Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Planet Kemiskinan (12) Mang Daim – Bajaj

1 April 2010   16:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:03 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ia menjadi pengemudi Bajaj sejak ramai-ramai Demonstrasi tahun 1965-66, Mang Daim tidak pernah bisa menghitung lamanya. Selama itu pula ia tidak memperoleh kemajuan. Dia tidak mengerti mengapa doa-nya tidak makbul --- kecuali memohon istri dan kemudian berdoa agar dikaruniai anak. Itu makbul.

Anaknya enam, sudah kawin semua --- lima anak lelaki dan satu anak perempuan, sekarang cucunya 28 orang. Tetapi itu tadi, ke-enam anak itu tampak jelas mengikuti alur kemiskinan yang dia pernah alami. Mau apa lagi ?Dia tidak mengerti teori kemiskinan struktural memang akan mewariskan kemiskinan. Kecuali kalau ia berdoa agar pemimpin bangsa ini bisa menembus kutukan itu.

Isterinya meninggal di Stasiun Jatinegara sebagai mayat tidak dikenal, memang kerjanya tukang pijit di emper stasiun kalau malam --- malam itu ia kejang-kejang dan mati, diangkut orang ke RS Cipto --- tiga hari tidak ada keluarga yang mencari, dikebumikan sebagai gelandangan --- masih untung, jadi mayatnya dimakamkan diTaman Pemakaman umum bagi orang tidak dikenal.Belakangan baru Mang Daim mendapat kabar isterinya ditanam orang di Pondok Rangon --- dari bawah pohon kamboja ia berdoa, itu saja ---karena tidak jelas letak kuburannya. Untung.

Isterinya meninggal 6 tahun yang lalu --- umurnya berapa ya sewaktu meninggal, Mang Daim enggak tahu --- ia kira-kira saja, mereka baca tulis saja enggak bisa.Mang Daim kini berumur barang kali 70-an tahun. Giginya sudah ompong, wajahnya berkerut merut --- enggak jelas bentuknya.Yang masih tersisa bagi orang di pangkalan bajaj itu --- namanya Daim, asal Cirebon, masih suka tertawa --- walaupun ia sebenarnya budeg.Ia mempunyai SIM ? Enggak tahu ya.

Boss Bajaj sebenarnya tidak ada yang mau menyewakan bajaj padanya --- tetapi masih untung ada pula pemilik bajaj rongsok, satu-satunya yang sudah jarang pemgemudi memakainya --- sudah ketemu ruas dengan semangat Mang Daim yang tetap ingin mengais rejeki dengan Bajaj..Menstarter bajaj rongsok itu saja sudah menguras tenaganya --- tetapi tetap bisa berjalan. Bajaj itu terseok-seok, Mang Daim nafasnya satu-satu, dengan mulut mangap. Enggak jelas apa ia juga bernafas dari mulut ?

Di jalan mulus saja kabin bajaj Mang Daim sudah bergoyang seperti gempa Sumbar, apalagi di jalan Jakarta yang jelek --- rasanya tulang penumpang akan rontok semua sendi-sendinya. Mang Daim sendiri merasa remuk redam badannya --- terutama jari-jari tangannya yang memegang stang stir. Gatal, kebas, remuk, sampai tidak berasa apa-apa. Terbius getaran mesin.

Setorannya tigapuluhlima ribu sehari semalam. Tetapi kalau malam ia oper kepada Simin, untuk mengangkut ayam dan sayur dari Pesing ke pasar Grogol. Ia sewakan Rp. 12.500,-- Lumayan.

Sebelum tidur di rumah rombeng milik pak Sersan, yang disewanya seratus duapuluhlimaribu sebulan --- badannya dilumurinya dengan parutan jahe sisa tukang jamu gendong. Syukur setelah melamun sebentar ia bisa tidur dalam kesumukan dan kehangatan jahe tadi. Sebelumnya ia biasa melamunkan cucu dari anak perempuan-nya.

Namanya Nurbaiti.Hanya itu cucu yang menggesankannya --- ia berbahagia sekali kalau ia bisa berkunjung ke rumah anaknya itu, di pembuangaan sampah Tanjung Duren --- ia bisa membawakan buku tulis, buku gambar dan pensil.Cucunya itu bersekolah di bawah jembatan tol --- ada anak sebelas dengan guru sukarelawan, gadis berjilbab entah dari mana datangnya. Cucu-cucunya yang lain ia tidak tahu entah di mana dibawa nasib orang tuanya.Hanyut dalam gelombang amuk kemiskinan di Indonesia.

Yang pasti nasib kesemua anaknya “pada bae” dengan dirinya --- miskin dan mengais rejeki sebagai sampah masyarakat. Mau apa lagi ? pikir Mang Daim, selalu begitu. Rumah sewanya itu pembayarannya dari cadangan hasil mengoper bajaj kalau malam. Yang pahit kalau bajaj itu rusak dan lama sekali perbaikannya. Mau apa lagi ?

Kalaulah tidak ada kebahagiaan melihat cucunya si Nurbaiti --- sudah pandai membaca dan menulis, mungkin Mang Daim ingin segera mati saja --- karena si Simin yang membawa bajaj sewaannya, tadi pagi ludes penyet di-injak-injak truk di jalan Daan Mogot. Habis sudah !

Matanya yang memang sudah rabun, memandang kosong --- ditambah pendengarannya pun memang kurang (makanya kalau penumpang berbicara, entah menyuruh berhenti entah apa. Mang Daim main tebak saja langsung akan berhenti).Kini pun ia tidak mengerti dengan lengkap berita mengapa si Simin mati bersama bajaj itu --- mata kosong.--- lingkungan senyapIa tidak tahu harus mengerjakan apa lagi nanti untuk nafkahnya. Yang menggugahnya hanya : buku tulis , buku gambar dan pensil atau jajan untuk cucu harapannya.Hiburannya hanya itu-kah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun