Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penghuni Gedong Tua (Cermin)

6 Maret 2012   23:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:25 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13310759951062770730

Sungguh mengharukan lirik lagu itu --- sangat menyentuh hati nuraninya, menghunjam tajam kehidupan pribadinya.

Lagu itu dinyanyikan pengamen remaja, barangkali umurnya sekitar 14 tahun --- Reni hanya menangkap sebaris lirik yang sangat pedih “…………….. Siapa yang mau menghuni gedong tua …………. Telah lapuk dimakan usia ………………..”. Lagu dangdut yang sangat melodius dan berlirik melankolis.

Waktu itu ia sedang menanti penambalan ban mobilnyadi Kopo. Berkali-kali Reni menarik nafas dalam-dalam menentramkan hati dan mentalnya yang rada terguncang.

Di rumah ia menatap wajahnya di cermin --- ia merasa wajah itu masih kencang, hanya satu noda hitam kecoklatan di tulang pipinya. Ia kuatir terhadap noda itu. Memang noda itu semacam andeng-andeng yang timbul menjelang manusia lanjut usia.

Ada rasa syukur bahwa selebihnya, wajah itu masih mulus kencang, putih-kuning langsep merona.

Mengapa ia menjadi sangat emosional ? bisik hatinya. Ia mencoba mendengarkan musik karawitan kegemarannya.Ia tambah langut.

Ia putar gamelan Bali untuk meronta dan menggedor emosinya yang menjadi sedih menatap masa depan.

Ketika tadi ia mendengarkan karawitan --- sekilas ia terkenang pada saudara kembarnya, Retty.

Apakah Retty lebih tentram di alam baka ?Reni menarik nafas dalam-dalam.

Ia yang masih berdiam di alam fana ini harus bagaimanapun akan menghadapi berbagai masalah hidup.

Sepertinya ada pula penyesalan-penyesalan yang mulai mendakwa kesadarannya.

Mengapa tidak engkau manage tata waktu kehidupanmu sebelum menjadi tua renta --- yang memang pasti akan dijelang ?

Anak tunggalnya Nusworini kini turut suaminya, Nakaya --- pria Jepang yang menyintainya. Ia tidak mau menggantungkan hidupnya kini maupun kelak pada belas kasihan anak.Ia selalu benci dan mengutuk bekas suaminya yang konon selalu meminta bantuan Rini.

Reni sadar jiwanya tidak boleh dibiarkannya merongrong seperti ini --- menuntut, menakut-nakuti, membuat cemas --- secara psikologis ia akan sengsara. Mungkin penyakit fisik pula akan menghampiri.

Ia resapi hentakan gamelan Bali itu --- ia menentramkan dirinya.

Reni kini mempunyai usaha laundry kiloan di Depok dan mempunyai 2 ruko yang dikontrakkan --- ia tidak mempunyai pensiun untuk diandalkan di hari tua --- tetapi ia memegang polis asuransi kesehatan.

Siapa yang akan mengurus dan mengantarkanjenazahnya kelak --- apakah ia akan menyusahkan keponakan, anak-anak Retty ?

Selintas ia menjadi ingat pada ayahnya yang bersikap --- tidak mau menyuap atau menyogok, ketika mereka dulu ingin melamar kerja jadi PNS di Departemen Dalam Negeri.

Ya, sudah (ia menarik nafas dalam-dalam lagi).

Ia harus melenyapkan segala penyesalan --- jiwanya harus tegar.Rongrongan psikologis yang menjadi monolog adalah bahaya yang mengancam kebugaran dan suasana batin awet enomnya. Kata bathinnya.

Ia terkenang betapa kecemasan sangat kejam mendera garis-garis tua di wajah --- (Reni paling kuatir dengan noda kekoleten --- yang mengambang di pipi banyak wanita).

Ia baru saja melihat berita.

Angelina Sondakh dikerubuti para wartawan ketika akan menghadiri sidang di DPR kemarin --- tampak otot bibir kirinya mulai turun --- wajahnya telah mulai redup pamornya (bagaimana bila otot pipinya pun akan menggaris turun pula ?). Reni berpikir Puteri Indonesia itu ‘kan masih muda sekali umurnya ?

Reni menganalisa mengapa pakaian Angie pun begitu klemprot --- krah blusnya terlipat, baju katun itu rada kusut --- walaupun jawabannya kepada watawan masih lugas ; :” saya sedang fokus kepada perkara saya “.

Reni bersyukur beban psikologisnya masih jauh lebih enteng --- ia memejamkan matanya, menyatukan jiwanya dengan hentakan gamelan Bali ……………… cak cak cak cak cak cak cak !.

[MWA] (Cermin Haiku – 20)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun