[caption id="attachment_147870" align="alignright" width="371" caption="Indonesia melakukan Mismanagement Sosial-Budayanya --- Dari Rambu Lalulintas sampai Politik Keutuhan NKRI --- Centang Perenang dan Terbengkalai !"][/caption]
Ada sekelompok orang pensiunan perusahaan Industri Besar --- mereka tidak lagi memandang serius tanda-tanda penghargaan mereka, karena uang pensiunan mereka ternyata tidak berarti apa-apa lagi, dihisap inflasi. Hanya ada yang tersisa, sepetak memori. Yang tersisa adalah nostalgia --- kenangan yang terkadang dengan pahit diplesetkan, nostalgila. Nostalgila mereka itu juga jadi bahan pemicu suasana humor di antara mereka --- karena lucunya cara mereka berbicara dan tertawa. Lidah mereka terkadang terbelit-belit untuk mengucapkan sesuatu. Ramai mereka menertawakan suasana dan keadaan mereka. Mereka biasa kumpul-kumpul di Senayan City atau di Pondok Indah Mall --- mereka tidak ingin terjerabut dari suasana hidup mewah sebagaimana dulu sewaktu mereka masih bekerja. Kini mereka harus membayar masing-masing pesanan menu yang mereka pilih. Cuma itu tadi. Ya Cuma itu tadi, pertemuan itu merupakan pemicu kenangan indah di masa mereka meniti dan menanjakkan karier mereka. Yang tokh pada akhirnya pelan-pelan mereka fade away. Sukar mereka untuk menyadari bahwa negeri mereka atau perusahaan mereka sudah tidak memerlukan mereka lagi --- tidak ada alasan bagi management untuk meng-apresiasi jasa mereka, tidak ada kesempatan untuk secara terus menerus membina mereka. Mereka sudah tidak produktif bagi proses produksi. Tetapi pensiunan itu selalu saja   menganggap mereka adalah mantan karyawan yang berjasa. Nostalgia. Mereka masih bisa tersenyum lebar, bahkan tertawa sambil bercipika-cipiki --- lantas masing-masing mengelompok sesuai kesempatan atau keakraban mereka dulunya --- seperti mereka dulu-dulunya melakukan politicking di perkantoran. Berkonspirasi atau kesempatan untuk mengambil muka kepada atasan, dan prinsip salip menyalip dengan motivasi --- hidup hanya sebentar, masa kerja pun hanya sebentar. Saling tidak mempedulikan. Biasa setelah mereka duduk dan berusaha untuk santai, baru ada diantara mereka merasakan dada kirinya ada denyut yang menyeri --- ada yang teringat pada beberapa  ring yang tertanam menormalisir pembuluh di jantungnya. Ada yang bersandar pada sofa merasakan ada denyutan nyeri di bekas operasi di daerah prostatnya. Aduh. Ada pepatah : Adat muda menanggung rindu adat tua menanggung ragam.  Mereka ada yang mengenang mengapa kebudayaan dan tradisi jelek berlaku di Negeri ini --- tidak menghargai "Orang Tua" di bis kota, di Bus-way Trans Jakarta atau di Kereta api (ex Jepang yang mempunyai rambu areal tempat duduk bagi para Lansia) --- walaupun di sana ada Rambu dengan karikatur "Orang tua bertongkat", Ibu hamil, Orang Cacat. Nyatanya,   Orang Indonesia muda dengan tenang-santai duduk di areal yang sengaja disediakan untuk warga tertentu itu. Indonesia yang memang bebal. Biasa mereka membicarakan hal-hal yang aktual menyangkut anak-cucu, ekonomi dan bahkan politik --- tetapi polanya itu tadi, kembali ke hal-hal yang indah semasa mereka berkarier --- bernostalgia. Kini mereka berkompensasi psikologis, karena mereka tidak bisa menemukan lagi prestasi terukur di dalam masyarakatnya. Yang paling tragis kalau sampai membicarakan anggota yang diberitakan mengalami sakit atau opname beberapa hari di Rumah sakit. Atau "Ah, si Rakhim tambah parah DB-nya --- kabarnya ia mulai buta saat ini " "Aduh, ibu Syam kini di kursi roda dengan mata kosong --- kebetulan kemarin saya lewat di depan rumahnya" "Wah, si Thamrin anak buahku mengabarkan si Haryo jatuh, konon stroke mini !" "Jadi tu si Dien diamputasi kakinya ?" "Pak Bet telah game sudah dengar ? Ya setelah 4 kali di operasi kanker lambung akhirnya tammat juga riwayat kawan itu --- orang baik yang mati sangat sengsara. You bagaimana kanker di anak ginjal itu ?" Mereka seperti teringat pada satu titik, meja dekat pilar yang selalu dipilih untuk tempat duduk seseorang --- Pak Albert. Itu meja dengan dua kursi --- beberapa tahun yang lalu dalam pertemuan, biasa itu tempat pilihan pak Albert dengan isterinya. Setelah isterinya meninggal tahun 2008 ia tetap duduk menyendiri di situ. Baru mereka terkenang pada Albert, ia meninggal kecelakaan lalulintas di Jakarta Timur. "Gila itu orang Indonesia --- si Albert itu mati di Zebra-cross dalam kepungan mobil-mobil kencang yang saling berebut ruang, konon ia ditabrak speda motor --- matilah dia terkapar dengan tulungpunggung patah !" "Memang gila itu Orang Indonesia tidak mempunyai budaya !"   Dengan nafas tersengal Pak Oon menimpali dengan pahit. Dia benci dengan Indonesia yang makin terseok-seok melakukan mismanagement kebudayaan. Banyak di antara mereka pulang dengan jalan tertatih-tatih --- dengan sorot mata yang myopik dan memori yang kian membeku. Kecuali untuk hal-hal yang indah di dalam hidupnya, yang masih tersisa. [MWA] (Cermin Haiku -06) *)Ilustrasi ex Internet
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H