Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Planet Kemiskinan (14) Miskin, Cacat, dan Disesatkan Pula!

4 Mei 2010   10:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:25 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kermit, sekarang 18 tahun --- dulu di desanya, walau pun ia anak cacat, tetapi ia terpandang. Karena ia diangkat anak oleh Lurah Matkusen. Sewaktu kampanye pemilihan lurah --- Matkusen memperagakan  jiwa sosialnya, anak yatim piyatu disantuni dengan perbekalan sekolah dan mengaji, lengkap dalam satu tas, berikut alat sholat baik untuk yang wanita maupun yang lelaki.

Yang istimewa saat itu,  juga untuk si Kermit dibelikan satu tongkat kroek di ketiak. Bagus tongkat itu, terbuat dari aluminum yang dapat distel sesuai dengan pertumbuhan badan si Kermit. Pak Lurah Matkusen naik daun --- pemerintahannya lancar dan berjalan baik-baik saja.  Pembangunan swadaya dan bantuan pemerintah sepertinya juga lancar.  Kehidupan sosial keagamaan semarak dan tertib. Memang desa itu berbatasan dengan Jalur Pantura --- jadi Kamtibmas sangat cepat berpengaruh.

Si Kermit menamatkan SMP-nya selama pemerintahan Pak Lurah Matkusen --- pada acara Agustusan suatu saat Kermit mendapat kesempatan membacakan terjemahan Ayat -ayat Suci  Al-Qur'an , yang dibacakan bunga desa Sri Ayu Mu'affiah.  Bagi dirinya mau pun keluarganya hal itu sangat membanggakan.  Malang tidak bisa ditolak mujur tidak bisa diraih --- bapak si Kermit, Mang Jelani tewas disambar bus antar kota sewaktu membawa beban dari pasar Tegalgubug. Waktu itu memang senja, beca di Indonesia mana ada  memakai lampu ekor --- bus juga melaju ganas --- jalan mulus dan supir mulai penat menjelang Cirebon.  Bus itu berangkat dari Pelabuhan Merak. Saat itu Kermit hampir ujian SMP.

Selama ini emak si Kermit membantu pendapatan bapaknya dengan membuat krupuk Melarat --- baru mereka rasakan bahwa begitu penting pendapatan Mang Jae dari membeca --- tanpa penghasilan  Mang Jae keluarga itu langsung limbung. Keluarga berembug, bagaimana untuk mengatasi kekurangan duit --- yang berakibat kekurangan pangan.  Si Kermit tidak mungkin menjadi buruh tani --- emaknya juga masih meyakini ketrampilannya membuat krupuk Mlarat. Kerja tani telah lama tidak ia yakini --- jauh, melelahkan, upahnya tidak meyakinkan.

Memang adik si Kermit ada, baru 14 tahun, sponsor bilang bisa dikirim ke Malaysia --- serahkan saja, ada caranya !

Emak belum mau takut anaknya malah dijual jadi pelacur.

Pak Matkusen, sudah mantan lurah sekarang --- nasibnya pun telah berubah, menjadi Narapidana.  Ia dibuktikan mengkorup Raskin dan Pupuk --- ia langsung jatuh miskin.  Ketika dikunjungi Kermit beberapa waktu lalu. Di hari tuanya, memang kasihan betul nasib Matkusen.

Jadi narapidana dengan sejumlah rasa sakit di seluruh tubuh.

"Mit , kalau kemari bawakan bapak rokok, kopi dan teh , ya Mit".   Itu bisikan pak MatKusen, yang badannya kini kurus, lusuh dan mengiba.  Ada rasa iba yang dalam di hati Kermit --- betapa ia miskin tetapi ia ingin sekali membalas  budi  orang yang pernah dibangga-banggakannya itu.

Konon kemiskinan Pak Matkusen begitu cepat --- karena sejak kasusnya di hembuskan orang, ia sudah menjadi bulan-bulanan diporot orang kiri kanan.  Macam-macam manusia yang mengompasnya, ada yang datang memakai motor dengan rompi, ada yang membawa kamera, dan ada yang berpakaian loreng, ada memakai macam-macam pakaian dinas, dan puncaknya ketika kasusnya memasuki proses penyidikan --- makin banyak orang yang datang dengan modus yang sama , Menakut-nakuti atau menjanjikan keringanan. Secara administrasi pun ia tidak berdaya membela dirinya --- memang administrasinya amburadul.  Yang ada, hanya yang memberatkan.

Upah si Kermit membersihkan mesjid dan dua mushala dicobanya disisihkan untuk membalas budi pak Matkusen --- emaknya mengerti, tetapi perut mereka dan membayar dua titik lampu listrik berkurang, dan  tidak bisa diatasi.   Sebagai lelaki si Kermit ingin mengatasi kemelut itu.

Dari anak jalanan yang mangkal di halte bus Bunder, ia mendapat ide --- nasib jangan digantungkan dengan upah bulanan, apalagi kecil, buat apa !  Setiap hari harus mendapat uang tunai --- kalau perlu menyopet.  Enggak berani, ngamen sambil menekan, memeras --- kalau berani.

"Kamu beruntung, mempunyai cacat --- tadahkan saja tanganmu "   (aku tidak mau mengerjakan hal yang sehina itu !)

"Kamu pandai menyanyi, mengamen --- cari teman-mu ; kalau kamu bergabung dengan kami --- kamu bertugas tukang menadahkan tangan"  (yah- apalagi mereka memainkan alat dan bernyanyi --- menggertak-gertak, aku hanya bertepuk-tepuk kecil, dan menadahkan tangan ). Oke !

Mengurus mesjid dan dua mushalla ia dibayar Rp 200 ribu sebulan --- turut rombongan pengamen lumayan ia menyetorkan kepada emaknya Rp. 15.000 sampai 20.000 tiap hari.  Emaknya pun sumringah.  Tiap hari mereka beroperasi di atas bus antara Palimanan sampai Patrol.

Di dalam bisnis ini juga tidak boleh sembarangan, ada yang mengaturnya. Kermit tambah paham kehidupan mencari sesuap nasi di jalanan.  Ada tertib naik turun dari bus.

Suatu hari dua teman-nya akan mengganti kru-nya dengan pemain harmonika.  Ia cocok sekali, perawakan besar, berotot dengan hiasan tatoo --- ancamannya selalu mengena, ia dari Patrol.  Si Kermit di-PHK.  Ia mengadu pada Mang Bono di Bunder.

"He, kamu pantasnya langsung saja menadahkan tangan. Ayo --- Mang Bono yang memerintah, bilang !"

Bagian untuk belanja emak tetap tersedia, walaupun terkadang Kermit tidak pulang ke rumah --- ia mulai tidur di perkampungan komunitas anak jalanan - makan, tidak makan, kumpul ---  menyanyi (si Kermit belajar turut menyanyi,  karena ada anak cacat --- suaranya hanya sampai ditenggorokan saja, tetapi ia bisa mengamen dan menadahkan tangan).

Malam itu, ada kelompok mereka yang asyik menenggak "Cap Topi" --- ada pula menelan sesuatu --- ada pula  kelompok penghisap ganja.  Asapnya pahit dihirup si Kermit.  Wah, banyaklah ulah mereka di sana --- seperti setiap malam mereka melupakan kepahitan hidup menadahkan tangan.

Si Kermit telah menghayati kehidupan di komunitas itu --- mereka tidak merasakan kemiskinan, mereka tidak merasakan kekurangan ---- mereka memproklamirkan kemerdekaan mereka ; " Seniman Merdeka !" .  Mereka tidak merasa kekurangan apapun di malam hari --- mereka bebas.

Si Kermit disuguhi  seks bebas sampai teler menenggak "Cap Topi" --- si Kermit kuatir sekali ia tersisih dari komunitas itu. Di situ ia dihargai sebagai orang Merdeka.   Malam ini ia mabok --- tidak ada orang yang mempedulikannya.

Bagian si emak tetap ia sampaikan --- bagian Pak Matkusen tetap ia sempatkan ke penjara.  Walaupun tampangnya tidak berubah, tetap kumal dan menggunakan kroek --- tetapi bagi emak dan pak Matkusen.  Sosok Kermit adalah orang yang mengerti berterimakasih dan membalas budi.

Di komunitasnya juga Kermit dianggap potensial  --- ia selalu menyisihkan pendapatannya untuk "patungan"  menikmati hidup --- malam ini ia sakauw menikmati narkoba yang dibeli dari bandar jalur Karawang

(memang ada jalur Karawang , ada jalur Bandung, wah memang jaringan narkotik meraja lela di sini).

Suara azan membangunkannya --- ia malu telah lebih setahun tidak sholat.  Ia berbantalkan kedua tangannya.  Di sampingnya masih terlena si Entil ---  ia penyalur.  Tadi malam Kermit ditawari perdagangan "Gelek" oleh si Entil.  Konon ia bisa menjadi menyalur atau pengantar kiriman dari Jakarta ke mana-mana dengan " samaran sebagai pengemis cacat" --- ia cukup  menyandang tas kecil kumal.  Upahnya menggiurkan --- dan ia bisa mengawini si Entil.

Mereka dikumpulkan dalam satu sel, semuanya konon jaringan narkotik yang mengedarkan barang haram itu, dari Ibukota ke kota-kota sampai ke desa-desa.  Digunakan di café, di barak , di rumah, dan di mana-mana

Jumlah mereka tiap hari bertambah --- tampaknya  kini di sel itu ada  18 orang.  Satu orang yang mengesot-ngesot, terkadang berpindah seperti laba-laba berkaki tiga.  (Kroek si Kermit telah terbuang entah di mana).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun