Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Percakapan Bernas (10) Calon Presiden 2034 Apakah Mampu Memimpin Indonesia?

26 Juli 2010   14:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:35 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menyaksikan banyaknya krisis yang bersifat akut di negeri ini --- dan seolah-olah Pemerintah gamang untuk menemukan dan melakukan tindakan spontan, alias reaksi cepat. Lihat pula bagaimana mutu anggota parlemen --- seolah-olah mereka tidak mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang diperlukan, apalagi tingkat quotient kecerdasan yang lain-nya. Macam-macam alasan mereka tidak menjalankan tugasnya maupun kewajibannya --- terutama kehadiran. Alhasil parlemen pun kinerjanya juga enggak efisien --- alias mismanagement.

Krisis yang akut lainnya ? Birokrasi dan Apparat yang oknumnya (?) dan organisasinya cendrung koruptif.Apa di sana tidak ada Leader dan leadership yang optimal ?

Berkecamuk pertanyaan dan analisis di benak Cik Yung --- hal itu timbul setelah ia ternyuh menyaksikan adegan dua janda pahlawan yang akan memindahkan jasad suami mereka dari makam pahlawan. “yah, dimakamkan kembali di pekuburan rakyat lebih baiklah --- jasad-ku pun biar seperti bung Hatta, cukup di Tanah Kusir saja.” Sementara nafasnya naik turun, dan kepalanya terangguk-angguk --- mengikuti irama memorinya yang timbul tenggelam, terdengar “ Assalammualaikum “ , berkali-kali terdengar di depan pintu pagarnya. “Wa alaikummussalam “

Bertiga mereka, segera terlibat percakapan yang meriah dan bernas --- menyangkut kegeraman sebagai anggota masyarakat, yang takut terror ledakan gas dan “pemicu stres para pembesar atas kemacetan Jakarta

“Saya pikir para pemimpin dan pembesar Indonesia tambah stres sekarang ini, lihat saja mimik dan body languagenya di TV --- tampaknya tingkat kepekaan mereka menurun lho !” kata Pak Prio Santoso, pensiunan yang jauh lebih muda dari Cik Yung.

Dia mampir ke situ bersama pak Anton yang juga pensiunan. Kalau Cik Yung pensiunan kawakan --- memang dia adalah salah satu anggota Angkatan 45 yang masih tersisa.

“Kita pun capek merasakan masalah bangsa kita ini “ keluh Cik Yung.

Sebetulnya kunjungan pak Prio dan pak Anton --- sebagai simpati karena mendengar, bahwa Cik Yung menderita sakit.

“Enam puluh lima tahun merdeka --- secara Budaya kita tidak banyak menghasilkan pemikiran yang briliyen --- okaylah secara fisik mungkin sekarang anak cucu kita sudah pintar membuat jembatan dan gedung bertingkat --- menemukan beberapa bibit unggul, atau apa ya --- lainnya ?”

“Pesawat terbang dulu anak kita telah bisa membuatnya --- tetapi tidak bersinambungan --- sekarang kita hanya tailoring --- tidak membuat sesuatu sebagai invention. Sekarang kita mundur --- jadi pembeli pesawat Cina atau Korea saja. Ayo mundur --- Retrogresif, kasihan Pak Harto dan Pak Habibie ! “

“Kita tidak konsisten menjalankan visi”.

“Masa ini siapa pemimpin yang mempunyai visi kebangsaan ?  Paling-paling visi kepartaian menyongsong 2014 --- terbangnya baru setinggi itu“.

“Awak ngeri melihat banyaknya persoalan yang timbul --- tetapi tidak tuntas solusinya --- kasus Bank Century begitu jelas, Sidang Paripurna DPR memutuskan rekomendasi adanya tindakan korupsi, pidana money laundering, pidana undang-undang perbankan --- mana tindak lanjut pemerintah ?”

“Span of control cik.Kebanyakan beban dan vested interest cik “seru pak Anton.”

“Bukan kebanyakan beban --- mereka menimbun beban karena ada interest macam-macamlah --- interest politik, interest ekonomilah, interest strategi partailah --- jadi visi dan misi yang termaktub dalam konstitusi jadi terabaikan “

“Siapa yang rugi cik ?

" Yang rugi Rakyat dan filsafat kemerdekaan !” seru Cik Yung.

Sambil mempersilahkan tamunya menikmati es sirup markisah plus peuyem Bandung, dilanjutkannya :

“Kalau Bangsa ini tidak menemukan hasil Budaya Pemikiran brilyen, yang bisa merangsang daya saing, daya perubahan, daya perombakan, daya pemulihan, daya invention, daya discovery --- kemerdekaan kita tidak akan menghasilkan apa-apa, kalau enggak kolaps sebagai bangsa yang gagal, sudah syukurlah “.

“Jangan-jangan kecerdasan dan pengetahuan kita tidak cukup untuk menjalankan roda manajemen pemerintahan dan bernegara, ya ? “.

“Apa lagi kalau masalah dan persoalan menjadi krisis yang akut --- tetapi tidak diberikan solusi untuk mengatasinya sampai tuntas --- ‘kan jadi backlog --- generasi berikutnya ‘kan harusnya mempunyai kapasitas yang lebih hebat --- agar masalah itu bisa dilenyapkan “.

“Jadi Kementerian Pendidikan Nasional harus menemukan konsep ideal untuk menghasilkan warganegara calon presiden dan anggota parlemen serta para pimpinan nasional yang cerdas dalam segala aspek kepribadian --- agar para manager kita, para jenderal kita, para banker dan ahli keuangan kita --- yah semuanyalah pada  ujung generasi ketiga nanti --- menjadi SDM mumpuni untuk berkarya “

“Jangan seperti yang sekarang --- jangankan melihat lima tahun ke depan --- tiap hari diributi : masalah kecil-kecil: TKW digebugi, jalanan macet, iring-iringan presiden dan pejabatlah, bus-way amburadul –monorail hanya tengkorak kakinya saja --- menemukan siapa yang bertanggungjawab tabung gas dan pengisian gas saja , angel --- wah, wah, mismanagement dan management mutu rendah !”

“Bukan program konversi, kata orang --- tetapi proyek komisi !”

“Mampus lu rakyat --- bodoh banget sih”

Ketiga orang tua itu bersahut-sahutan seperti memuntahkan kembali informasi yang “enggak genah” yang memenuhi otak mereka.

Setelah basa-basi ke soal kesehatan mereka seperti di awal pertemuan tadi --- yang kemudian disita topik budaya retrogresif --- mereka saling pamit.

Sambil menuju ke kamarnya untuk tidur siang, Cik Yung masih dibuntuti masalah --- apakah dalam pemilu 2034 nanti Indonesia bisa menemukan calon presiden yang bermutu --- hasil Budaya Pemikiran Nasional yang menciptakan sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan tuntutan jaman.

Sambil menutup matanya ia berdoa, semoga anak cucu pemegang amanat konstitusi jangan meng-estafet persoalan dan masalah.Runyam nanti pemerintahan berikutnya.

Ia tertidur dengan nafas tuanya yang masih teratur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun