Rumah adalah tempat berdiam anak manusia, di jaman nenek moyang, rumah kami di atas pohon, seperti bangsa monyet --- takut pada binatang buas, rumah itu pun di buat terpencil jangan di jalari ular. Nenek moyang mereka, malah tinggal di dalam gua alam, takut hujan dan petir. Belakangan-lah nenek moyang berbudaya, mendekati usaha hidupnya di tepi sungai, pantai atau huma.
(1)Dari rumahnya , rumah kontrakan Rp. 200.000 per bulan ini, kontrak entah keberapa kali, enggak ingat lagi --- ya sejak ia mengikuti suaminya merantau ke Jakarta, ia membiasakan tinggal di rumah-rumah kontrak murah dan kumuh.Sejak ia memasuki kebudayaan rumah kontrak hidup selalu sial.
Dari mempunyai perabotyang wajar seperti tetangga-tetangga--- hingga kini, ia bertambah miskin.
Hanya punya sekedar perabot masak seadanya --- juga apa yang mau di masak ?
Ia pandangi lantai kosong di ruangan yang dinamakan ruang tamu,rata-rata di sana ruang itu kalau malam, jadi tempat tidur anak-anak. Kalau yang mempunyai kursi yah, di-geser-geserlah. Kalaurumah tangganya – sudah lama tidak mempunyai kursi meja, ruang itu memang tempat tidur dua anaknya, atau kalau suaminya sedang di rumah, di siang hari suaminya senang tidur di situ --- agak adem.
Mengerikan, tidak pernah dibayangkan dari situ pula si Suami tertunduk menyerah, menyerahkan kedua tangannya diborgol polisi. Ia tidak pernah sekali pun membayangkan akan mengalami hidup, menyaksikan suaminya ditangkap polisi sebagai pencuri. Ia tidak dapat membayangkan betapa dua gadis ciliknya akan malu di ejek-ejek teman-temannya sebagai anak seorang pencuri.
Apalah arti air mata lagi baginya.Miskin, orang miskin tidak mempunyai air mata lagi.
(2)Rubiah menggembok pintu rumah bedengnya --- anak lelakinya sudah berangkat kerja, sebagai tukang parkir liar, atau kalau ada kekalutan di kemacetan lalu lintas, bermetamorfosa menjadi “pak ogah” --- biar Indonesia tambah kalut kena krisis finansial Amerika. Mereka, Orang Indonesia mendapat uang dari orang Indonesia yang kalang kabut. Namanya juga Pak Ogah -- Ogah menyerah !
Memang unik di Indonesia di antara orang miskin di kampung situ, ‘kan banyak rumah-rumah bedeng sewaan --- sebulan antara 200.000-an sampai yang agak mewah 250.000 ribu rupiah.Itu saja banyak sekali yang suka lari malam kalau telah menunggak dua tiga bulan. Tidak tahan tiap hari diomeli atau tidak mau di sita barangnya.
Di antara orang miskin itu, masih ada saja yang bernasib lebih beruntung dari tetangganya. Masih ada yang bisa kredit ini itu. Untuk menunjukkan bahwa keluarganya lebih dari yang lain. Atau memperkerjakan orang miskin lain di rumahnya, karena suami isteri harus membanting tulang di luar rumah.
Kalau Rubiah termasuk yang “inferior” --- babutnya baru saja disita yang punya rumah.
Beruntung mulai hari ini ia dapat kerja di tetangganya, mencuci pakaian dan menjaga anak balita.
Mereka, pemilik rumah itu bekerja menjadi pelayan di Mini market. Sebulan Rubiah dijanjikan dibayar Rp. 100.000, dan masak seadanya, dapat makan bersama-sama anak-anak pemilik rumah.
Babutnya, atau karpet bodol itu untuk menutup tunggakan sewa bulan yang lalu --- bulan ini ia tidak tahu cara membayar-nya, tidak ada barang apa pun yang bisa disita dan dihargai si pemilik rumah.
Perkampungan mereka sangat strategis, dekat dengan pasar --- banyak orang hidup di sana, selain pedagang yang mempunyai kios, toko atau los, beratus orang menyerobot badan jalan untuk menjadi lahan mencari makan--- atau jadi pemulung dan pemungut sayur, buah, dan sesuatu bahan makanan yang lezat bagi planet kemiskinan.
Maka sangat banyak Warga Negara Indonesia berdiam di situ, mereka kaum miskin yang menjadi komunitas rumah sewa murahan. Juga banyak "Menu Kuliner" mereka tidak sama dengan orang Indonesia pada umumnya. Memang bahan-nya mirip dari pasar yang sama, tetapi dari planet yang lain. Mereka ikhlas kalau sesuatu saat nanti, ada orang Indonesia memanggilnya Indo. Orang Indo.
Karena memang mereka keturunan orang para penikmat Kolonialisme. Orang Indo Kolonialis.
Semula ia berencana akan lari malam dengan anaknya --- sejak mendapat pekerjaan ini, Rubiah tentu bimbang. Mau lari kemana --- ke kolong jembatan pun harus bayar. Tahu !?
Pekerjaan-nya tetap belum cukup untuk menjamin ia bisa hidup dengan anak-nya yang penghasilannya tidak menentu itu.Bulan ini Rubiah dan anaknya tidak aman tinggal di Indonesia.
(3)Engkong Amir panik, penghuni rumah-rumah bedeng dari bebarapa juragan geger. Sebelum penghuninya pada kabur berangkat mencari rejeki, mereka dapat bahan info prima : Si Toga lari malam dengan anak bininya dari sewaan engkong Amir.
Dia main serep, tidak ada tetangga yang mengetahui gelagat mereka kabur sehari sebelumnya.Memang tetangganya sudah lama tidak memperhatikan mereka --- karena tidak ada yang menonjol dalam kehidupan-nya. Masak pun terkadang mereka tidak !
Engkong Amir lemas, rupanya si Toga juga mengembat pompa air --- makanya pagi-pagi ia telah mendapat laporan air tidak mengalir --- para penyewa tidak bisa mandi. Pompa mati.
“Busyet, gue rugi besar, si Toga nunggak dua bulan, pompa gue diembat pula !”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H