Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menjelang Pensiun Koit Narkotika, Anak-yatim Narkotika; Tragis [Mini Cerpen -83 Novelet 01/6]

15 Juli 2011   13:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:39 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1310735025533462993

Maya dapat kesempatan mencurahkan isi hatinya pada Ustadzah Munawaroh --- mereka duduk di serambi Masjid, setelah pengajian Tafsir dan Fikih.Maya merasa sangat ciut melihat wajah sehat sang ustadzah, dengan mata tajam, alis tidak dicabut --- lebat memukau. Sekali-kali ia mencoba melirik lengan sang ustadzah, ajaib mulus tidak berbulu.

“Ukhti, mungkin dikau memahami kehidupan saya yang rusak-rusakan --- saya bersyukur pada Allah, bahwa saya dapat diselamatkan ke Pesantren ini --- tetapi ukhti, ‘kan hidup harus berlanjut --- ini yang sangat membebani saya saat ini.Saya gamang”. Ustadzah Mun tetap mendengarkan dengan seksama.

Senyap sebentar --- biasa angin di Parungkuda terkadang sepoi-sepoi sejuk.Mengibaskan anak rambut kedua wanita itu, yang keluar dari jilbab di sela kening mereka.

“Saya akan dinikahkan Orangtua --- tetapi saya belum siap ukhti.Saya takut dan kuatir sekali.Apakah ukhti telah mendengar kabar ?’

Ustadzah Mun hanya menggelengkan kepalanya --- sambil menatap tepat mata Maya.

“Kalau belum siap nyatakan saja --- saya juga sudah lima tahun mengabdi di Pesantren ini. Memang saya tidak terlibat dengan narkotika secara langsung.Tetapi hidup saya ini --- hancur-hanyut karena bala yang menimpa keluarga, kasus narkotika juga.Keluarga kami mengalami musibah naas .”

Kedua wanita itu melakukan jeda --- untuk masing-masing menerawang menyusuri jalan hidupnya.

“Saya juga telah tiga kali ditawarkan Kyai untuk menikah dengan calonnya --- saya menolak dan menunda-nunda”

“Apakah calon kyai dari kalangan pesantren kita ini ?”Ustadzah menggeleng, dan kemudian : “Ya salah satu dari tiga calon, benar dari pesantren kita ini “

“Alasan pribadi saya, pastilah yang menyangkut sejarah kelam sebagai pecandu narkotik --- tetapi yang paling menakutkan adalah keadaan saya yang tidak suci lagi”

“Oh, kalau begitu kamu adalah janda tidak bersurat, perawan pun bukan ……………saya masih perawan, tetapi belum siap untuk mengurus keluarga --- ada satu tekad dan cita-cita yang ingin saya tunaikan.Saya sekarang ingin menguasai bahasa Arab, ada seorang Mubalighat yang anggota DPRD, akan mengurus bea siwa untuk saya belajar di Libya……………..”

Mereka saling memandang.Maya membuang mukanya ke arah Gunung Salak di barat mereka.Ustadzah Munawaroh tidak berminat menelusuri lebih jauh siapa calon pasangan bagi Maya.

“Memang narkotika adalah ancaman kehidupan, bukan saja jiwa raga tetapi juga --- seluruh jaringan ahli waris terkena imbasnya…………dalam kasus keluarga saya --- ayah saya yang tanpa kami ketahui, ia terlibat dengan barang laknat itu.Ternyata ayah yang kami kagumi itu lebih dari sekadar pecandu narkotika --- ternyata dalam usianya yang ke-53 ia terlibat dengan barang-barang haram, prilaku jahanam, dan menghancurkan seluruh kehidupan kami ………….parah sekali”,Maya bergetar mendengarkan pengakuan ustdzah, ia menyaksikan wajah murung Sang ustadzah.

Panjang lebar ustdzah menguraikan riwayat hidupnya --- bagaimana dan mengapa ia akhirnya mendapatkan hidayah Allah untuk bekerja dan mengabdi di Pesantren itu.Ia menjadi perawat para korban narkotika yang wanita.Ia menambahkan betapa banyak ia menyaksikan korban narkotika yang mati dalam proses rehabilitasi, dalam proses pengobatan --- yang mati menderita HIV/Aids dan berbagai penyakit yang mengerikan.

“Ayah saya mabok overdosis di tempat pelacuran di tepi perkebunan kelapa sawit di Pelalawan, Riau --- ia kemudian didakwa sebagai anggota sindikat narkoba.Ia juga konon telah mengidap HIV --- dia dan kawan-kawannya ada tiga orang menjadi bulan-bulanan pemerasan.

Bundaku kurus kering menanggungkan bagaimana mengusahakan permintaan uang ayah di penjara --- keluarga kami habis-habisan.Bukan ssaja pemerasan tetapi dakwaan untuk ayah luar biasa --- akhirnya ia dipecat dari Dinasnya tanpa hak pensiun.Ia mati dalam keadaan sakit yang mengerikan --- dan mati sebagai narapidana narkoba…………kami tiga beradik akhirnya menjadi yatim piatu tercerai-berai……………….yah 7 tahun yang lalu”

“ Adik saya yang lelaki menyeberang ke Malaysia bekerja di perkebunana kelapa sawit di Johor Baru --- ia merantau karena malu, adik perempuan saya yang bungsu, setelah berumur 15 tahun, ia berniat merantau juga ke Malaysia --- tetapi kapal mereka yang disponsori Tekong, karam dekat Pulau Berhala --- tidak ada kabar beritanya, dari mana pun.Saya hanya mendengarkan dari potongan berita dari macam-macam orang dari Riau.Saya sebagai anak sulung --- waktu ayah dan kemudian bunda menyusul, saya  baru berumur menjelang tamat SMA. Setammat SMA saya bekerja di Konveksi di Pekan Baru …………..saya ingin menyelamatkan adik perempuan saya.

Naas bagi nasib kami --- kami terpisah karena saya ditawari bekerja di Batam. Ternyata saya dijual ke Apek-apek untuk diperkosa --- saya hantam kepala si Apek dengan standar lampu kamar .Ada 8 bulan proses hukum yang saya alami untuk membebaskan diri dari urusan hukum itu --- sampai saya mendengar pula kisah sedih yang dihadapi adik perempuan dalam pelayaran ke Malaysia …………….dalam keadaan merana dan compang-camping, saya bertemu Buya Kyai, dan menawarkan untuk nyantri di Parungkuda…………………….”

Datar saja ustadzah Mun menceritakan nasibnya --- ia ingin berbagi dan mendorong Maya, bahwa ia masih lebih mujur hidupnya………………..

“Di sini kita harus berani menatap hari depan --- itu yang selalu diajarkan Kyai.Allah telah menempatkan kita pada track yang benar. Tataplah dan mulailah menata hidupmu”.

“Saya belum berani ustadz” Keluh Maya berputus asa.

“Karena tawaran perkawinan itu ?”

“Ya, Ibu-Bapak saya tentu melihat ini jalan yang akan tepat untuk saya jalani. Kawin dan berkeluarga --- apalagi ini adalah inisiatif Kyai menjodohkan dengan seorang lelaki yang terhormat --- saya yang tidak mampu menjalaninya, ustadz ”.

“Berilah alasan penundaan yang baik.Insya Allah engkau mendapat cukup waktu untuk berbenah…………..” Maya mencium tangan ustadzah.

Tampak gamis dan ujung jilbab ustadzah yang panjang melambai-lambai.Di tiup angin yang meluncur dan terpaan dinding Gunung Salak.

Maya kembali mengenangkan betapa cerita riwayat hidup Sang Ustadzah sangat mengenaskan. “Seorang ayah yang mati di penjara dalam dakwaan narkotika --- kehausan narkoba, dan pahit getirnya menghabiskan harta yang dikumpulkan bertahun-tahun --- dan sirnanya harapan seorang isteri dan anak-anaknya……….tragis hidup ketiga anak-anaknya.Kiranya Ustadzah Munawaroh sangat beruntung, jalan telah terbentang untuk dilalui --- ia menunda perjodohan, untuk suatu cita-cita.Adakah masih cita-cita untuk ku ?”Demikian kesimpulan percakapan di dalam benak Maya.

[caption id="attachment_119813" align="alignleft" width="300" caption="Selamatkanlah Hidup dan Hari Depan Bangsa-mu --- Bantulah pemberantasan Jaringan Peredaran Narkoba !"][/caption]

Ia menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangannya --- terasa tonjolan tulang pipinya. Ia berdebar dan ngeri --- ia berencana akan tes HIV/Aids di Puskesmas dalam beberapa hari ini…………………. (bersambung Novel 01/7) [MWA]

*)Foto ex Internet

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun