Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makuthang Memperkosa --- Mati menjadi Hantu

15 Februari 2012   10:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:37 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13293038611011655532

Teror Makuthang terjadi setelah ia menanjak dewasa --- mungkin saat itu ia berumur 16 tahun. Karena anak-anak sekolah yang bertahun-tahun melewati rumah dan kebun pisang Makuthang saat itu telah pula berada di Taman Madya.

 

Kalau kita perhatikan Monyet, Beruk, Siamang --- jenis-jenis primata lainnya (mungkin  Orang Utan, Bekantan atau Kingkong), mereka selalu terlihat terangsang bila ia senang diusik para penonton/pemerhati manusia jenis perempuan.

 

Makuthang pun wajar, walau kondisi fisiknya begitulah --- tetapi organnya bagus, prima dan ber-ukuran standar impian kaum lelaki.

 

Karena ia sukar diberikan pakaian --- emaknya telah berupaya memberi celana, tetapi kondisi paha, tungkai, dan betisnya --- memang tidak pas untuk dipakaikan celana (apalagi jaman itu, yang dipakaikan barang kali celana bapaknya yang Orang Bengali itu).

 

Hal hasil masyarakat yang lewat lebih sering melihat Makuthang bertelanjang dan diikatkan di bale balenya. Sering dia ereksi.

 

Anak sekolah yang kecil-kecil, yang besar-besar, yang SD, SMP, anak-anak gadis, pemuda lajang, ibu-ibu, bapak --- pokoknya orang yang akan memotong jalan, kebun Makuthang adalah jalan pintas.

Melihat Makuthang adalah jantan --- ia juga terkadang bisa lepas dari ikatan emaknya.

 

Makuthang seperti biasa kalau malam sering melolong-lolong --- entah dari mana ia dapat merubah-rubah suara dan nada serta temponya.

 

Maakuthaaaaaaaaaaaaaang --- Makuuuuuuuuuuuuuthaaaaaaaaaaaaang --- Makuthang-Makuthang.

 

Mungkin juga karena ia mendengar sorak-sorai anak-anak yang menggodanya --- bersahut-sahutan.

 

Seperti diceritakan sebelumnya anak perempuan, yang saat itu telah pula menanjak remaja --- Leginem termimpi-mimpi. Menjerit-jerit di malam hari.

 

Menyusul pula konon seorang gadis, anak sekolah yang tiap hari memintas jalan melalui kebun Makuthang, hari Kamis sore --- menjerit-jerit :  Makuthang --- Makuthang.

 

Memang kini bunyi Makuthang menjadi suara terror siang malam --- tidak lagi semata-mata panggilan bagi anak cacat itu (karena kurang gizi --- Honger Oedem jaman Nippon).

 

Di rumahnya pun siang malam Makuthang meraung-raung --- seperti lolongan Srigala.

 

Gadis yang sore Kamis meraung-raung itu --- menurut Orang Karo Dukun ahli paranormal, terkena si Jundai kekuatan Makuthang --- memang sorot mata Makuthang setelah ia remaja sangat tajam, walaupun ia terlihat bloon dengan mulutnya yang mangap bergigi gerigi tajam.

 

Gadis yang kesurupan malam Jumat itu, Si Hanum.

 

Makutaaaaaaaaaaaaaang  --- Mmmaaaaaaaaaaaaakuthangng --- thang thang MMmmakutaaaaaaaang !

 

Sosok Makuthang memang telah menjadi pemuda --- remang-remang dada dan tengkuknya  ditumbuhi bulu.

 

Ketika ada dua orang gadis memakai jarit batik menuju tempat latihan Tari Serimpi. Memang sudah biasa melintas di sana.

 

Makuthang menyorotkan matanya --- anak-anak gadis itu berlari-lari.  Makuthang --- Makuthang.

Makuthang seperti tersenyum, ia mengenali paling tidak tiga gadis yang sejak kanak-kanak melewati kebunnya itu.

                                                                        

 

Image ketiga gadis itu tertanam dalam memori Makuthang.  Mereka itu adalah Leginem,  Hanum dan yang baru melintas tadi --- salah satunya Rajiah.

 

Makuthang tampak berahi --- bayang-bayang matahari tenggelam, tampak langit di barat jingga, kebun-kebun dan semak mulai di rambang petang. Asap orang membakar sampah menambah suasana temaram. Dengan bau rumput dan daun dibakar.

 

Anak-anak dan orang-orang yang bermain bola di Lapangan Borshokai telah tampak satu dua meninggalkan lapangan.

 

Sekonyong-konyong saja menjelang Magrib itu terdengar suara gadis menjerit-jerit ketakutan, sambil berteriak-teriak : Makuthang --- Makuthang.

 

Insiden di dalam rumpun pisang itu singkat sekali --- mungkin satu-dua menit saja.  Makuthang berhasil menangkap jatuh Rajiah --- seperti adegan Itik Srati menangkap betinanya.

 

Singkat dan cepat sekali Makuthang melucuti jarit-kain batik Rajiah dan entah bagaimana caranya --- entah naluri yang menuntunnya, entah tenaga metafisis alamiah.

 

Lakon itu seperti Itik Sriati kawin alamiah --- cepat selesai dan, Makuthang berhasil memperkosa Rajiah di dalam rumpun pisang, di mana ia selalu mengintai mengejutkan orang lewat.

 

Senja itu juga keluarga Rajiah dan Orang dari Lapangan Borsokai --- menggebugi Makuthang. Semula ia masih bisa melolong-lolong Mmmakuthaang --- Akuthang akuthang. Begitupun emaknya menjerit-jerit:  Makuthang --- Makuthang anakku --- tolong --- tolooong. Emak Makuthang meraung-raung.

 

Ternyata Makutang  digebug, dipentung, dipukuli dengan benda-benda tumpul.  Ia bonyok.

 

Malam itu  juga jenazahnya dimandikan, dikafani, disholatkan --- lantas dibopong Wak Sami ke perkuburan di kampung itu --- mayat Makuthang menurut yang memandikan --- remuk seperti setumpuk daging, tulang dan dibalut kulit --- maka itu jenazahnya tidak dipikul. Tetapi dibopong Sang Bapak.

 

Malam itu ada 3 rumah --- terdengar suara raungan tiga anak gadis.  Maaaooookothang, Maaaaaaaokotang --- Maooooooooooooookoooooooooooothang !  Panik dan berduka keluarga-keluarga Rajiah, Leginem, dan Hanum.

 

Pagi besoknya berkembang gossip  Makothang mati jadi Jenglot.

 

[MWA] (Paranormal -27/4)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun