(1)
Penat bekerja 10 jam dengan lebih banyak berdirinya dari pada duduk santai --- Rika memang bercerita, bekerja di mall lebih capek, enakan kerja di kios batik, ada yang bisa lesehan antara pelayan dengan para calon pembelinya.
“Iroh, ada yang lebih enak --- aku ditawari mang Khairon”kata Zulfa.
“di Kafe Pantura --- jadi pelacur ?”
“O, sorry itu mah, tidak intelek --- itu begenggek-lah,ini bisa merubah nasib ke kehidupan yang lebih baik dibelakang hari”
“Kerjaan apa ? “ Tanya Iroh, ada dua lagi temannya, sambilmereka siap-siap mau tutup jam 8 malam.Mereka melanjutkan obrolan di sekitar toilet.
“Kalau kita bicara dengan mang Khairon, pikiran kita terbuka --- banyak macam-macam tawaran kerja --- yang penting kita harus berani merantau “
“Ke mana --- Jakarta, Surabaya atau Batam ?”
“Pokoknya kalau masih di Indonesia aku mau coba --- kalau jadi TKW ogah ah”Kata Tanti.
“Aku takut”
“Eh, dari Ayu-ku yang ke Arab --- tergantung kitanya, nasib, dan persiapan mental mengabdi pada keluarga Arab”.
“Ah, takut diperkosa Arab “
“Aku mau, asal Abahnya baik dan dermawan --- kita juga tidak kesepian jadinya” . Enak saja si Mar’iah menutup pembicaraannya.
Besok hari Senin , Iroh akan dapat giliran libur --- ia meminta kepastian rencana bapaknya yang akan mengawinkannya dengan seseorang, terserah kawin kontrak atau kawin sirik boleh saja --- yang penting lelakinya bertanggung jawab.
Rencana perkawinan model ini sudah umum, yang penting bapak dapat mahar untuk tambahan modal.Apalagi Iroh tergolong ‘janda kembang’ --- janda anyaran tidak mempunyai anak.
(2)
Mang Khairon berangkat membawa 5 anak-anak yang akan bekerja --- 2 orang ingin bekerja di restoran di Kota, 1 STW yang akan bekerja di Arab --- khusus yang ini akan ‘dipakai dulu’ sebelum disetorkan ke Bambu Apus, si Romlah tidak mampu membayar apa-apa.Yang 2 lagi gadis bau kencur akan diantarkan pada Om Ronny --- untuk dilatih di Salon. Terima panjar nanti akan dibayarkan sebagian pada bapak masing-masing.
(3)
Tiga gadis ala model yang beberapa hari lalu tiba di Nongsa Batam --- adalah transfer dari Jakarta --- anak buah Madame Sue ada 4 orang diroker pula ke Medan.
Agak pusing Madame memanage ‘stock anak buahnya’ --- permintaan meningkat, tidak match.
Enam orang anak buahnya masih ‘menjadi lady escort”anggota DPRD dari luar Batam --- kalau ke Genting Malaysia, mereka pejabat Daerah banyak pergi tidak memakai ijin.
Madame enggak mau tahu bagaimana etika, moral dan disiplin anggota DPR atau DPRD --- mungkin sama saja dengan mutu disiplin kerja PNS di Batam.
Mereka janji booking 2 hari 2 malam, kini telah 5 hari belum confirm kembali.Memang ada Cukong yang menjamin pembayaran lancar.Enggak tahu bagaimana ‘clearingnya’ antar daerah atau antar pengusaha.
“Banyak betul duit mereka” pikir Madame Sue --- dia kontak Jakarta dan Bandung.
“He,Ron lu tolongin gua la ---- ini akan ada konvensi di Batam, lu kasi pinjam6 sampai 10 anak la --- lu rekrut dari mana kek” . Enggak tahu apa yang dibicarakan, Madame Sue hanya mengucapkan “lay-lay”, entah apa maksudnya.
“Teh Naning, bisa ‘kan kirim paling lambat besok sore 6 apa 10 anak la”. Tampak Madame Sue tertawa-tawa mungkin pesanannya match barang kali. Ini relasinya di Bandung.
“Itu lho, seperti itu model si Dewi --- jangan ada yang terlalu gemuk, model Dewi bolehlah.Yang penting putih bersih --- habis konvensi,Orang Singapura pasti sukalah, Jawa Barat punya --- ya, ya Sunda, yang totok medog, mereka doyan banget.”
“Nanti gue tinggal tambahi --- ciamikla Goyang Karawang punya la”.
(4)
Opah Makrufah diperkenalkan oleh Encim Marabunta kepada Pak Kartijo: “Ini Opah biar turut memberi keterangan tentang bisnis kita, benar-benar untuk jalan cari duit bukan tipu-tipu --- janda kembang itu harus dapat, saya lihat fotonya, videonya bolehlah --- tinggal dipoles dikit nanti pak ---- kamu Pah, kamu kalau ngomong pakai bahasa Cirebon --- itu mantan anak pesantren Cirebon “.
Yang namanya Opah Makrufah itu, aduh, imut-imut banget , umurnya baru 16 tahunan, punya anak satu --- bekas isteri mantan Kepala Desa di Cangkol.
Dia dikawin mantan lurah itu dengan membayar mas kawin sekitar Rp. 4 juta --- umurnya barangkali baru 14 tahun waktu itu . Langsung mlendung --- sudah agak besar kehamilannya, dikembalikan ke orang tuanya.
Kini anaknya berumur setahun lebih --- ia telah 2 bulan di Encim’, karena ia pandai ngomong, tampaknya digunaka encim untuk mendampingi pak Karjito untuk merayu dan membina calon asuhan encim.
Jadi umurnya lebih muda dari Iroh, yang satu langkah lagi masuk perangkap nasib --- menuju pesantren Merah………………….
Opah sendiri tahunya anak-anak perempuan muda itu dilatihkerja menjadi waiteress --- mengenal suasana bar, sedikit bahasa Arab dan Inggris. Opah senang bila pelajaran diisi dengan pemutaran video. Pijat memijat yang mendebarkan.
Setahu opah ada beberapa anak yang mengaku masih perawan tingting --- sebenarnya Opah sudah was-was juga masalah pekerjaan yang akan dilakukan mereka kelak.
Terkadang ada niatnya untuk melarikan diri --- tetapi tidak ada jalan kembali. Kalaulah ia bisa pulang ke desa kotanya. Dia akan menjumpai kembali kemiskinan, kelaparan dengan gaji Rp. 10-15.000, memilah botol plastik bekas. Pastilah ia akan lapar dan diomeli bapaknya lagi.
Opah berencana kalau ia ada tabungan nanti, ia ingin mengikuti Paket C agar bisa suatu saat menjadi guru PAUD……………
Ia ingin kawin lagi dan membesarkan anaknya --- memang jodoh mereka di desa-kota itu, yah kalau enggak tukang beca yah kenek tukang. Enggak apa-apa, ia takut kalau kerjaan ini mendekati perzinahan …………………..
[MWA] (Pesantren Merah, Pesantren Jingga; novel bersambung #05/04 )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H