuar hitam, hitam dengan nuansa garis warna emas, cantik sekali.  Ridwan dengan dua teman Jepangnya, menuruni bukit mencapai tepi pantai.  Wadas hitam seperti aspal mengeras adalah penangkis  alamiah ombak di pantai itu.  Kedua orang Jepang  turun lebih dekat ke air---mereka  mencuci mukanya dengan gembira tertawa-tawa.  " Ridwan-san cuci muka-mu.  Ini air Atlantik "  seru  Toshio Ogawa.    Ridwan tergoda.

Masya Allah---baru Ridwan menyadari, kedua teman Jepangnya, memang orang  Samudra Pasifik----Kepulauan Jepang memang berada di Pasifik.  Ridwan menuruni pantai menuju air lautan Atlantik. Ia menunggu ombak yang menghantarkan air Atlantik.  Ia mencuci mukanya dengan air Atlantik.

Di tanah airnya Ridwan berlayar dengan feri dari Pontianak menuju Sunda  Kelapa.  Kapal feri berlayar mulus, dari jendela asyik melihat hutan yang dilewati---tidak menjemukan,  disebelah kirinya seorang dokter wanita muda.  Dokter Rismauli telah menyelesaikan dinasnya di hutan dekat Sanggau, ia akan kembali ke Jakarta untuk kuliah kembali mengambil spesilisasinya. Dokter Ahli Jantung.  Hari mulai gelap, jemu dan tertidur.............ombak kini mempermainkan kapal, goyang kiri goyang kanan.  Penumpang pada mabok, ruang penumpang tanpa lampu---steward dan stewardess dipanggil, tidak datang-datang.  Ombak yang menghempas itu dari laut Cina Selatan.  Ombak beradu dengan arus Sungai Kapuas di muara.  Sensasi gelap, suara orang menggerutu---mabok !

Deru ombak mengerikan di pantai selatan----suara ombak pantai Parang Tritis,  ombak pantai Pangandaran atau suara ombak pantai Merak----menderu, tetapi tidak seseram suara pukulan ombak di Pelabuhan Ratu.  Mengerikan, menggedor-gedor gendang telinga sejak dari kejauhan.  Begitu dekat ke pantai lebih seram.  Menggelegar.   Menggedor-gedor jantung  dan nadi.

Tiap hari libur pantai itu menelan korban.  Banyak wisatawan tidak mengerti bahaya yang mengintai mereka di sana.  Ombak di Pelabuhan Ratu luar biasa mengerikan----arusnya juga kuat.  Tenaga manusia tidak akan kuat melepas pelukan ombak pantai selatan di sana.  Empat anak remaja bermain, bercanda di tepi pantai. Air hanya sepahanya,  dengan swim -suit warna macam-macam, bermotif, dan grafis yang indah---ada salah satu pakaian renangnya warna hijau cantik sekali.  Sekonyong-konyong,  ombak sebesar rumah menelan mereka --- menghempaskan mereka  ke pantai,  menariknya dengan cepat ke pelukannya.  Hanya bilangan beberapa detik saja----warna-warni itu lenyap tak berbekas. Tidak tahu kearah mana mata harus memandang, hanya ombak yang berpesta ria menari-nari---maju, menggelegar dan berayun  lembut ke tengah, seperti mundur----datang lagi dengan deru yang mengerikan-----gelegar.       Tragedi itu di depan mata Ridwan.  Mengerikan !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun