Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mini Cerpen (28) April Kemenangan bagi Single Parent

30 April 2010   14:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:29 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Keluarga kami adalah Keluarga Tangguh --- itu tradisi dalam keluarga.Kami dididik tak mengenal menyerah --- kami harus sukses !”Harapan Lusyati terhadap anak tunggalnya, Maryati --- telah dikabulkan Allah, Maryati lulus UN sebagaimana  semua mendoakan-nya.


Maryati lulus dengan nilai yang bagus sekali. Lusyati berlinang air mata --- anaknya lulus tanpa disaksikan ayahnya.Ayahnya Drs Syam Adiwardhana Huppe, turut meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang di SelatMakassar.Lusyati selalu membakar semangat anaknya – "anak yatim harus sukses."

 

Lusyati menanti kepulangan Maryati --- dia pergi bersenang-senang dengan teman-temannya termasuk beberapa yang belum lulus --- akan turut ujian ulangan berikut ini.Anak-anak itu pamitan pagi tadi --- janji akan pulang sebelum Isya. Lusyati ingin anaknya juga mengerti kesuksesan harus diperjuangkan dengan perencanaan --- harus sadar akan langkah-langkah yang harus ditempuh, dan mempersiapkan diri.

 

Maryati berjalan ke ruang tengah di mana ia biasa duduk menanti kepulangan suaminya --- ada satu set meja kopi yang menjadi favorit suaminya, barang antik yang mereka beli di Ciputat.Kini sudah dua tahun kebiasaan itu tidak bisa dilakukan lagi. Suami tercinta telah berpulang.Ia selalu risi duduk di situ sendirian --- tetapi lepas senja ini ia ingin sekali duduk di situ. Sambil menanti Maryati pulang.

Dari kursi yang didudukinya, ia bisa memandang foto mereka bertiga --- sewaktu Maryati lulus SMP.

 

Suatu saat waktu arisan ada teman yang menyletuk --- tidak boleh berfoto bertiga. Nanti salah satu akan meninggal.Mereka semua yang arisan tertawa gembira. “Tentu salah satu akan meninggal lebih dulu --- wajar saja”.Memang ada pantangan demikian , tetapi tidak dimasukkan di hati --- terkadang dulu kalau ia menunggu suaminya pulang kerja --- memang terpikir, siapa gerangan yang akan meninggal dunia lebih dahulu.Tetapi tidak pernah tuntas terpikir bahwa ia akan meninggalkan kami --- “dan aku harus membesarkan Maryati sendiri."Dulu juga terbayang bagaimana kalau kami sewaktu-waktu nantimantu menikahkan Maryati.Hati Lusyati galau antarakenangan mengiris hati dan kebahagiaan anaknya lulus UN.

 

Di ruang keluarga itu, Lusyati dan suaminya biasa juga dulu, mendengarkan Maryati memainkan lagu-lagu pelajaran di Kursus musiknya. Kini memang Maryati terkadang memainkan piano dengan lagu yang disenanginya.Tetapi Lusyati hanya mendengarkan sendiri --- dan memuji anaknya itu, sendiri pula.Ia terkenang lagi pada suaminya yang berpulang ke Rakhmatullah tanpa diketahui dengan pasti makamnya.Mereka hanya ikhlasayah Maryati di pusaranya di Laut Sulawesi.

 

Lusa, rencananya mereka akan mengadakan jalan tamasya, sambil menyekar keLaut Sulawesi, tepatnya di Selat Makassar mereka akan menabur bunga --- mendekatkan kenangan dan mencoba berkomunikasi dengan almarhum.“Maryati lulus, ayah”

Mereka akan berangkat ke Surabaya dengan Kereta api, dilanjutkan dengan kapal Pelni menuju Pelabuhan Makassar, kemudian mereka akan ke Manado --- menyekar makam Oma dan Opa Maryati.Dua tokoh dalam hidup Lusyati yang sangat mengagumkan, banyak memberikan tauladan dan bimbingan untuk selalu bertekad untuk maju.

 

Ia ingat satu cerita si Opa yang turut dalam perjuangan kemerdekaan --- hasil ekspor penyelundupan kopra mereka selalu ditukarkan senjata dari orang Moro --- untuk tujuan persenjataan para pejuang pemuda di tanah kelahiran mereka.Opa juga adalah seorang sosialis yang sangat besar jasanya dalam memajukan Pendidikan di Sulawesi --- ia selalu membantu untuk kemajuan masyarakat.Tetapi banyak tokoh masyarakat yang enggak habis pikir --- Mengapa Opa tidak pernah dihargai perjuangan kemerdekaannya.Dianggap Veteran saja enggak. Memang dasarnya sifat Opa yang ikhlas ia tidak pernah mengurus dan memperjuangkan hal-hal itu.Ia berjuang ikhlas.  "Saya berjuangbersama Bung Syahrir --- Bung Syahrir mengakui dan menghargai perjuangan saya, sudah cukup”‘ kata Opa selalu.

Memang mungkin sifatnya dan nasibnya juga seperti Bung Syahrir.“Berjuang untuk Indonesia, bukan mencari penghargaan, tetapi meletakkan Kemerdekaan untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia” . Begitu Opa selalu menyimpulkan perjuanganan-nya dan Bung Syahrir.

 

Rencananya pada saat ujian masuk ITB, nanti mereka akanke Bandung --- sebelum ujian Maryati dan Lusyatiakan mampir ke Sumedang, untuk menyekar kedua orang tua Lusyati, nenek dan kakekMaryati --- Nenek dan Kakek Maryati di-makam-kandi Pemakaman Muslim di Selatan Kota Sumedang --- di Pemakaman yang sama dengan Pahlawan Nasional Cut Nya’ Din.Setiap mereka ke Makam Nenek dan Kakek, tentu Lusyati menziarahi makam pahlawan nasional itu --- sambil memompakan semangat “wanita Indonesia adalah setara dengan pria” --- sejak nenekmoyang telah ditanamkan itu. Lihatlah perjuangan Cut Nya’ Din --- Ia mampu menjadi Komandan tempur menggantikan suami-nya untuk berperang mengusir Belanda dari Aceh.

 

Almarhum “Mami dan Papi” dulu memang selalu menanamkan semangat “berkompetisi” --- semangat untuk menang dalam ujian.“Hidup adalah ujian --- jangan kuatir menghadapi ujian.Siapkan diri jauh hari, proaktif terhadap kewajiban apa yang diperlukan untuk memenangkan ujian” Ya, mami dan papi hanyalah anak petani di Sumedang, tetapi mereka adalah mahasiswa yang mandiri --- mami kuliah di Universitas Diponegoro dengan kiriman yang pas-pasan --- tetapi ia berhasil mencapai gelar Dokter.Begitu pula papi, ceritanya ia ber-cita-cita masuk ADLN --- tidak berhasil, dia disarankan masuk FakultasHukum di Undip.Tetapi nasib membawanya ke Fakultas Ekonomi.

Mami dan Papi adalah pejuang Angkatan 66 di Semarang.Mereka tokoh yang pasti dikenang oleh masyarakat Orde Baru di sana. Walau kini sisa mereka telah tua-tua, tetapi mereka dibanggakan sebagai pemuda yang berani dan bertanggungjawab terhadap nasib bangsanya.

 

Nasib, mereka mati bersamaan dalam kecelakaan mobil di Cadas Pangeran tahun 2005. Ajaran mereka selalu diingat anak cucu sampai kapan pun, karena mereka mengajarkan “Kesuksesan hanya dapat diraih dengan Lulus Ujian --- siapkan dirimu sejak jauh hari !”

Lusyati dengan enam saudaranya ingat itu --- maka mereka sukses semuanya.

 

Belum ada tanda-tanda Maryati segera tiba.Pantang bagi Lusyati menelpon di manaanaknya berada.Dulu juga begitu, dia tidak pernah sekali pun menelpun keberadaan suaminya.Maryati harus tahu bertanggung jawab --- seperti ayahnya dulu.Pulang sesuai dengan janji.

Setelah suaminya meninggal dunia --- Lusyati kembali bekerja.Sebenarnya ia telah 23 tahun tidak pernah bekerja kantoran --- setelah suaminya meninggal ia dengan cepat, mendapat tawaran bekerja --- ia bekerja menjadi Manajer di salah satu BPR di Bogor.

 

Kini “Head-hunter” telah menawar dirinya untuk jabatan di salah satu Bank Swasta.Sedang dipertimbangkannya --- dulu walaupun ia tidak bekerja, tetapi ia aktif di kegiatan sosial --- di Rotary Club dan PMI, dikenal sebagai Manajer, Organizer dan Leader yang mumpuni dalam bekerja.

Di umurnya yang telah 48 tahunia ingin menunjukkan pada anaknya --- Kesuksesan hanya bisa dicapai apabila kita konsisten dalam menyiapkan diri.

 

Didengarnya suara motor berhenti --- sebenarnya ia tidak suka anaknya berboncengan motor , banyak bahayanya.Kalau ada duit boleh naik taksi yang aman ---kalau tidak ada mobil teman mengantar, tidak ada duit --- harus naik angkot !

Ia intip dari sebalik gordyn --- di depan gerbang, di bawah gapura, ia menyaksikan anak gadisnya --- berciuman . Rupanya Maryati telah mempunyai pacar, ia menganggap dirinya sudah cukup dewasa, 18 tahun.

Lusyati terperangah --- ia baru menyadari bahwa anak gadisnya kini telah dewasa.“Ia boleh merdeka --- tetapi Maryati harus berpacaran dengan bertanggungjawab”.Lusyati menyembunyikan sikapnya se-olah-olah ia tidak menyaksikan adegan mesra itu. Oh-Maryati !

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun