(1)
Masa itu indah sekali --- kami kuliah di Fakultas Ekonomi, universitas yang baru dinegerikan. Hati sangat berbahagia menyusuri jalan utama di kota itu. Kami menyusuri jalan ke timur, melewati toko-toko. Kami berpisah di bangunan kuno --- gedung Karesidenan.
Kami berpisah --- ia menuju ke daerah Pecinan, aku menyusuri jalan Depok, masuk gang ke luar gang untuk sampai di Seteran --- kalau waktunya mepet aku langsung ke percetakan, bekerja sampai jam 10 malam.
Sungguh bahagia di bulan-bulan pertama tahun pertama tahun akademi 1964/1965 --- Siok Lan tidak mudah bergaul, paling-paling ia bisa akrab dengan lingkungan teman-teman mahasiswa sesama keturunan Cina. Kami akrab sejak aku menuntun spedanya yang kempes --- itu di Masa Prabhakti, kebetulan rumahnya searah dengan tempat kerjaku.
Kami tambah akrab karena aku sering mampir ke rumahnya di dekat “Klise Ong” --- langganan percetakan kami. Aku butuh bantuan Siok Lan, mengambil catatan kuliahnya, dan meminjam diktat-diktat.
Apakah kami bercintaan ? Aku tidak mengerti, rasanya tidak mungkin --- apakah Siok Lan menikmati hubungan itu ? Tentu, karena ia hanya akrab denganku. Cuma aku GR, bangga mempunyai pasangan, teman akrab --- seperti pasangan-pasangan populer lainnya. Seperti Katyo dengan Duma, Sugiatun dengan Kadari, atau Dewi dengan Lutfi. Selangit rasanya berhubungan akrab dengan Siok Lan.
(2)
Sekonyong-konyong Indonesia digemparkan Kudeta, pemberontakan Gestapu/PKI --- kemelut di kampus kami. Banyak mahasiswa dipecat atau diskor --- aku turut dalam kemeriahan demonstrasi mengganyang Orde Lama --- mengganyang Bung Karno dan antek-anteknya. Tampil sebagai pahlawan Orde Baru. Kami dielu-elukan sebagaimana mahasiswa di Jakarta dan Bandung.
Kemelut itu bukan saja memisahkan kami dengan teman-teman yang bergabung di CGMI, Perhimi, atau mahasiswa Partindo dan GMNI Asu --- teman-teman kami anak Cina habis semua dipecat atau diskor --- mereka pada umumnya bergabung di Perhimi atau Gema Buddhis, gerakan mahasiswa Buddhism yang condong dengan kelompok komunis. Aku kehilangan Siok Lan. Entah kemana dia.
Kehilangan itu tersamar dengan memuncaknya gerakan demonstrasi, diskusi dan seminar --- mereka-mereka yang berjiwa pemimpin, tampil ke panggung di Kesatuan Aksi Mahasiswa, Pelajar, Pemuda dan Buruh; tanpa terasa pergolakan itu telah berlangsung 2 tahunan --- Kampus memanggil kembali.
Back to Campus --- mahasiswa kembali melakukan konsolidasi. Aku menyadari harus mengejar ketinggalan kuliahku --- ada mile-stone yang harus kutempuh. Banyak mahasiswa yang direhabilitir --- mereka-mereka yang tidak terlibat langsung dengan gerakan makar kembali diskrening.
(3)
Tiba-tiba saja Siok Lan datang ke Percetakan, sementara pintu pagar dibukakan --- kami saling berpandangan, saling tersenyum, di balik kacamatanya, matanya yang sipit --- tetapi sangat indah itu, menggulirkan air mata, menggelinding menyusuri pipinya yang montok dan putih bersinar.
Aku permisi untuk mengantarkan Siok Lan ke rumahnya --- besok aku akan ke kampus bersamanya, untuk memberikan referensi dan kesaksianku, bahwa Siok Lan hanya bergabung di organisasi mahasiswa --- Gerakan Mahasiswa Buddhis. Kami berjalan bergandengan tangan melewati gudang-gudang, bangunan tua --- di samping Gereja Blenduk --- pegangan tangan kami saling meremas dan jemari makin ketat.
Siok Lan adalah pembantuku --- ia menyatu dengan ambisiku untuk mengejar ketinggalan. Tidak terasa kami telah berada di tingkat IV. Kami harus membentuk kelompok seminar.
Kelompok kami adalah para mahasiswa yang tidak termasuk mahasiswa kaya atau populer --- kelompok kami adalah mahasiswa yang tersisih. Tiga anak Cina --- Siok Lan, Wijaya, dan Cong Ho; Koestiyono seorang supir, Sugeng yang cacat, Byakto si Inferior. Mereka menunjukku sebagai Ketua Kelompok.
Kelompok kami kebagian nama, kelompok D --- programku, kami harus mengungguli dalam Seminar-seminar. Kelompok D (baca Djaya) mengungguli Seminar Ekonomi Pembangunan, Seminar Ekonomi Industri, Seminar Management, dan Seminar Marketing. Kami adalah mahasiswa yang bersemangat, dan segera tampil sebagai kelompok mahasiswa terpandang.
(4)
Teman kami sesama mahasiswa ada yang tetap tercecer --- Joko Makbul ia masih tertinggal di tingkat II --- ia menjadi berita besar karena melarikan dan menikahi Theresia Ong Gin Nio. Perkawinan tanpa persiapan, gossip makin merusakkan status sosial ekonomi mereka.
Siok Lan menceritakan, “ kasus Joko dan Theresia jangan diikuti “, kata mama --- “syukur nanti setelah lulus sarjana kamu masih dipakai !”. Suasana itu tidak merenggangkan hubungan kami --- kami masih sering belajar bersama di rumah Siok Lan.
Terkadang kami makan mie di Pecinan, Gang Lombok --- lantas Siok Lan kubawa belajar, membaca buku, diskusi atau ngobrol-ngobrol ke kebun seorang Cina di Watu Gong. Aku terkadang makin kurang nyaman dengan sikap mama --- ia selalu menggugat kegagalan perkawinan Joko dengan Theresia Ong Gin Nio, yang makin repot dengan beban anak-anak mereka. Pekerjaan mereka berdagang rokok di depan Kantor Pos.
Aku lulus dan segera mendapat pekerjaan yang bagus --- pamit dengan teman-teman, karena aku akan mengikuti pendidikan selama 1 tahun. Ada kata-kata motivasi dari teman-teman kelompok D --- “…………. Kami yakin kamu akan menjadi Dirut dalam 15 tahun …. “ kuanggap itu doa.
Ketika pamit pada mama --- mama hanya dingin dan basa-basi. Hubungan dengan Siok Lan terasa platonic, hanya ada dua kenangan selama kami akrab di masa-masa kuliah, sampai aku berangkat ke pendidikan. Hanya ada dua kenangan itu yang mengikat terkadang bila terlintas nama Siok Lan.
Dalam pendidikan dan meniti karier aku sangat ambisius --- karena desakan umur, aku segera menikah dengan gadis Purwokerto yang kukenal di masa pendidikan itu. Belakang hari terdengar kabar bahwa Siok Lan bekerja di perusahaan industri swasta yang besar di Jakarta; Winarto Wijaya di perusahaan asuransi, Byakto di BKKBN, Koestyono dan Sugeng di Bank. Tidak ada kesempatan bagiku untuk ber-reuni dengan mereka.
(5)
Di masa tuaku, aku kesepian --- anak-anak sudah pada mentas. Suatu saat seseorang mengajakku bergabung dengan komunitas mereka di Monas. Tuhan mengatur semua jalan kehidupan --- di sana aku berjumpa dengan seorang wanita berambut putih duduk menyendiri. Sosoknya putih bersih berkaca mata. Ia menggunakan tongkat tangan untuk menopang tubuhnya
Sejak pertemuan pertama, kami selalu duduk berdampingan di bangku taman --- Siok Lan menceritakan kisah hidupnya, ia terlambat nikah.
“Wis, aku sempat diejek-ejek oleh keluarga yang lebih tua, sebagai perawan tua --- akhirnya aku menyerah dengan desakan mama, aku menikahi keponakan mama --- seorang pelaut yang bekerja di kapal pesiar di Karabia. Perkawinan kami datar saja. Memang mungkin aku terlanjur menjadi wanita frigid --- beberapa tahun setelah mama meninggal, kami bercerai”.
Tiap Sabtu kami bertemu dan bercerita tentang masa lalu, dan sikap hidup di masa tua yang harus dilewati.
“Siok Lan, aku telah menduda selama 5 tahun --- aku kesepian, aku memerlukanmu untuk merangkai sisa hidup kita --- bagiku tidak ada alas an seksual lagi --- kita tidak ada masalah dengan frigidas. Mungkin hidup kita lebih bermakna kalau kita bersatu”
Siok Lan menggeleng pelan --- mengarahkan wajahnya yang teduh, ia tersenyum,
“Lan, tidakkah kamu ingat kita pernah sekali berciuman, hujan-hujan di beca” . Siok Lan hanya memandang jauh ke sela-sela barisan pohon.
“Wis, itulah ciuman bibir yang aku alami satu-satunya dalam hidupku --- aku tidak pernah memberi ciuman bibir kepada suamiku sekali pun”
“Wislan untuk bersatu kita tidak perlu menikah --- tidak mungkin lagi, aku sudah tenang dalam kesadaran dharma --- kita bersahabat saja, bersatu dalam persahabatan “.
(6)
Kami berdua sedang berada di Kebun tempat dulu kami belajar di Watu Gong --- kini telah menjadi Klenteng yang sangat indah.
“Lan, ada satu lagi kenangan terkadang adakalanya terlintas. Kalimat terakhir-mu sewaktu aku pamit di teras rumah mama “. Ia menolehkan wajahnya --- bau hio dan gaharu menyelimuti lingkungan kami.
“Apa itu ?” Mata kami berpandangan.
“Semoga kamu kaya asphalt”
“Ha, apa itu ?” Ia melendotkan tubuhnya, tongkat kayu Nagasari hadiahku terjatuh ---- “Aku lupa Wis pernah mengucapkan itu .”
Kami tidak memperdulikan ramainya Klenteng --- aku memeluknya sambil menghayati wajah welas asih arca Dewi Kwan Im, seperti selalu kulakukan di perpustakaan-ku. Kalimat terakhirnya itu mempunyai arti ganda kaya wealthiness dan, kaya hitam legam seperti warna kulitku --- yang hitam legam sejak dari ‘sononya. Kami tertawa-tawa --- untuk tetap sehat, Lansia harus tertawa paling tidak 30 kali dalam sehari. Kami Tertawa lagi.
[MWA] (Peserta No. 35) : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju ke akun : Cinta Fiksi ( berikut Linknya : Cinta Fiksi)
(PG2010MiniCerpen)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H