Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Percakapan Bernas (03) Menurut Prof. Samuel P Huntington

21 Desember 2009   05:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:50 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Waktu ia membalik-balik Agenda tahun 2009 yang lembarannya segera berakhir---ia review lembar demi lembar halaman di depan.  Di sana ternyata terdapat kutipan dari Profesor Samuel P Huntington: "Kemajuan atau kejayaan suatu bangsa sangat berkaitan dengan kultur atau mentalitas. Bangsa Korea bisa maju setelah mereka mengubah kulturnya yang lembek menjadi kultur yang kuat"----dalam lembaran agenda itu tak tercatat. Apakah ucapan dikeluarkan profesor itu di seminar-seminarnya atau tercantum di dalam bukunya.  Yang terang Cik Yung mempunyai dua buku profesor itu---ia tidak pernah terkesan tentang statemen itu di dalam buku-buku tersebut. Buku yang dimiliki Cik Yung , yakni  The Clash of Civilization dan the Third Wave---memang  buku Huntington  ada beberapa judul lagi yang terkenal. Baiklah kita hanya mendengar kutipan itu menjadi pembahasan Cik Yung dengan tiga tamunya.

Cik Yung duduk diatas batu besar di bawah pohon nangka,  tamu-tamunya Pak Anton dan Pak Makmur ---keduanya tetangga kiri kanan, dan Pak Asnan ketua RT' ketiganya duduk di kursi rendah, mereka duduk saling berhadapan di car-port itu.  Kebetulan saja mereka mampir  setelah aerobic di pagi hari Minggu itu.

"Sampai di mana tadi jalannya," tanya Cik Yung kepada tiga tamu-nya.  "Ooo- keliling kompleks saja,  "  jawab pak RT.

"Saya hanya senam tera saja di atas tadi---tampaknya hujan tak jadi-jadi nih, mendung melulu. "  kata Cik Yung

Sementara, mereka  mulai melanjutkan pembicaraan  macam-macam tip kesehatan, dari masalah herbal dan jamu, akhirnya sampai juga ke masalah-masalah bangsa.  Sementara itu  teh hijau telah dihidangkan. "Memang sejak kemarin saya berpikir sambil mau mencari referensi tentang empat hal,  pertama apa itu kemajuan bangsa, kedua apa itu kejayaan suatu bangsa, ketiga  apa itu kultur atau budaya, dan ke-empat mentalitas "

"Saya pikir pimpinan nasional kita kurang directing di masalah ini," keluh  Cik Yung.   Yang lain mengangguk-angguk.

"Mungkin mereka disibukkan dengan menyelesaikan masalah mereka sendiri, masalah tugas jabatan-nya---tak sempat melihat jernih akar masalah bangsa ini " kata Pak RT  " Tengoklah ramai-nya seratus hari ini---malah kita yang melihat masalah ada pada mereka, mereka membuat masalah pemerintahannya, mereka membuat masalah sendiri--- dan kini kalang kabut mencari penyelesaian dan alasan---bingung mencari solusi."  Kesimpulan  pak Anton. "Sumber Daya Waktu terbuang-buang!"   Oh.   "Mereka membuat tindakan bermasalah---tidak dapat melihat apa side-efek yang bisa timbul, berapa luas akibatnya secara nasional.   Mereka menentukan visi, tetapi tidak menghayati visi dan  misinya.  Jadi program pelaksanaan-nya  kacau balau. Bangsa ini bukan saja suka tebar pesona ---yang anehnya, juga suka membuat tabir asap.  Mereka ber-empat tertawa. Hahehahe hahahe  heheha.  Memang lucu kok.  Seperti kisah the funniest animal.  Anak anjing mengejar ekornya.  Lucu !

Cik Yung melanjutkan "Kita tidak membicarakan buku Profesor Huntington, tetapi hanya kata-kata bijaknya saja , yakni ‘ Kemajuan atau kejayaan suatu   bangsa  sangat berkaitan dengan kultur atau mentalitas bangsa itu---(lanjutnya)....... bangsa Korea bisa maju setelah mereka mengubah kulturnya yang lembek menjadi kultur yang kuat', bagaimana ini ?"

"Kita ini bangsa yang lemah Cik, apa kelemahan kita ?  Mudah lupa dan melupakan !"  kata Pak Makmur  lugu.

"Bagaimana pendidikan kita akan menghasilkan warganegara yang berkarakter---sehari-hari gurunya menghadapi masalah ruwet dirinya, status kepegawaiannya, gajinya di potong macam-macam, fasilitas sekolah---ada yang ambruk, prabot tidak pantas ; dari kecil anak-anak itu ditanamkan kenyataan ‘bahwa inilah fakta yang harus di terima, kriteria kemiskinan'--- penyelesaian, keseimbangan keruwetan tadi, semua dengan uang yang tidak iklas.  Lihat dinas-dinas mengerahkan pegawainya, entah pegawai tetap apa jawilan, enggak pasti---menodong, memeras dan mengemis di tepi-tepi jalan. Itu tontonan dan pelajaran anak-anak kita.  Itu semuanya mengajarkan dan menjadikan ‘jiwa lemah'---menjadi  pengemis di tepi jalan dengan  memakai pakaian dinas, mobil dinas, motor dinas ‘.  Semua jadi kebal dan bebal terhadap fakta itu'.  Pahit dan suram bangsa ini. "

"Pekerjaan yang hina dina di pinggir jalan itu--- karakter koruptif jadi input bagi jiwa anak-anak bangsa turun temurun"  sergah pak Anton.  Di dalam benak mereka berkecamuk betapa ruwetnya masalah kultur bangsa ini. Sedih.

"Kultur koruptif ini mengalir dalam darah anak bangsa, menjadi paradigma di dalam mental mereka---mentalitas mereka menjadi lemah---comot yang bisa di ambil dengan mudah, rekayasa-manipulasi organisasi , undang-undang dan peraturan, sampai membuat prosedur yang manipulatif;  untuk mendapatkan kesempatan korupsi---kecil-kecilan sampai besar-besaran. Semboyan konyol mereka ‘yang bisa dipersukar mengapa dipermudah'---itu mental koruptif.  Jadinya kita mengalami ekonomi biaya tinggi---mengurangi daya saing bangsa ini menghadapi ekonomi internasional.    Modar enggak ?" Tanya Cik Yung.    Menyedihkan melihat kelemahan ekonomi kita dalam proses globalisasi ini.  Pahit !

Ditambahi Cik Yung , "Sekarang kita terikat pada perjanjian dan sistem internasional, katakanlah perdagangan bebas---mampus enggak kalau daya saing kita lemah----memang ini yang akan terjadi, "bangsa ini menjadi pasar", para Neo imperialis dan neo liberalis akan memelihara pertumbuhan kita, untuk menjamin pasar mereka.  Bangsa konsumtif---tidak produktif ---tidak bisa menjadi bangsa yang jaya.  Mengerti bedebah !"  amuk Cik yung.

"Cik jangan kami yang dimaki, Cik "  mereka tergelak-gelak, terpingkel -pingkel menertawakan bangsanya.

"Ini kita tertawa-tawa terpingkel-pingkel.  Begitu juga para neo imperialis , dalang neo liberalisme juga---- setiap saat menertawakan bangsa kita.  Apalagi kalau melihat tingkah polah kita yang terpesona melihat fatamorgana pertumbuhan.

Para economic hit-man terbahak-bahak melihat kedunguan kita, masuk dalam perangkap yang mereka pasang. Huh !"

"Nah-sekarang mengapa bangsa Korea yang dijadikan contoh, oleh profesor Huntington.  Konon dulu kultur dan mental orang Korea ‘lembek'----mereka merubah kultur dan mentalitas mereka menjadi kuat. Apa buktinya ?  tanya Cik Yung dengan mata bersinar-sinar seperti pendekar sedang berhadapan dengan harimau.     Memang dia pendekar  !

" Di bidang ekonomi mereka produktif---mereka membuat, bukan hanya menjual sumber daya yang ada---mereka produktif, dengan menciptakan syarat agar produktif.  Mereka tegas, cepat bertindak----karena pemimpin mereka orang-orang cerdas---hasil pendidikan yang berkarakter.  Mereka tegas menegakkan hukum---tega menyeret dan mengadili presidennya sendiri---kalau korupsi !"  Kemudian betapa konyolnya dia , yang merasa terharu melihat foto mantan Presiden Korea dibimbing ke depan pengadilan dengan tangan diborgol dan berpakaian pesakitan.  "Aku terharu melihat mantan presiden Korea diseret ke depan pengadilan----itulah kelemahan kita, mempunyai mental bangsa terjajah---menjadikan ‘pemimpin itu menjadi milik pribadi dalam paradigma di otak kita'----seolah-olah the leader can do no wrong !  Bodoh. Kutuk Cik Yung, mengutuk dirinya sendiri yang masih mempunyai mental inlander dalam bawah sadarnya.  Harus tega, begitu !

Pak Makmur menambahkan.  " Lima belas tahun yang lalu, bangsa Korea dengan kita----bangsa Indonesia masih dalam level yang sama di bidang ekonomi.  Saat ini mereka mempunyai kekuatan ekonomi dua kali kita. Itu kalau kita mau mengukur, kemajuan bangsa Indonesia---- itu bench-mark.              Harus ada tolok Ukur, jangan hanya orasi dan body language saja "  Suasana menjadi hening.   Mereka masing-masing berpikir membandingkan  Indonesia dengan Malaysia atau India. Oh - bangsa kita  sedang memainkan lakon ketoprak di panggung dunia.    "Sarip tambak yoso !"

Lihat parodi larangan terbang ke Eropa pesawat kita---itu penghinaan selama ini, sudah tiga tahun barang kali. Karena kita memang lemah me-manaje, pesawat utangan boleh baru, tetapi kalau maintenance management nol.    Loyo-Malu, tahu !

"Pendidikan harus mempunyai misi---National and Character Building.  Agar menjadi bangsa yang padu, kuat dan berkarakter.  Cerdas dan Produktif "  kata Cik Yung, sambil mengantar tamu-tamunya ke arah pintu pagar.

Keteduhan dan kesegaran pagi itu. Hutan dan hidup kita tidak berarti apa-apa---kalau negara maju enggan mengurangi emisi gas buangan industri mereka.   Konon Indonesia digolongkan mereka sebagai "developiing countries"---ya-negeri yang dideveloped  untuk menjadi penunjang kehidupan bangsa dan negara mereka.  Pikir Cik Yung.  Merdeka !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun