Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mini Cerpen (15) Lelaki Idaman

16 Januari 2010   01:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:26 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ayah Maya meninggal dunia saat ia berusia 4 tahun. Ayahnya seorang atlit di kotanya. Pergi berlatih ke stadion---terjatuh, pingsan , dibawa ke rumah sakit---tidak tertolong. Sejak usia itu, ibunya membawanya pindah tinggal bersama Eyang kakung, ayah ibunya. Mereka tinggal di daerah pertanian di pinggir kotanya.

 

 

       Eyang kakung mendidik Maya sejak itu. Turut ke Sawah, menyaksikan penyerbukan vanili, dan cara penggemukan sapi. Sementara ibunya sejak dulu memang mengerjakan penjahitan---menjahit pakaian muslim yang telah dipotong dan dibordir, ibunya tinggal menjahit menjadi baju selesai. Tugas Maya membantu melipat dan memasukkan setiap pakaian ke dalam plastik label.Sehingga dalam kehidupan se-hari-harinya Maya sibuk dan sangat memahami rutinitas kehidupan untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga.

 

 

       Ibunya hingga Maya dewasa, tetap tidak menikah lagi. Dulu dianggapnya wajar-wajar saja---memang Maya juga merasa tidak nyaman –kalau ibunya menikah dengan lelaki yang membuat mereka menjadi susah. Seperti kisah dan dongengan orang tentang ayah tiri. Tetapi setelah ia mengerti bahwa manusia perempuan dan lelaki harus berpasangan, ia heran juga mengapa ibu tidak memilih suami lagi.

 

 

       Setelah Maya tammat Sekolah Menengah tingkat Atas, ia bertekad tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia ingin tetap di desanya bersama ibu dan eyangnya. Ia senang sekali bahwa usaha pertanian mereka bertambah maju---bahkan ini yang luar biasa mereka alami dalam tahun ini, gudang vanili eyang di punggung bukit dimasuki burung walet. Gudang itu telah lama sekali tidak digunakan, hanya menjadi tempat penyimpanan alat-alat pertanian dan menimbun panen palawija se-waktu-waktu saja.

 

 

      Maya dan eyangnya banyak mempunyai rencana dan angan-angan indah tentang kehidupan masa depan keluarga mereka. Eyang mengatakan “Tidak apa-apa kalau harga vanili turun , tetapi harga sarang burung waled tetap tinggi, dan menanjak terus. Kalau hasil sarang burung bisa mencapai tiga kilo setiap panen---mereka akan menjadi orang kaya. “Wah.

 

Hasil penjualan sarang burung kini mereka tabung saja, untuk membuat bangunan pemeliharaan burung waled yang lebih besar dan tinggi. Rencananya akan dibangun di undakan yang lebih rendah dari gudang sarang kini. Mudah-mudahan proyek itu bisa terwujud tahun depan.Eyang dan Maya sangat bahagia bila melihat kawanan burung warna hitam putih kelabu itu bersileweran, pergi dan pulang ke sarang mereka di gudang di atas bukit.

 

 

       Malang tak dapat ditolak, Mujur tak bisa diraih---eyang terjatuh, dan meninggal dunia, ia terkena stroke. Menurut dokter eyang terkena stroke, gelap terkesiap pada saat otak eyang tidak mendapat oksigen---pembuluh darahnya tersumbat, buntu dan pecah. Eyang meninggal setelah beberapa saat koma, tidak sadarkan diri. Kematian eyang memukul jiwa dan hati kedua wanita itu. Ibu dan Maya.

 

Maya merasa kehilangan sekali. Ia mengkuatirkan sekali, bagaimana kalau atap rumah bocor, yang selama ini ---eyang sendiriturun tangan. Saluran pembuangan air dari kamar mandi atau dari dapur macet. Pagar ambruk. O dulu eyang mengerjakan sendiri semua perbaikan itu. Dan Maya senang sekali membantu menjadi kenek ---Maya sangat mengerti pekerjaan tukang begitu. Dia tidak canggung, tetapi kini ia tanpa eyang sangat terpukul.Proyek pemagaran gudang sarang waled belum selesai waktu eyang meninggal---terpaksa Maya yang mengawasi langsung tukang-tukang. Gudang itu dipagar tinggi dua meter, kemudian sekeliling halaman rumah dengan bukit itu , sejauh 700 meter keliling dipagar tembok 80 centi plus kawat berduri satu meter. Sehingga gudang waled dirangkap dua pagar. Walaupun proyek itu berhasil dibangun tetapi Maya tetap merasa tidak puas dan merasa kehilangan peran eyangnya.

 

 

       Peran eyang sebagai lelaki di rumah tidak bisa digantikan, tukang bisa diupah, penjaga malam bisa disewa---bagi Maya ia tetap merasakankehilangan peran lelaki, eyang. Ia tidak berani lancang membicarakan hal ini pada ibunya---agar kawin dengan lelaki pilihannya.Maya kini merasanyaman kalau pun ada ayah tiri di rumah mereka. Dulu memang ada keengganan menerima suami ibunya, ayah tiri. Kebetulan pula ibunya dingin saja soal bersuami lagi---jadi terlanjur mereka tidak membutuhkan ayah tiri buat Maya. Itu dulu !

 

 

       Eyang almarhum suatu saat mengagetkan Maya---menanyakan apakah Maya sudah ingin menikah.Maya malu sekali, ia menjawab “belum”, sambil tersenyum. Eyang seolah-olah bisa membaca isi hati Maya.Eyang bercerita tentang primbon memilih jodo---dulu eyang juga mengajarkan ilmu rajah tangan. Kini eyang mengajarkan “katuranggan lelaki idaman”. Eyang mengatakan akan ke Bumiayu menemui teman lamanya yang banyak mempunyai anak lelaki. “May, calon suamimu harus berlatar belakang pertanian. Tubuhnya harus padat, otot lengannya tebal, mukanya manis—hidung mancung besar dan panjang. Nanti bulan Muharram eyang meninjau ke sana “. Wah Maya tersenyum kalau membayangkan pemuda yang akan dijodokan eyang untuknya. Tetapi eyang telah meninggal sebelum bulan Muharram, bulan eyang merencanakanakan ke Bumiayu.

 

 

       Ibu tadi pagi ke pasar sambil mengantar jahitan ke toko---usaha ibu juga maju. Kini ibu bekerja dengan delapan orang pembantunya. Ibu mempunyai sepuluh mesin jahit macam-macam kecepatan. Dan satu mesin obras dan sejumlah mesin pembantu. Rupanya ibu sangat terhibur dengan usaha penjahitan-nya. Setelah Maya dewasa ia juga heran bertanya-tanya dalam hati,mengapa ibunya tidak doyan kawin. Sampai sekarang pun ada saja kabar bahwa ibu diminati pria.Dari dulu macam-macam cara penolakan ibu---masalah anak kedua belah pihak-lah, atau tidak mau dimadu, dan macam-macam lagi. Hingga eyang almarhum tidak pernah mau membicarakan hal itu.

 

 

       Ada tiga penjahit ibu yang menemani mereka di rumah. Agar rumah tidak terlalu sepi, juga untuk teman di malam hari. Di luar, kalau malam dijagapaklik Sanusi dan Mulyo, ronda dan menjaga lingkungan rumah, sampai ke gudang waled. Rasa aman sudah terjaga, tetapi kesepian tanpa suara lelaki sangat menggoda Maya, malah lebih dari itu barang kali. Karena ia telah19 jalan dua puluh tahun kini. Ia juga mencemaskan usaha pertanian warisan eyang. Penggemukan sapi kini dilepas, karena tidak tertangani pencarian rumput---dulu eyang menjeput rumput dari para penyabit di rumah mereka masing-masing. Kemudian penyerbukan vanili walau diawasi langsung oleh Maya, tetapi produksi menurun terus.

 

 

       Selesai sholat Zuhur, sepulang dari pasar tadi---rupanya ibu ingin mengajak rundingan di beranda sambil minum dawet oleh-olehnya. “Begini ya May---kamu mengenal ustad Syarif al Hindi ?”Maya tersenyum.

“ya- bu, waktu acara Maulud di mesjid---kemudian kedua kali waktu proyek pemagaran itu, ia datang ke gudang waled---katanya kasihan melihat saya berpanasan mengawasi tukang. ‘Saya bilang saya suka pertukangan, karena mengenang jasa eyang’---enggak masalah panas sedikit. Terus cerita macam-macm-lah, itu saja yang agak lama.‘Kan ustad Syarif gurunya ibu .”

“Begini, tadi ibu berjumpa ustad di pasar---katanya ingin ke rumah. Ibu bilang ‘urusan apa’---katanya ‘urusan pribadi yang dulu itu'. Memang melalui ibu hajjah Trisminah ‘ia ingin melamar ibu’, ibu langsung menolak “.

“Kenapa sih bu, ibu enggak ingin menikah lagi ?Maya ingin mempunyai bapak di rumah, lho.”

“Karena urusan pribadi yang ibu tahu maksudnya---ibu bilang, wah jangan ke rumah. Mari kita bicara singkat saja di taman Mushalla pasar. Ajakibu.” Kami bicara berhadapan di bangkutaman.Sambil minum es kelapa muda.Ibu dan Mayasaling berpandangan dan melempar senyum.

“Ibu pertegas bahwa sebagaimana jawaban melalui ibu hajjah Trisminah, sekarang ibu mengatakan tetap tidak bisa, tidak ada minat untuk menikah lagi.Waktu saya masih muda saya telah bertekad cukup sekali saja menikah---apalagi kini saya sudah tua, dan anak saya sudah gadis. ‘Terima kasih ustad’kata ibu.Maya tersenyum lebar “Bu mengapa ibu tidak mau menikah lagi ?Kita kesepian lho bu !”ibunya menjewer telinga Maya.Mereka tertawa-tawa.Ibunya jengkel.

“May, terus ustad bilang begini ‘bu- kalau ibu tidak mau pada saya , bagaimanaapakah ibu berkenanapabila saya melamar Maya ““dalam hati ibu mendongkol banget, kok bisa-bisanya mengincer dua-duanya---apakah kamu sudah tahu kalau ada sinyal demikian ?”

“Enggak bu, enggak pernah bicara begituan---selain soal pagar dan bangunan.

 

       Memang dia bercerita bahwa ia pintar memelihara kambing etawa dan memerah susu sapi atau pun kambing etawa. Wah tidak bu”melihat ibunya jengkel Maya tertawa terpingkel-pingkel.Dua wanita itu memang kesepian barangkali.

“Ibu bilang ‘tidak ustad’ anak saya sudah ada yang punya ‘.

“Wah ibu mematikan pasaran nih.”Mereka terus tertawa terpingkel-pingkel, berpelukan.

“Bu, saya mau menjadi isteri ustad, biar dimadu---dia ‘kan sudah punya istri ya bu ?” ibunya melonggarkan pelukan, mereka saling menatap dan tersenyum lebar.

“Kata eyang dulu---kalau mencari suami harus mempunyai latar belakang pertanian, tegap, lengan besar—oh, otot lengan tebal, muka manis hidung mancung-besar-panjang. Itu ajaran eyang !ustad ‘kan tegap ganteng ! ”

“E dengari –dia sudah beristeri, mengajar kemana-mana, sudah mempunyai anak---mana mungkin ia mengurusi pertanianmu. Ha ?” Kedua wanita duduk lagi dan meminum es dawetnya. Nikmat.

“Biar hidungnya besar, ia bukan jodohmu. Ibu tidak setuju !”Mereka tertawa lagi

“Bu kita dua-dua harus menikah sama bujangan. Biar rumah kita ramai kembali bu.Dulu eyang sebelum meninggal, kira-kira dua bulan sebelumnya---berjanji akan mencarikan calon suami untuk Maya, anak teman-nya di Bumi ayu. Enggak rejeki bu—eyang wafat sebelum ketemu jodoh untuk Maya. “

“Jadi kamu sudah kepingin kawin. Ha ?”Maya mengangguk, ibu-nya terbelalak matanya.Dua anak beranak itu tertawa kembali.Kemudian senyap. Ibu Maya menyadari bahwa ia harus mencari calon suami untuk Maya, anaknya.

“Ibu akan merundingkan dengan ustadzah Hajjah Nurzainab, untuk membantu kita mencari calon yang tepat untukmu.Juga ibu akan mengundang pakde Sayuti kemari, dan mbah Komar dari Indramayu”

“Ingat wasiat eyang lho. Pemuda ganteng , tegap, lengannya berotot tebal, hidung mancung besar dan panjang. “ sambil tertawa dilanjutkan Maya “ Anak petani--- sekolahnya lulus SMA atau Aliyah . tidak apa-apa”.

 

 

       Malamnya Maya hatinya berdebar-debar.Ia membayangkan berkejaran dengan suaminya di sekitar bukit waled.Kemudian mengurus penyerbukan vanili di kebun, memeriksa pakan sapi, dan kemudian lari-lari lagi ke sawah---sawah harus bisa dipanen tiga kali seperti jamannya eyang.………….kemudian hamil dan mempunyai anak.Lari-lari bertiga di lapangan badminton. O jangan lupa aqiqah.Pesta mengundang anak yatim piatumerayakan ulang tahun anak,mengundang anak yatim piatu lagi di bulan Muharram. Aduh bahagia sekali.

 

       Ia memeluk dan mengepit bantal gulingnya se-erat-eratnya. Diciuminya “Anak pertama perempuan apa lelaki ya “ia memikir sebentar “ Lelaki ah, biar ramai “.Maya berdoa.

 

Maya tertidur dengan damai---semoga usaha ibu dan keluarganya segera terkabul. Amin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun