Hanya sekilas-kilas saja ia menyaksikan berita --- ia lebih senang membaca running text. Ia memandang ke luar menembus pintu kaca rumahnya. Sambil mengurut-ngurut sendi tapak tangannya yang nyeri.
Sebagai Analis di laboratorium Rumah Sakit yang terkemuka --- ia optimis masa pensiunnya akan sangat bahagia. Anak tunggalnya di Teknik Listrik sudah tammat --- sudah bekerja mapan, bahkan mungkin ia telah pula bercucu. Masa tua yang sangat bahagia………….
Sudah biasa anaknya itu tidak pulang sampai berhari-hari, tidur di Asrama Mahasiswa atau malah di Kampus --- beberapa hari ini anak itu sibuk di Jalan Diponegoro --- Mimbar Bebas.
Jumat petang itu Yenny pulang sambil menenteng rupa-rupa donut kegemaran anaknya --- anak 20 tahunan itu terkadang masih lucu menyambut ibunya pulang. Yenny senang sekali bila anak itu menyambutnya dengan kelucuan yang seolah-olah ia masih umur 4-5 tahun yang merindukan kedatangan ibunya yang bekerja.
Lantas memilih-milih donut oleh-oleh Sang Ibu --- yang paling dirindukan Yenny peluk cium anak itu.
Anak manja itu memang dimanjakannya --- ia buka koelkas, buah-buahan yang dibelikannya Jumat pekan lalu seolah-olah tidak berkurang --- anak itu tidak memakannya sebuah pun.
Buyar segera kenangan indah tentang anak itu --- tragedi hidupnya menimpa terus menerus. Suaminya meninggalkannya, konon mendapat permanent residence di suatu resort di negara Amerika Latin. Ia sudah tidak merasakan kehilangan suaminya, Dede Rahmat --- dulunya memang mereka sering terpisah. Ketika itu Dede bekerja di Kapal Pesiar --- ia sendiri mandiri menjadi Laboratorist.
Ia membesarkan Zulfi sendiri --- seharusnya anak itu kini berumur 31-32 tahun. Selama 15 tahun ia membesarkan anak itu --- ia bisa melupakan kehancuran hati dan tragedi perkawinannya, karena asyiknya mendidik dan membesarkan anak itu.
Banyak foto-foto anak itu, banyak foto dia dan anak itu --- tetapi yang paling gagah sikap dan postur tubuh anak itu sebagai orator pada Mimbar Bebas.
Gambar anak itu dibesarkannya seukuran manusia utuh --- Zulfi sedang berpidato, di sisinya gambar Bung Karno yang juga bersikap sebagai Orator.
Sejak anak itu tumbuh sebagai murid SD, Yenny sedikit pun tidak pernah mengenang Dede Rahmat suaminya yang menghilang --- ia bina kariernya dan hari depan Zulfi.
Tangan kanannya nyeri, biasa tangan kirinya dengan lembut memijit-mijit sendi-demi sendi --- terkadang terbit kerinduan bayangan tempo dulu, impian masa pensiun --- hidup meriah dan bahagia, dikerubuti cucu-cucu --- masing-masing memijit bagian tubuhnya. Seperti dia di masa kanak-kanaknya di Baros, Sukabumi.
Ketika ia melewati umur 35 --- sudah menjanda 10 tahunan, ia telah mati rasa --- ia tidak memberi kesempatan pada hatinya untuk mengurus surat cerai, dan membangun rumah tangga yang baru.
Ketika ia mulai menemukan tanda-tanda menopause di umurnya yang 49 --- ia telah menyimpulkan ia akan hidup dalam kesepian hari tua. Ia tidak lagi menangisi hidupnya --- ia mempersiapkannya. Menatap masa pensiun dengan tegar. Hidup tanpa Anak Tunggalnya.
Ketika ia MPP di umur 55 tahun --- tekadnya ia bersyukur, dia tidak merasa kehilangan apapun, siapa pun.
Dalam hidupnya ia pernah kehilangan suami --- berkali-kali ia menangis mengenangnya, lelaki itu mungkin lebih nyaman dan bahagia dengan isterinya Orang Amerika Latin yang terkenal cantik-cantik. Kemudian ia tidak pernah menangisinya lagi --- Zulfi dan kariernya cukup mengkompensasi kebahagiaan hidupnya.
Malapetaka yang menguras air matanya bertahun-tahun tiba-tiba muncul --- Zulfi, anaknya “dihilangkan manusia bedebah”, yang menghalalkan cara apapun untuk menegakkan kekuasaan mereka.
Zulfi adalah salah satu manusia Indonesia yang “dihilangkan paksa” --- tidak jelas hidup-matinya, entah di mana jasadnya ditanam orang, entah dibuang ke tengah laut, entah dibakar lumer jadi arang dan debu. Hilang.
Ribuan kali ia menangis, berkilo-kilo meter ia menjelajah tanah air, ratusan kantor , ribuan orang tempat bertanya --- tiada jawaban pasti. Akhirnya ia menyerah --- ribuan kali lagi ia menangis. Terakhir ia mencapai kesadaran --- ia bertobat.
Ia menyerah dan menemukan tempat pengaduannya; Allah !
Jumat petang ini, sebelum ia sholat Magrib --- di sajadahnya, menghadap Kiblat --- ia melirik gambar Tan Malaka, bapak Republik Indonesia, sosok tokoh besar itulah menyadarkannya --- apalah arti Zulfi yang dihilangkan, tokoh Sebesar Tan Malaka pun --- tanpa ampun bisa dihilangkan Bangsa Ini.
“Ya, Allah ampunilah kami --- jangan ada lagi Orang-orang yang dicintai Ibundanya, bisa dihilangkan oleh Setan-Iblis yang bengis, jangan ada lagi Orang yang Berjasa pada Bangsa Ini, dapat dihilangkan oleh Angkara Murka --- Allah makmurkanlah Negeri ini dengan Adil, sudah banyak pengorbanan Rakyat dalam tangis dan air mata ………………………. Akhirilah demonstrasi pengorbanan ini.”
Yenny menangis senggugukan dalam posisi sujud --- ketika ia sadar, ia menyesali mengapa ia harus menangis lagi menjelang sholat kali ini.
[MWA] (Cermin Haiku – 31)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H