Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Planet Kemiskinan (18) Pensiunan Memilih Mati Sufi

24 Agustus 2010   11:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ia terbujur memanjang --- ia ingat pengajian bahwa Firman Allah : "Allah lebih dekat dari pada Urat di Leher-mu" ..........Ia ikhlas seandainya Allah mengambilnya saat ini. Seingatnya ia belum pernah berniat membunuh diri --- itu pekerjaan orang tidak beriman. Ia juga rasanya tidak pernah sekilas pun dulu-dulu menginginkan mati dengan kehendak sendiri.  Tetapi pagi ini ia menginginkan kematian.


Bosan hidupkah dia ?  Putus asakah dia ? Semua pertanyaan yang saling berjawab di benaknya semuanya disetujui-nya jawabannya.  Ia seperti sedang Tanya jawab dengan Kyainya. Pertanyaannya selalu dijawab Kyai Hatinya dengan jelas dan tuntas.

Ia merasa menjadi orang yang bijaksana dan berpengetahuan.

Pada  hal ia dulu hanya pekerja di Bagian Produksi di Pertamina --- di  Lapangan Rantau. Ia pensiun pada golongan 11 dengan manfaat pensiun 425.000 rupiah sebulan --- dulunya malah hanya 625.000 berdua dengan isteri.  Ia kembali bersyukur. Ia sedang puasa,tadi malam ia sahur hanya dengan mie instant sebungkus dan air putih --- ia tidak takut lapar hari ke-limabelas Ramadhan ini --- ia hanya takut karena tidak punya uang sepeserpun.


Ia ingat beberapa kawan-nya yang telah meninggal dunia lebih dahulu ---  Abbas, Aulia, Ramoninoff, Juki Marjuki, Robot --- ya Anton Robot, Mail,  Gultom --- wah sudah banyak sekali yang dikabarkan meninggal dunia  --- yang masih hidup enggak pasti lagi, mungkin yang lebih muda-muda barangkali --- ia ingat betapa penat dan kotornya pulang kerja shift malam.   Ia tidak pernah iri dengan bosnya yang lebih makmur --- itu namanya nasib.


Posisinya masih seperti laku orang mati --- dengan kedua tangan sedakep di dada. Ia ingat cerita wayang bagaimana sikap dan laku Sang Arjuna sedang tapa --- lapar, haus, bersemadi berhari-hari --- langut.  Wah ia takut dan kuatir nanti mati kafir memikirkan petapaan.  Ia sering mengaminkan doa agar mati muslim...............Ya , ia ingin mati Islam, seperti para kyai, para aulia, para orang beriman --- ujung lidahnya menggelitik langit-langit, masih terasa geli.


Para sufi dapat mendekati Allah demikian dekatnya --- para Sufi menyatu, bukan berarti "jadi satu" , para sufi berzikir dan begitu mendekat sehingga menempel --- para sufi tetap seorang makhluk Allah tetap Zat yang Maha Khalik....................Ia ingin mendekati Allah, karena Allah berfirman bahwa Ia lebih dekat dari Urat Leher Manusia itu. Tanpa sadar ia meraba batang lehernya...............Ia kembali bersikap dalam perjalanan matinya.


Ia kini 82 tahun, sebatang kara --- istrinya wafat tahun 99, kemudian anaknya si Leman mati jatuh dari atap gerbong kereta api, si Harun delapan bulan kemudian mati kena TBC --- ia sudah lama tidak berkunjung ke rumah cucu-cucunya --- ada enam orang --- ia takut tidak bisa membawa apa-apa lagi. Kemudian dia heran mengapa anaknya si Bontot pun mati --- Apa salahnya ?   O, ia konon pengedar narkotik --- digibal polisi. Waktu sebelum ke pengadilan. Ia mengunjungi rumah tahanan --- anak itu tinggal rangka dan tangannya ceko. Kemudian polisi mengatakan anak itu mati karena HIV/Aids.  Hatinya membantah.   Kalau pun anak-anaknya masih hidup ia pun tetap miskin --- anak-anak itu pengangguran, kerja serabutan ...........atau itu tadi pengedar narkotik, ganja, shabu. Oh.


Tenggorokannya kering --- ia pikir Izrail sudah meraba-raba batang lehernya.

Para sufi menempel pada zat Allah --- menyatu dalam zikir --- ia mulai berzikir sepanjang nafasnya.  Tanpa dikehendakinya kesadaran-nya timbul kembali --- ia kembali berzikir.


Ia mengingat cerita ibunya dulu, semasa ia kecil --- bahwa bila Malaikat Izrail mencabut nyawa manusia itu dari ujung jempol kaki manusia, seluruh tubuh manusia  tersangkut seperti ikan terpancing, luar biasa  sakitnya --- ia merasa ada sesuatu yang meraba kedua jempol kakinya.


Ia terus berzikir mendekatkan diri dengan Allah.  Tiba-tiba ia rasakan tangan yang halus meraba ubun-ubunnya (kata ibunya, itu mati sempurna, secara sempurna) --- tidak sakit sama sekali.


Tangan lembut itu kini melingkup seluruh kepalanya --- dengan dua jempolnya mengelus-elus ubun-ubun dan keningnya.   Ia bersyahadat --- ia bertasbih --- ia mengucapkan istigfar --- kembali lagi berzikir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun