Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pak Moekahar Membalas Dendam dengan Granat [Planet Kemiskinan – 16]

26 April 2011   02:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:23 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13037841831342284289

Mungkin sudah 5 tahun ini Pak Moekahar beroperasi di daerah Cakung, dulunya di sekitar Jelambar.Ia merambah daerah-daerah perumahan di sekitar sana --- terkadang ia juga mangkal dekat pabrik baja. Ia ikut-ikutan  menjarah truk yang parkir atau baru datang membawa besi tua. Hasil di derah ini cukuplah untuk membiayai makan dan kopinya.Sampai pagi ini tempat ia tidur dan menjaga grobak-nya cukup aman.Di sekitar mulut pintu jalan Tol. Juga tempat ia beristirahat itu dekat dengan tempat mayat isterinya disemayamkan sebagai jenazah dulu.

Ia mengikhlaskan mayat itu dilemparkan Orang Pertamanan dan Satpol PP, sebagai gelandangan yang akan di Cipto-kan --- lantas entah ditanam di mana. ia ikhlas saja.Pojok kios itu dianggapnya tempat tanah pemakaman jenazah isterinya --- ia selalu menziarahi pojok itu.Ia tidak tahu kapan kios itu pun akan digusur. Pak Moekahar menghempaskan nafasnya, seperti ia menghempaskan karung yang tadi ia tukarkan dengan lembaran kardus.

Ia tahu isi karung itu besi tua --- ia lebih senang mendapat besi tua, karena mengepool-nya lebih dekat. Dan Haji Maksum bos pool rongsokan, Orang Panguragan, baik, selalu memberi utangan.

Debu dan bakteri beterbangan menggusur tempat duduknya di bawah pohon angsana.Adem, ia merasa bahagia --- sambil memandang jauh ke arah makam istrinya, di pojok kios kosong. Ia sandarkan badannya yang nyilu, dipandanginya borok kurap di pergelangan kakinya, kemudian ia mengaruk-garuk sikunya yang ceko. Siku kanannya itu ceko, kena peluru KNILdalam pertempuran di Kaliwedi --- hampir saja ia mati, peluru itu menyerempet bahu dan otot siku kanannya.

Moekahar terkenal kejam --- ia keturunan Orang Bedulan. Memang Orang Bedulan dan Bakung adalah Ekstremis yang kejam --- para pengkhianat, serdadu Belanda dan KNIL , kalau tertangkap pasti dicari orang kedua desa itu, untuk meng-eksekusinya.Dipenggal dan dipancung.Selama hidupnya itulah kebanggaannya. Ikut Perang Kemerdekaan.

Tahun 1950-an ia kena rationalisasi --- karena tidak bisa baca tulis Latin.Memang ia hanya bisa baca tulis Arab-Jawa. Ia kecewa dan sakit hati.Semula ia ingin bergabung dengan Tentara Islam Indonesia --- bertempur lagi,  melawan tentara pilihan.Tetapi ia sangat menyintai Kolonel Nasution --- Orang Besar yang pernah menyalaminya, dan menepuk-nepuk bahunya. Ia menyintai Nasution yang membangun Siliwangi.Yang menghancurkan Pemberontakan PKI Moeso.Ia akhirnya menjadi buruh tani di Gegesik, ia tidak mau tahu adanya pertempuran TNI dengan TII di sana. Yang hanya diinginkan-nya, agar ia aman bekerja untuk makan.

Moekahar setelah itu ikut merantau ke Jakarta, menjadi tukang beca --- seperti umumnya orang desanya, mereka mangkal di Velbaak.

Kebayoran tambah maju --- beca digusur, ia menjadi kuli panggul di Pasar Mayestik. Ia kawin dengan Iroh, mereka tinggal di Senayan --- ketika Rakyat digusur dari situ dipindahkan ke Tomang dan Tebet. Ia tidak mendapat pembagian --- karena ia pendatang, penyewa bayar bulanan.

Ia sangat kecewa --- temannya Mang Sarto mendapat bagian tanah kecil di dekat Manggarai, karena ia mempunyai Kartu Veteran, Pejuang Kemerdekaan Rengasdengklok.

Teman-temannya dari Batalyon Bojongloa tidak satupun yang diakui pengorbanannya --- tidak ada satupun yang diakui sebagai Veteran, dan mendapatkan tunjangan.Memang ada satu dua kuburannya dipasangi nisan Bambu Runcing dengan Bendera Merah Putih.Itupun setelah Kapten Soeramenggala, pengurus Legiun Veteran mengmbil inisiatif setelah Bung Karno jatuh.

Semua kenangan dan dendamnya sirna, begitu angin kering menerpa wajahnya. Ia meneruskan kerjanya, kerongkongannya disergap rasa haus --- ia memandang jauh ke pojok kios sana, makam terakhir istrinya, Jujum.Ia akan memilah besi tua, aluminium atau kuningan.

Menggelundung bola besi ke arah akar pohon.Dikutip dan diusap-usapnya.Ia tersenuym, benda itu dipangkunya. Ia terkenang Pertempuran di Kali Blongkeng, ia bertugas memegang rantai peluru --- menghadang tentara Belanda KNIL, di sana juga ada pengkhianat-pengkhianat yang wajah dan tubuhnya mirip sekali dengan dia dan kawan-kawannya. Mereka tertempur dengan ganas --- tanpa sadar jari kelingkingnya putus tergigit rantai peluru .Sijaruddin mati tertembak --- ia mengambil alih senapan mesin.Tretet teet --- tretet teeet.Mundur !

Ia terguling-guling dan terperosok ke Kali Blongkeng.Jari tangannya perih.Ia tarik pen granat yang tadi ia kantongi di saku dadanya..

Ciuuuuuuuuus Deraooooooorblong. Ia bangga sekali dengan tindakan kepahlawanan itu. Hanya tinggal itu kebanggaan dalam negeri ini baginya.

Di seberang sana Terminal Liar tetap hidup --- ia lihat oknum Perhubungan yang makmur sedang mengutip setoran, ia usap wajahnya , alangkah makmurnya Polisi, Hansip, PP, Tentara pakai loreng-loreng dan Preman pakai jaket --- mereka mudah sekali, dan tiap saat bisa meraup rupiah.

Besi loaknya ini hari akan disetorkan --- nyaur utang dan mungkin bisa untuk makan-minum, sampai besok terseok-seok kembali.Ia jadi mengingat lagi --- besok pagi ia pasti akan dipalak lagi oleh Satpam komplek, keluar masuk perumahan harus bayar pakai duit !    Ia terus menyikati benda bulat bersegi-segi itu, ia tersenyum.

Ia memakai sarung gombalnya, dengan baju kaos dan kemeja kumal, ia memakai songkok peyotnya --- dalam karungnya yang gembung, ada sajadah cantik, pembagian Hari Raya bersama Zakat Fitrah dan baju Koko --- baju telah dijualnya, sajadah itu disayanginya, bergambar Ka’bah yang dirindukannya.

Berdesakan di Kereta Api Ekonomi menuju Pasar Senen --- tidak ada tempat kaki menjejak, menyandar ke sudut pintu.Kereta Api melaju, manusia rapat seperti pepesan --- ia kuatir karungnya terdesak-desak --- mau ditarok di kaki tidak ada sedikit pun tempat, dipanggul di bahu ia kuatir memukul kepala penumpang lain. Ia gembol dalam pelukan di dadanya --- gumpalan isi karung pas di sisi perutnya.

Di sana ada Qur’an buruk yang di dapatnya dulu di tempat sampah perumahan --- ia merasa telah berjasa menyelamatkan Al-Qur’an. Di Pesantren dulu ia diajarkan tidak boleh, haram hukumnya menyia-nyiakan Al-Qur’an buruk --- walau pun hanya robekan selembar.Dicium dan lebih baik di bakar. Ia tidak membakar Qur’an buruk itu --- karena walaupun sebelah kulitnya telah tiada tetapi di sana masih ada Surah Al-Ikhlas, terkadang ia malu --- karena untuk hidup dalam kekotoran najis, ia jadi tidak teratur sholat.

Ia kuatir isi karungnya yang tergencet akan terasa pada tubuh penumpang lain.

Ia memandang ke Selatan --- ia mengikuti jalur Tower Listrik yang diingatnya --- lelaki 84 tahun itu tersenyum, masih lincah menyeberangi lalulintas.Ia tersedu sekejap, mengingat grobaknya --- ia tinggalkan begitu saja, biarlah diambil Martoyo, anak Kendal yang jadi gelandangan dan Pemulung. Ia tersenyum bisa menyedekahkan grobak itu.Kini ia telah ikhlas, terus menyeberangi jalan tanpa beban gerobak lagi. Ia bangga melewati Markas Brimob --- ia kenal lambang itu.Ia kemudian berhenti sebentar memandang ke Utara, ia bangga memandang lambang Marinir di gapura ---- selintas dilihatnya Puncak kubah Mesjid Istiqlal.Ia yakin telah benar berada dekat dengan Stasiun Gambir.

Jalur Busway dan arus lalu lintas Jalan Ikhwan Rais dan Jalan Merdeka Timur mengacaukan orientasi-nya --- ia melihat puncak emas Monumen Nasional.Ia yakin ia telah berada dekat dengan Istana Merdeka --- terlintas tempat ia dulu mangkal sebagai tukang beca.

Ia telah menyusuri trotoar cantik, ia raba pintu pagar kekar Taman Monas --- terasa ia begitu kerdil, sebagai Orang Miskin. Cuma ia kini bangga memiliki Granat Nenas yang bersih --- telah dibersihkan, ia yakin granat itu masih baru dan masih bekerja. Siapa yang membuang senjata ini ?. Ia bangga sebagai bekas pejuang, kini diujung kehidupannya masih memiliki senjata --- Granat !

Ia bukan mau melukai atau membunuh Orang Lain --- ia ingin memprotes sejarah hidupnya yang sial. Ia ingin mati sebagai pejuang yang berdarah.

Ia haus sekali, ia mencari-cari gedung besar putih dengan pilar-pilar --- dalam penglihatannya yang buram, ia mencoba menandai gedung itu.

Ia hanya mengingat Ajaran Kyainya di Sindanglaut; “ Lakukanlah setiap perbuatan itu dengan Niat. Karena Allah --- Bismillahirrahmannirrahim”.

Ia haus mencari-cari kran air di taman-taman yang dilewatinya.

Ya, Allah --- ia memeluk Qur’an di dalam karung, dan tangan kanannya yang ceko menarik pen Granat. Ciuuuuuuuuuus Glaaaar !

Kepingan daging Pejuang Kemerdekaan itu terlempar ke mana-mana --- cabikan sarung dan kemejanya berhamburan --- sobekan Lembaran Ayat-ayat Suci Al-Qur’an berserakan di jalan dan taman. Bongkah kepalanya tergeletak dengan mulut mangap tanpa gigi, di kaki Arca Gajah, anugrah Raja Siam.

Darahnya bersimbah di tembok dinding pagar Museum.Orang-orang berkerumun ketakutan, wajah dan mata mereka terbelalak kengerian.

Orang tua bangka melakukan Bom Bunuh Diri !

Seorang peñata taman di-interogasi Polisi, “ Ia tadi meminum air dari selang , kemudian berwudhu’ --- tidak mencurigakan pak “

Pengamat Terorisme dan Pengamat Intelijen memberikan keterangan di Breaking News : “ Kyai tua melakukan Bom Bunuh Diri --- besar kemungkinan ini adalah Otak Kaum Teroris yang putus asa ! “

Rakyat Indonesia kehilangan orientasi Ideolgisnya --- “ bahwa Kemerdekaan itu untuk dinikmati dalam Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia ”.

Amin.

[caption id="attachment_103261" align="alignleft" width="300" caption="Kecewa - Putus Asa ............sangat dekat dengan Kenekadan."][/caption] *)Foto ex Internet

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun